Floresa.co – Atas nama konservasi dan eko-turisme, kini giliran Pulau Padar siap dicaplok sumber daya ekonomi dan ekologinya. Padar merupakan pulau terbesar ketiga di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca.
Pengelolahan salah satu tempat habitat komodo tersebut sudah diserahkan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) melalui SK MENHUT 796/MENHUT-II/2014 tertanggal 29 September 2014. Perusahaan ini akan menguasai 426, 07 ha dari 40.728 ha total luas keseluruhan pulau tersebut.
Upaya tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Pasalnya, ijin usaha KWE akan bergerak di bidang penyediaan Sarana Wisata alam (IUPSWA), antara lain akan dibangunkan usaha sarana wisata Tirta, usaha transportasi, Usaha Sarana wisata petualangan dan usaha olahraga minat khusus.
Kemungkinan bisnis parawisata seperti wisata pantai, diving dan snorkeling juga akan dibuka. Dengan adanya model usaha tersebut, bukan saja menambah luka-luka lama bagi di hati masyarakat, tetapi juga paling mungkin menyebabkan degradasi ekosistem di Pulau Padar. Mengapa?
Tipu Daya Konservasi
Ketika pencaplokan atas nama konservasi dan Eko-Turisme sampai sekarang masih meninggalkan persoalan-persoalan, bukannya berkurang, potensi masalah baru malah muncul. Sebab penguasaan lahan dengan tujuan konservasi dan eko-turisme (green grabbing) hanyalah selubung atas penguasaan kawasan oleh pemerintah dan investor penguasa bisnis parawisata.
Kegelisahan itu bertolak dari fakta. Ketika pemerintah menyerahkan pengelolahan Taman Nasional Komodo kepada PT Putri Naga Komodo pada tahun 2003, yang pemegang sahamnya PT Jayatasha Putrindo Utama (PT JPU) dan Lembaga Swasta Bisnis Konservasi dari Amerika Serikat, The Nature Conservacy (TNC), terjadi proses peminggiran masyarakat secara sistematis.
Sering dikeluhkan, adanya perlakuan tebang-pilih dari pemerintah. Kawasan di sekitar TNK sangat tertutup untuk masyarakat lokal sementara bagi orang asing sangat leluasa memanfaatkannya. Masyarakat lokal dilarang menangkap ikan di sekitar pantai, sementara turis seenaknya snorkeling, diving, berjemur di pantai, dan lain sebagainya.
Hal itu menimbulkan gugatan terhadap konservasi. Warga Komodo mengatakan, “Kami sudah melakukan konservasi sejak nenek moyang kami sehingga komodo bisa bertahan tidak punah hingga sekarang”. Dengan kata lain, apa benar konservasi demi menjaga kelestarian Komodo?
Ancaman bagi Padar
Kini privatisasi Pulau Padar dalam bayang-bayang yang sama. Terkait pulau Padar, privatisasi akan lebih berdampak lebih menyeramkan. Sebab Pulau Padar punya sejarah yang pasang-surut sebagai habitat komodo. Berbeda dari pulau Komodo, Rinca, dan Gili Motang.
Komodo di Pulau Padar pernah punah. Padahal, menurut Walter Auffenberg dalam The Behavioral Ecology of The Komodo Monitor, populasi Komodo tergolong banyak di Padar. Pasalnya populasi rusa lumayan banyak di sana. Namun, pada tahun 1980-an populasi komodo menurun dan tidak kelihatan lagi. Kemungkinan besar karena perburuan rusa meningkat.
Seiring dengan penjagaan ketat di Pulau Padar, fakta mengejutkan terjadi pada tahun 2000-an. Jejak komodo ditemukan lagi. Dan kejadian menggembirakan terjadi pada tahun 2013. Komodo ditemukan sedang berjemur di pantai Pulau Padar.
Akan tetapi, ketika pemulihan jumlah komodo di pulau itu sedang berlangsung, KWE masuk dan bertanggung jawab mengelolah sumber daya wisata pulau tersebut. Pengelolahan demikian tidak saja menganggu aktivitas ekonomi di kota Labuan Bajo, ketika transaksi turisme bisa saja lebih banyak berlangsung di Padar, tetapi juga sangat menganggu biodiversitas di Pulau Padar. Ancaman buat komodo sendiri.
Lebih dari itu, belum ada kenyataan yang bisa menjamin, apakah dengan privatisasi demikian, punya efek yang positif terhadap kehidupan masyarakat di Labuan Bajo. Proyek-proyek parawisata di Labuan Bajo sampai saat ini, hanya mewarisi cerita-cerita kekalahan masyarakat lokal. Sampai dengan tahun 2015 ini, masyarakat Labuan Bajo masih mengeluhkan persoalan-persoalan mendasar seperti air, listrik, tanah, dan rumah sakit. Anggaran 3,7 trilliun dari Sail Komodo lenyap tanpa hasil yang signifikan.
Apalagi KWE sendiri, menurut kesaksian seorang jurnalis, kemungkinan besar punya hubungan dengan seorang politisi nasional. Sekarang jejak-jejaknya dari internet sulit ditelusuri lagi, bahkan dicurigai sudah dihilangkan. Dari kesaksian warga Labuan Bajo, KWE punya track record yang buruk. KWE pernah mengelolah Taman Nasional Komodo, tetapi berhenti di tengah jalan tanpa kejelasan apa-apa.
Lalu apakah masih perlu Padar dikelola pihak swasta? Kita tahu, tanpa dikelola pun, orang asing bakalan datang ke Padar. Keindahan pulau tersebut sangat menakjubkan. Kalau alasan pengelolahannya demi menambah pundi-pundi PAD, rasanya tak relevan lagi. Sebab sampai sejauh ini, hasilnya tak pernah menetes hingga mulut masyarakat.
Desain Elite Politik
Sejauh ini, boleh dikatakan, konservasi dan eko-tourisme adalah tipu daya. Tentu, bukan konservasi per se tetapi konservasi yang sering menjadi kedok dari praktek-praktek pencaplokkan.
Modus yang dipakai adalah penetapan regulasi. Pemerintah menetapkan regulasi yang menguntungkan pihak swasta. Dan pihak swasta tak lain adalah pihak pengambil kebijakan. Dengan kata lain, ini merupakan konspirasi oligarki ekonomi-politik. Dengan demikian, semua proses privatisasi tersebut berjalan tanpa halangan apapun. Pun sulit diganggu-gugat karena tidak ada masalah secara legal-formal.
Persoalan Pantai Pede, misalnya. Pihak pemerintah menyerahkan pengelolahan Pantai Pede ke pihak swasta. Dan pihak swasta adalah Setya Novanto yang tak lain adalah pebisnis dan anggota DPR. Dia menentukan dan menetapkan regulasi yang bisa saja menguntungkan dirinya sendiri.
Konsekuensinya mudah ditebak. Adanya proses inklusi dan ekslusi. Masyarakat lokal dieksklusikan, sementar pebisnis parawisata dirangkul. Invansi kapital berlangsung secara besar-besaran, sekaligus diperkuat oleh dorongan mengakumulasi kapital oleh elit-elit lokal dan pemerintah. Karena itu, pemerintah hanya sebagai penjaga stabilitas relasi asimetris.
Padar pun dalam ancaman yang sama. KWE yang mengelolah Pulau Padar tidak mungkin menemukan masalah dari segi hukum. Semua berjalan aman. Namun, tanpa persoalan hukum bukan berarti tanpa persoalan. Sebab hukum seringkali mengabdi kepada orang tertentu, daripada semua orang. (Gregorius Afioma/Floresa)