Wacana Pemekaran, Proyek Elit Jelang Pilkada Mabar

Alfred Tuname
Alfred Tuname

Oleh: ALFRED TUNAME

Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) hendak “dibelah” lagi menjadi dua, dengan membentuk kabupaten baru Manggarai Barat Daya (MBD). Uniknya, wacana pemekaran Mabar ini digulirkan saat mendekati Pilkada Mabar 2015. Elite politik lokal Mabar diam-diam hendak menjadi pahlawan kesiangan dan ramai-ramai menyampaikan proganda: pemekaran itu untuk kesejahteraan rakyat.

Memang, politik sering kali melahirkan cerita-cerita para elit politik yang rakus akan kekuasaan. Di situ, politik hanya berhenti pada penyembahan terhadap kekuasaan semata. Maka ramai-ramailah para elite berusaha untuk meminum anggur kekuasaan itu secara tamak.

Padahal, rakyat harus menjalani litani kesengsaraan dan kemiskinan. Sebab, politik lokal selalu berwajah elitis dan monolitik. Pembicaraan tentang politik lokal selalu berkaitan dengan silang sengkarut perebutan kekuasaan, nepotisme meritokratis dan korupsi. Eksesnya adalah rakyat yang terus menderita akibat kebijakan publik yang artifisial.

Wacana pemekaran Mabar bagian dari agenda elit politik local. Pilkada Mabar 2015 adalah episentrumnya dan kekuasaan pasca-Pilkada Mabar 2015 adalah tujuan politik di balik pemekaran kabupaten.

Karena paradigma politik elite politik lokal, mengutip Harold Dwight Lasswell, adalah “siapa dapat apa, dimana dan bagaiaman”, maka strategi Machiavellian digunakan asal mampu mendongkrak pencitraan figur elit di hadapan konstituen. Menang Pilkada Mabar 2015 adalah segala-galanya.

Mengangkat wacana pemekaran kabupaten perlu dikaitkan dengan cerita nostalgia gemilang Christian Rotok yang menang dalam Pilkada Manggarai 2005. Wacana pemekaran kabupaten Manggarai dan pembentukan kabupaten Manggarai Timur berhasil mengantarkan Christian Rotok sebagai Bupati Manggarai kala itu.

Sebagai kompetitor politik, ia berhasil mengalahan calon petahana Antony Bagul Dagur. Secara signifikan, Rotok berhasil menyapu bersih suara pemilih dari wilayah Manggarai Timur (Matim) saat itu. Tahun 2007, Kabupaten baru Matim terbentuk. Janji politik Christian Rotok ditepati.

Secara politik administratif, syarat pembentukan kabupaten Matim memang sudah terpenuhi. Tetapi, substansi teleologis atau tujuan utama pemekaran sama sekali tidak berhasil di Matim. Wajah politik elitis, nepotisme meritokratis dan korupsi hari demi hari makin menjadi kabar yang akrab di meja publik kabupaten yang dipimpin Yoseph Tote itu.

Lepas dari cerita gemilang Rotok dan buruk rupa Matim, sebagian elite politik Mabar ingin mengulangi cerita yang sama. Kisah politik Rotok tampaknya ingin dipakai elit di Mabar menyambut Pilkada 2015.

Tetapi, memang, wacana pemekaran kabupaten hanyalah satu modus operandi menuju kekuasaan. Pengakitifan kembali pertambangan dan privatiasasi pantai Pede juga merupakan modus operandi menuju Pilkada Mabar 2015.

Publik Mabar harus kuat dan kritis untuk melihat fenomena politik kekuasaan ini. Banyak sumber daya kekayaan Mabar telah digadaikan dalam kompetisi politik.

Mabar digadaikan karena masing-masing elite politik merasa pantas memimpin kabupaten Mabar. Publik pun susah memilah mana perampok dan mana pahlawan. Celakanya, lebih banyak perampok yang bermain di etalase politik lokal. Bahkan, perilaku pre-power syndrom (merasa berkuasa padahal belum berkuasa-sebagai kepala daerah) tidak malu dipertunjukan kepada publik.

Maka benarlah apa yang katakan filsuf politik Prancis, Baron de Montequieu, “prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, tetapi juga spirit kesetaraan ekstrem berlangsung-manakala setiap orang merasa pantas memimpin” (bdk. Yudi Latif, 2009).

Di Mabar, mereka yang mengidap pre-power syndrom dan menggadaikan Mabar adalah para elite dengan jabatan pubik (politik) strategis dan berpengaruh. Dengan posisi itu, mereka lalu menggunakan daya dan kuasa untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Tidak mungkin ada upaya penggadaian sumber daya kekayaan Mabar, aktivasi tambang, wacana pemekaran kabupaten dan lain-lain, kalau bukan bersumber dari sebuah posisi kekuasaan. Nemo dat quod non habet (tak seorang pun dapat memberi dari ketidakpunyaan). Maka, jabatan dan posisi di publik menjadi kondisi yang memungkinkan menuju kekuasaan politik dalam Pilkada Mabar 2015. Dari sinilah korupsi politik itu berakar.

Korupsi politik adalah penyalahgunaan kekuasaan: kekuasaan publik (politik) digunakan demi kepentingan pribadi. Di sini politik hanya berhenti sebagai seni tentang kemungkinan-kemungkinan: politik sebagai akal-akalan busuk untuk memenuhi hasrat berkuasa.

Pemekaran kabupaten Mabar adalah juga dusta politik.  Politik emasipatoris dan kesejahteran rakyat Mabar tidak bisa dimulai lagi dengan pembentukan kabupaten Manggarai Barat Daya.

Semua ini harus dimulai dengan memangkas nafsu kekuasaan para elite politik an sich. Pada opera Parsifal, Richard Wagner menulis, “die Wunde schliesst der Speer nur, der sie schlug” (luka hanya akan sembuh oleh lembing yang menusuknya) (Slavoj Zizek, 1989). Pada konteks proyek demokrasi politik Mabar, luka kesengsaraan rakyat Mabar dikarenakan oleh lembing nafsu dan ketamakan para elite politik local an sich. Oleh karena itu, luka hanya bisa sembuh oleh penumpulan lembing nafsu dan tamak politik yang menusuknya.

Di sini penguatan partisipasi publik dan ekstensifikasi ruang publik menjadi sangat penting untuk menghadang langgam politik elitis di Mabar yang nyaris tidak berubah.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini