Desakan Walhi NTT untuk KLHK Terkait Kebijakan di TN Komodo: Perlu Evaluasi Diri Selain Koreksi Pemprov NTT

Kementerian LHK adalah “benteng terakhir” konservasi yang seharusnya dapat memastikan penegakan konservasi  dalam Kawasan TN Komodo dan karena itu perlu mengoreksi kebijakan-kebijakannya yang membuka ruang bagi ekspansi korporasi bisnis pariwisata.

Floresa.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] cabang NTT meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK] untuk tidak hanya mengoreksi Pemerintah Provinsi NTT terkait tata kelola Taman Nasional [TN] Komodo, tetapi juga mengevaluasi kebijakan-kebijakannya sendiri.

“Kementerian LHK menggunakan PP Nomor 12 Tahun 2014 untuk menghentikan upaya monopoli pariwisata oleh PT Flobamor, tetapi sebelumnya juga mereka telah melanggengkan privatisasi bisnis pariwisata dalam kawasan TN Komodo,” kata Yuvensius Stefanus Nonga, Kepala Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye Walhi NTT.

Pernyataan Yuvens yang dikirimkan kepada Floresa.co pada Sabtu, 17 Desember merespons surat Menteri LHK yang sebelumnya mengkritisi isi Peraturan Gubernur [Pergub] Nomor 85 Tahun 2022, yang antara lain menetapkan tarif masuk 3,75 juta rupiah ke wilayah TN Komodo oleh PT Flobamor, perusahan daerah milik provinsi.

Pergub itu sudah dicabut dan kebijakan kenaikan tiket yang rencanaya diberlakukan mulai 1 Januari 2023 dibatalkan. Dengan demikian, tarif masuk ke TN Komodo tetap mengikuti ketentuan dalam PP Nomor 12 Tahun 2014 yang berlaku sama di semua taman nasional.

Yuvens mengatakan, selain mengoreksi kekeliruan Pemprov NTT terkait kebijakan itu, Kementerian LHK masih memiliki pekerjaan rumah untuk menuntaskan masalah tata kelola TN Komodo.

Kementerian LHK, kata dia, adalah “benteng terakhir” konservasi yang seharusnya  dapat memastikan penegakan konservasi  dalam Kawasan TN Komodo.

Tetapi, kata dia, melalui berbagai produk regulasi dan serangkaian kebijakan, KLHK justeru telah dan sedang mengubah TN Komodo dari kawasan konservasi menjadi lahan bisnis pariwisata.

“Skema pariwisata super premium dalam kawasan TN Komodo akan berpotensi melahirkan ancaman yang sama persis dengan agenda kenaikan harga tiket,” katanya.

Pembukaan ruang bagi bisnis pariwisata oleh korporasi di TN Komodo yang selama ini diprotes public terjadi setelah Kementerian LHK melakukan dua kali perubahan zonasi kawasan TN Komodo selama periode 2012-2018. Perubahan itu menambah zona pemanfaatan.

Perubahan besar kawasan itu terjadi pada 2012 melalui Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam nomor SK.21/IV-SET/2012 tentang Zonasi Taman Nasional Komodo.

Perubahan ini mengonversi ratusan hektar wilayah di beberapa pulau. Pulau Tatawa, Pulau Padar, Pulau Rinca, dan Pulau Komodo dibagi-bagi ke dalam apa yang disebut zona pemanfaatan wisata daratan.

Keputusan itu kemudian diikuti pemberian izin konsesi bisnis bagi perusahan-perusahan swasta.

Di Pulau Tatawa, pada 2014, pemerintah memberi izin seluas 6,49 ha ke PT Synergindo Niagatama. Konsesi ini diperluas menjadi 15,32 ha pada 2018. Ini setelah pemerintah melakukan perubahan desain tapak dengan menambah luas ruang usaha dan mempersempit ruang publik di pulau itu.

Sementara di Pulau Padar, pada 2014 juga, konsesi seluas 274,13 ha diberikan ke PT Komodo Wildlife Ecotourism. Korporasi ini juga diberi konsesi serupa seluas 154,6 ha di Pulau Komodo.

Perusahaan lain, PT Segara Komodo Lestari, diberi konsesi seluas 22,1 ha di Pulau Rinca pada 2013.

Merujuk akta perusahaan dan sumber berita dari Betahita.id dan Majalah Tempo, ketiga korporasi itu dimiliki oleh politisi, pengusaha restoran dan hotel hingga terkoneksi dengan raja sawit. Bahkan punya relasi dekat dengan Presiden Joko Widodo.

Yuvens mengatakan,  berbagai skema kebijakan dan pembangunan dalam kawasan TN Komodo, termasuk dengan pemberian izin bagi korporasi-korporasi itu melangkahi mandat Cagar Biosfer yakni konservasi, pemulihan adat setempat, dan pengembangan ekonomi ramah lingkungan.

“Publik patut menaruh rasa curiga. Ada apa di balik skema kebijakan-kebijakan ini? Penetrasi kepentingan kapital dalam kawasan TN Komodo dibantu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang syarat dengan pengabaian hak rakyat, mulai dari monopoli sektor sumber daya alam sampai dengan ancaman penggusuran warga, suara warga dibungkam,” ujarnya.

Ia menyebut rencana pembangunan resort-resort pendukung pariwisata super premium oleh perusahaan-perusahaan itu tentu berdampak pada pariwisata skala kecil dan menengah yang selama ini mayoritas digeluti oleh masyarakat lokal.

“Narasi konservasi tentu akan lebih mudah disandingkan dengan pendekatan pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang juga memiliki keterikatan sosial dengan alam dan satwa Komodo sendiri,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini