KUHP yang Disahkan di Tengah Banjir Kritik; Ancaman Serius yang Gerus Sendi Demokrasi

Klaim bahwa pengesahan KUHP ini merupakan momen bersejarah reformasi hukum pidana di Indonesia, "adalah sebuah dusta besar dari sebuah rezim yang tidak ragu untuk memangkas hak-hak warganya dengan keji untuk melanggengkan kekuasaan.”

Floresa.co – Di tengah suara protes dari berbagai kelompok sipil, DPR RI dengan dukungan penuh pemerintah mengesahkan Undang-Undang terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP] pada Selasa, 6 Desember 2022.

KUHP ini adalah hasil revisi terhadap KUHP lama yang merupakan sistem hukum pidana warisan era kolonial Belanda sejak tahun 1908. 

Berbagai elemen masyarakat sipil menilai bahwa KUHP ini belum layak disahkan, karena di dalamnya masih terdapat pasal-pasal kontroversial. Sejumlah isu yang menjadi sorotan adalah pembatasan terhadap hak asasi manusia secara berlebihan, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai dan hak atas privasi dan otonomi seksual.

Sejumlah pasal juga membawa dampak serius bagi kemerdekaan pers.

KUHP ini misalnya mengembalikan pasal-pasal yang melarang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden – yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Selain itu, pasal-pasal lain mengkriminalisasi penghinaan terhadap lembaga pemerintah dan lembaga negara yang sah.

Persoalan lain adalah ancaman hukuman penjara untuk pencemaran nama baik dan penodaan agama, termasuk penghinaan terhadap pemimpin agama. Hal ini dikhawatirkan rentan dipakai untuk menyasar penganut agama minoritas.

Selain itu, terdapat juga pasal-pasal yang melarang penyebaran ajaran komunis dan Marxis-Leninis serta “ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.”  

Pasal lain berpotensi mengkriminalisasi mereka yang mengadakan aksi protes tanpa izin, hal yang jelas bertentangan dengan semangat gerakan reformasi yang membawa demokrasi di Indonesia.

Definisi dalam pasal-pasal kontroversial itu dinilai terlalu luas sehingga membuka pintu untuk disalahgunakan dan disalahtafsirkan oleh pemegang kekuasaan untuk membungkam kritik.

Namun, suara-suara protes publik terhadap sejumlah isu yang mengkhawatirkan itu, juga kritikan dari dunia internasional, tidak didengarkan DPR dan pemerintah.

Dalam sidang paripurna yang dihadiri secara langsung oleh hanya 18 anggota dewan, KUHP itu disahkan.

“Meruntuhkan Sendi Negara Hukum”

Pengesahan KUHP ini memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan. 

Yayasan Kurawal, sebuah lembaga yang fokus pada upaya memperkuat praktik, lembaga dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, menyebut pengesahan KUHP ini sebagai langkah terbaru rezim Presiden Joko Widodo atau Jokowi “untuk meruntuhkan sendi negara hukum dan mengubah Indonesia menjadi negara kekuasaan.“

“Pengesahan KUHP bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Deretan undang-undang dan regulasi yang disahkan dari kolaborasi antara pemerintah dan DPR sepanjang kekuasaan Jokowi menunjukkan upaya sistematis dalam penggunaan hukum untuk melindungi dan melayani kepentingan penguasa, serta menindas warga negara yang mengekspresikan penolakan atas kesewenang-wenangan negara,” kata Kurawal dalam sebuah pernyataan yang dikirimkan kepada Floresa.co.

Menurut Yayasan Kurawal, fakta bahwa hanya 18 anggota DPR yang hadir secara langsung dalam rapat paripurna pengesahan “menunjukkan bahwa elite politik tidak lagi peduli dengan aspirasi dan kepentingan warga negara yang seharusnya menjadi tuan mereka.”

“Berbagai puja-puji yang digonggongkan oleh rezim Jokowi kepada publik, yang menyatakan bahwa pengesahan KUHP ini merupakan momen bersejarah reformasi hukum pidana di Indonesia, adalah sebuah dusta besar dari sebuah rezim yang tidak ragu untuk memangkas hak-hak warganya dengan keji untuk melanggengkan kekuasaan,” tulis Kurawal.

Cypri Jehan Paju Dale, dari Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang menyatakan, dengan pengesahan KUHP ini “Indonesia kembali masuk ke dalam kerangkeng otoritarianisme baru, di mana elit yang berkuasa mengganti rule of law dengan rule by the law.”

“Negara demokratis seharusnya dibangun di atas fondasi rule of law, di mana hukum memiliki kedudukan tertinggi dalam mengatur kehidupan publik. KUHP baru dan UU Omnibus yang sebelumnya disahkan pada 2020 dijadikan alat kekuasaan untuk di satu sisi mempermudah gerak-gerik oligarki dan di sisi lain mengontrol dengan ketat kehidupan publik,” katanya kepada Floresa.co.

Sementara itu, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menyatakan KUHP ini “merupakan pukulan signifikan bagi kemajuan Indonesia yang diraih dengan susah payah dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan mendasar selama lebih dari dua dekade.”

“Fakta bahwa pemerintah Indonesia dan DPR setuju untuk mengesahkan hukum pidana yang secara efektif menghilangkan banyak hak asasi manusia sungguh mengerikan,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Hamid misalnya mengkritisi pemidanaa terhadap seks di luar nikah dalam KUHAP ini sebagai “pelanggaran terhadap hak privasi yang dilindungi oleh hukum internasional.”

“Ketentuan ‘moralitas’ tersebut bahkan berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual atau menyasar anggota komunitas LGBTQ. Hubungan seksual konsensual tidak boleh diperlakukan sebagai tindak pidana atau pelanggaran ‘moralitas’.”

Pastor Otto Gusti Madung, SVD dari Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero di Flores ikut mengkritisi upaya memasakan pandangan moralitas agama seperti itu ke dalam KUHP ini.

Ia mengatakan, hal ini merupakan kemunduran dalam melindungi hak-hak liberal warga negara yang merupakan salah satu jaminan martabat manusia.

“Ketika moralitas agama ini diadopsi menjadi urusan pidana negara, maka sebenarnya negara sedang menjadikan moralitas agama sebagai persoalan negara,” katanya.

Ini, kata dia, adalah bentuk intervensi “ranah privat warga negara yang seharusnya dihargai oleh negara.”

Ia juga mengingatkan sulitnya menangani kasus semacam itu, yang kemudian memberi ruang yang besar pada tafsiran tafsiran penegak hukum.

“Subjektivitas penegak hukum ini membuka peluang bagi kesewenang-wenangan atau abuse of power,” katanya.

Ancaman bagi Kebebasan Pers                                                      

Dewan Pers juga menyampaikan catatan kritis terhadap KUHP itu karena terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan. 

Dalam pernyataan pada 7 November, lembaga itu menyayangkan pengesahan KUHP di tengah minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers. 

“KUHP itu tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers.

Ia menambahkan, ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Padahal, kata dia, unsur penting berdemokrasi adalah adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.

“Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki,” Arif.

Dewan Pers mencatat sejumlah pasal yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan, seperti Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, juga Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah.

Ilusi Judicial Review ke MK

Pemerintah dan DPR RI telah merespon kritikan dari berbagai pihak dengan meminta mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Namun, Adhitiya Augusta Triputra dari koalisi masyarakat sipil yang menentang KUHP ini menilai respons demikian justru menggambarkan kinerja pemerintah dan DPR yang “asal-asalan.”

“[Mengajukan judicial review] itu memang aturan hukum di negara kita. Tapi sayangnya, Mahkamah Konstitusi itu [jadi] semacam keranjang sampah, yang sampah-sampahnya itu kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh DPR,” katanya.

Bagi Yayasan Kurawal, langkah pengesahan KUHP yang kontroversial ini “menunjukkan bahwa rezim Jokowi dan DPR, serta sistem politik yang menaunginya, telah kehilangan legitimasi moral, politik, dan hukum untuk merepresentasikan kepentingan warga negara.”

“Dihancurkannya negara hukum akibat persekongkolan jahat antara rezim Jokowi dan DPR menunjukkan kepada kita bahwa saatnya sudah tiba untuk mengabaikan negara. Pembangkangan adalah sebenar-benarnya pilihan,” kata Kurawal.

Sementara itu, Eva Sundari, Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) menilai lewat KUHP ini Pemerintahan Jokowi “telah gagal memenuhi komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia yang sering diklaim didukungnya.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA