Floresa.co – PT Perusahaan Listrik Negara [PLN} menegaskan akan memanfaatkan semua potensi panas bumi [geothermal] di Pulau Flores, termasuk di kawasan Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai. Ini adalah bagian dari komitmen pemerintah memaksimalkan energi baru dan terbarukan [EBT].
Sementara itu, warga terdampak proyek itu tetap menolak, sambil meminta kepastian jaminan dari pemerintah jika terjadi bencana akibat proyek itu.
Berbicara dalam acara konsultasi publik lanjutan proyek itu baru-baru ini, Prapsakti Wahyudi Manager Perizinan dan Komunikasi PLN UIP Nusa Tenggara, mengatakan, penambangan energi panas bumi di Poco Leok menjadi taruhan pemerintah untuk menjalankan komitmen di hadapan negara-negara G20 yang menggelar Konferensi Tingkat Tinggi [KTT] di Bali, 15-16 November 2022.
“[Di forum G20] disampaikan bahwa di tahun 2025 nanti, pemakaian EBT, energi yang ramah lingkungan adalah 23%,” katanya pada 29 November 2022 dalam konsultasi publik di Lungar, Poco Leok.
Presiden Joko Widodo memang tengah mendorong pengembangan EBT, utamanya geothermal, sebagai Proyek Strategis Nasional. Ia bahkan menerbitkan Perpres nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, dua hari sebelum perhelatan KTT G20.
“Flores ini, energi EBT atau panas bumi itu yang terbesar di Indonesia,” lanjut Prapsakti, “makanya kami lakukan eksplorasi di sini.”
Eksplorasi geothermal, katanya, untuk mengurangi pemakaian diesel dan mempercepat rasio elektrifikasi.
Ia menjelaskan, ketergantungan terhadap pembangkit listrik tenaga diesel saat ini masih sangat tinggi, meskipun di wilayah Jawa sudah perlahan-lahan dimatikan demi mengurangi emisi karbon.
“Kami sudah mendapat amanah dari presiden bahwa di saat 100 tahun Indonesia merdeka, rasio elektrifikasi di Indonesia harus sudah 100% dan itu menggunakan EBT,” katanya.
Ditolak Warga
Poco Leok mencakup 13 kampung di tiga desa di Kecamatan Satar Mese, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas.
Kawasan Poco Leok merupakan salah satu dari banyak titik yang direncanakan PLN sebagai sumber EBT wilayah Flores, pulau yang ditetapkan sebagai pulau geothermal pada 2017.
Wilayah pegunungan di bagian barat daya Gunung Ranaka itu termasuk dalam rencana pengembangan unit 5 dan 6 PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi sejak 2012. PLTP Ulumbu berlokasi di Desa Wewo, tidak jauh dari Poco Leok. Kapasitas energi yang ditargetkan dari proyek di Poco Leok mencapai 2×20 megawatt.
Sejak awal, proyek ini ditentang warga setempat. Penolakan sudah ditunjukkan warga sejak PLN melakukan survei awal, pendekatan adat melalui acara ‘tabe gendang’, hingga forum konsultasi publik itu.
Berbicara saat memberikan tanggapan dalam konsultasi publik itu, Simon Wajong, salah seorang tokoh masyarakat Poco Leok mempertanyakan jaminan dari PLN jika proyek itu melahirkan persoalan.
“Apakah PLN menjamin apabila dilakukan pemboran tidak terjadi bencana karena gas beracun yang mengakibatkan kematian bagi warga di Poco Leok,” katanya.
Ia menyebut kondisi topografi Poco Leok dengan pemukiman dan perkebunan warga di tepi lereng gunung yang sangat curam berpotensi longsor jika pemboran dilakukan.
Selain itu, jelasnya, berkaca pada pengalaman warga sekitar PLTP Ulumbu, semburan gas H2S dari geothermal bakal mencemari udara, merusak atap rumah, serta menyebabkan turunnya produktivitas tanaman.
Agustinus Tuju, salah seorang warga kampung Nderu, mengingatkan agar pemerintah dan PLN tidak hanya mempertimbangkan sikap pemilik lahan yang hendak dijadikan lokasi pemboran tetapi juga warga lain yang potensial terdampak.
Ia menyinggung perihal langkah pemerintah dan PLN yang tidak melibatkan warga terdampak, yang lahan dan pemukimannya berada di bagian bawah lokasi pengeboran, dalam konsultasi publik itu.
Ia mengatakan, pihak-pihak yang dihadirkan dalam forum tersebut hanya pemilik lahan yang mayoritas berdomisili di luar wilayah Poco Leok atau bermukim jauh dari lokasi pemboran.
“Sementara lokasi pemboran yang sudah disurvei itu ada di atas kepala kami. Masa kami yang di Nderu itu tidak diundang satu orang pun,” katanya.
“Dan yang saya lihat [hadir dalam acara] ini orang Poco Leok yang tinggal di daerah hilir. Yang [tinggal] di sini hanya beberapa orang saja,” katanya.
Ia mengaku hadir dalam forum itu karena merasa berkepentingan, meskipun tidak mendapat undangan.
Agustinus mempertanyakan perlakuan pemerintah dan PLN yang terkesan mengabaikan warga keberadaan warga penolak rencana proyek tersebut.
Tino, salah seorang pemuda dari komunitas adat Gendang Tere, mengungkapkan hal serupa.
Ia juga mengaku hadir karena merasa sebagai warga yang akan terdampak jika proyek pengeboran geotermal Poco Leok dilanjutkan.
“Orang-orang tua di Tere tidak tahu bahwa di sini ada kegiatan [konsultasi publik],” ungkapnya.
Agustinus Sukarno, pemuda kampung Lungar juga membeberkan sejumlah fakta kerusakan lingkungan, polusi udara, hingga korban nyawa yang terjadi di sejumlah tempat beroperasinya PLTP Ulumbu, sehingga menolak rencana pengembangan ke Poco Leok.
Ia juga mengingatkan agar pihak pemerintah dan PLN tidak mengabaikan suara-suara penolakan.
Pemerintah: Bencana itu Biasa
Pihak pemerintah dan PLN tidak menjelaskan alasan tidak mengundang semua warga Poco Leok yang bakal terdampak, terkhusus pihak yang menolaknya, dalam acara konsultasi itu.
Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Setda Manggarai, Yosep Mantara hanya mengatakan bahwa ia berharap semua warga yang menghadiri pertemuan tersebut mendukung rencana pemerintah dan PLN.
Jika proyek Poco Leok terlaksana, kata dia, maka dengan tambahan energi listrik dari beberapa wilayah lainnya, seluruh daratan Flores akan diterangi listrik EBT.
Ia juga mengatakan bahwa kekhawatiran masyarakat terlalu berlebihan dan meminta mereka percaya pada penjelasan para ahli yang sudah didatangkan selama ini, mulai dari Institut Teknologi Bandung hingga Universitas Santu Paulus Ruteng.
Bencana atau kecelakaan yang dikhawatirkan oleh masyarakat, kata Yosep, merupakan hal biasa dan utamanya karena faktor alam. Jadi, bukan semata-mata karena adanya pengeboran geothermal.
“Kecelakaan itu bisa saja terjadi,” katanya. “Tanpa ada pembangunan pun terjadi gempa bumi, terjadi longsor. Itu kan alam.”
Sementara Ali Ashat, ahli geothermal dari Institut Teknologi Bandung [ITB] membeberkan potensi bencana berdasarkan studi pada sejumlah proyek geothermal.
Ia menyebut potensi seperti banjir bandang, gempa bumi, kekeringan, gunung api, likuifaksi, cuaca ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, serta longsoran.
Namun senada dengan Yosep Mantara, ia mengatakan bencana seperti itu sering terjadi tanpa harus ada pengeboran geothermal.
“Daerah Indonesia itu mau ada kegiatan atau enggak ya gempa,” ujarnya sambil menyebutkan sejumlah contoh bencana, termasuk gempa di Cianjur, Jawa Barat baru-baru ini.
Khusus untuk kawasan Poco Leok, ia tidak memberikan jawaban pasti apakah tidak akan berpotensi bahaya untuk lingkungan dan warga sekitar.
Namun, ia mengklaim potensi bencananya tidak seberapa jika proyek geothermal berjalan.
“Kecil potensi terjadinya. Jawabannya kira-kira begitu karena bisa aja berapa ribu tahun yang akan datang, ini berubah. Bisa aja. Jadi kita nggak boleh mengatakan pasti,” katanya.
“Banyak hal yang kita harus akui di luar kendali kita,” tambahnya.
Terkait kekhawatiran akan adanya gas beracun dari H2S, Ali menyebut hal tersebut akan dimonitor terus secara online.
Standar normal kandungan H2S, katanya, tidak melebihi 0,02 PPM. Jika melebihi standar normal, gas tersebut akan diolah agar tidak membahayakan lingkungan dan warga.
“Otomatis akan selalu dimonitor. Kira-kira nanti akan ada nggak kandungan H2S yang melebihi [0,02 PPM] itu. Kalau melebihi itu, bisa diolah, bisa dibakar. Jadi, bentuknya tidak lagi gas beracun. bisa juga dalam bentuk belerang. Harus dilakukan gimana pun caranya secara teknologi,” katanya.
Ali menambahkan, PLTP beroperasi atas izin pemerintah yang selalu diawasi oleh pemerintah sendiri dan masyarakat. Jika terjadi kesalahan atau membahayakan lingkungan dan masyarakat, izin tersebut dievaluasi bahkan dicabut.
“Itu bentuk perlindungan pemerintah terhadap masyarakat. Jadi tidak berarti nanti masyarakat menderita terus,” jelasnya.
Selain menyinggung soal dampak, hal lain yang dibahas dalam rapat tersebut yakni soal ganti rugi atas lahan dan kerusakan tanaman warga selama proses penelitian sebelumnya.
Pasalnya, sejumlah tanaman milik warga ditebang tanpa seizin pemiliknya saat melakukan survei lokasi.
Anita Gayatri, koordinator tim Land Acquisition and Resettlement Action Plan [LARAP] menjelaskan penebangan tanaman saat survei awal dimasukkan ke dalam perhitungan ganti rugi, apalagi tanaman yang ditebang memiliki nilai ekonomis.
“Ini juga salah satu bentuk kerugian. Menurut saya bisa dibicarakan dengan baik karena ini dampak yang terjadi ketika proses yang dilakukan di awal,” ujarnya.
Ganti rugi tanaman, lanjut Anita, mesti berpijak pada harga pasar dan peraturan bupati tentang besaran ganti rugi tanaman.
Panca Budi Setiawan, utusan PT PLN lainnya, menambahkan ganti rugi yang diterapkan perusahaan mengacu pada nilai pengganti wajar [NPW]. Penentuannya berdasarkan nilai appraisal, yakni nilai di atas Nilai Jual Objek Pajak [NJOP], ditambah nilai rasa sayang pemilik atas tanah dan tanaman.
“Nilai di atas kewajaran. Kepuasan tidak dapat diukur, tetapi semuanya sudah ada aturan. PLN tidak pernah membayar di bawah,” katanya.