Floresa.co – Sabtu, 11 Maret 2023, Skolastika Setiman Marut menerima telepon beruntun dari suaminya, Benediktus Aristo Moa, yang sedang ditahan di Rutan Kelas II B Kupang. Menggunakan ponsel petugas rutan, Aristo meminta istrinya segera bertemu jaksa di kantor Kejaksaan Negeri Manggarai. Permintaan itu sehari sebelum persidangan pembacaan tuntutan terhadap Aristo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang.
“Sepertinya suami saya dalam tekanan waktu itu,” cerita Skolastika kepada Floresa.
Aristo, 45 tahun, menjadi terdakwa kasus korupsi pengadaan lahan pembangunan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur. Terdakwa lain adalah Gregorius Jeramu, 63 tahun, warga adat asal Kampung Kembur, sebagai pemilik lahan.
Gregorius menjual lahan warisannya itu lewat Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alas hak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, surat pajak bukanlah bukti sah kepemilikan tanah.
Sementara Aristo, yang berstatus Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Manggarai Timur, dinyatakan bertanggung jawab saat proses pengadaan lahan terminal. Ia dituduh tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan dan menetapkan harganya.
Tindakan mereka dianggap merugikan negara setara harga tanah Rp402 juta.
Pada 12 Maret, Skolastika mendatangi Kejaksaan Negeri Manggarai, ditemani dua kerabatnya. Di kantor Kejaksaan, Skolastika bertemu Kepala Seksi Pidana Khusus, Daniel Merdeka Sitorus, yang ditemani dua orang; satu perempuan dan satu laki-laki.
“Sebelum kami masuk ke dalam ruangan, semua ponsel ditinggalkan di luar,” cerita Skolastika soal pertemuan di sebuah ruangan lantai tiga. Dua orang yang menemani Daniel tidak memasuki ruangan sehingga “diskusi hanya kami berempat.”
Dalam pembicaraan itu, Daniel menawarkan bahwa ada orang yang mau “membantu untuk mengembalikan kerugian uang negara,” cerita Skolastika. Untuk itu, ia diminta menandatangani sebuah dokumen yang isinya tidak diperlihatkan. Jika menerima, iming-imingnya, suaminya akan dituntut pasal minimal, yakni hanya satu tahun penjara. Daniel tidak memberitahu siapa yang menyiapkan uang itu, tambah Skolastika.
“Atas pertimbangan keluarga bersama pengacara waktu itu, kami tidak mau melakukan tanda tangan karena kami merasa janggal,” ujarnya.
Senin pagi, 13 Maret, bertepatan jadwal sidang pembacaan tuntutan jaksa, Aristo menelepon Skolastika untuk menanyakan penandatanganan “dokumen” yang ditawarkan jaksa Daniel.
Skolastika menjawab tidak mau menandatanganinya. Ia bertanya ke suaminya, “Benar tidak kamu makan uang? Kalau kamu benar makan uang, saya akan tanda tangan.”
Aristo menjawab, “Saya tidak makan uang.”
“Kalau kamu mengatakan demikian,” kata Skolastika, “saya tidak akan tanda tangan.”
“Untuk apa saya tanda tangan kalau kamu tidak makan uang? Ini sama dengan menjerumuskan kita,” pikir Skolastika.
AJ, saudara Aristo yang menemani Skolastika bertemu Daniel, berkata kepada Floresa bahwa “apa yang diceritakan oleh kakak ipar saya itu benar.”
AJ berkata topik yang dibicarakan Daniel adalah “ada orang yang membantu Aristo untuk mengembalikan kerugian negara.” Di pertemuan itu, Daniel berjanji jika keluarga bersedia, Aristo akan disangkakan dengan pasal minimal, tambah AJ.
AJ kemudian diutus keluarga besar untuk bertemu Daniel pada 13 Maret dan memberitahukan keputusan Skolastika tidak menandatangani “dokumen” itu. Ia bertemu Daniel dan seorang jaksa lain di ruangan yang sama di lantai tiga; telepon seluler ditinggalkan di luar ruangan.
Karena Skolastika tidak datang, Daniel dan satu orang jaksa itu kelihatan kesal sekali, kata AJ.
AJ sempat bertanya kepada Daniel soal garansi penuntutan pasal minimal andai Skolastika bersedia menandatangani “dokumen”. Ia juga bertanya siapa orang yang membantu mengembalikan uang negara. Tapi, jawaban Daniel dan rekannya “tidak jelas.”
“Kalau kami bohong mengenai pertemuan itu, di ruangan itu ada CCTV,” tambahnya.
Valens Dulmin, salah satu pengacara Aristo, membenarkan ada permintaan tanda tangan “dokumen”. Ia dan rekan pengacaranya menolak jika Skolastika menandatanganinya karena “tidak masuk akal kalau kerugian negara dibayar Aristo.”
Merujuk dakwaan dan kemudian vonis, kerugian negara itu dibebankan kepada Gregorius.
Pada 13 Maret, sidang pembacaan tuntutan jaksa ditunda ke minggu berikutnya tanpa ada penjelasan alasan. Dalam sidang lanjutan, jaksa menuntut Aristo 2 tahun penjara sementara Gregorius 2,6 tahun penjara.
Pada 29 Maret, saat sidang vonis, Aristo dihukum 1,6 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider kurungan tiga bulan. Adapun Gregorius dihukum 2,6 tahun penjara, denda Rp100 juta subsider kurungan tiga bulan, dan mengembalikan kerugian negara Rp402 juta.
Jaksa kemudian mengajukan banding, yang membuat hukuman keduanya bertambah.
Dalam putusan banding, meski salah seorang hakim mengambil sikap berbeda tapi kalah voting, Pengadilan Tinggi Kupang menaikkan vonis Aristo jadi 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Sementara hukuman Gregorius jadi 4 tahun, denda Rp200 juta, dan mengembalikan kerugian negara Rp402 juta.
Dalih Jaksa: ‘Hambah Allah yang Mau Bantu’
Floresa menemui Daniel Merdeka Sitorus di Kantor Kejaksaan Negeri Manggarai pada 7 Agustus untuk mengonfirmasi cerita Skolastika dan AJ.
Ia terdiam sekitar satu menit, lalu menjawab soal pertemuan 12 Maret dan sumber dana yang dibahasnya dengan keluarga Aristo.
Ia tidak menampik pertemuan itu, tapi berdalih bahwa niatan mengganti kerugian uang negara muncul dari Aristo.
Katanya, “‘Pak Aristo, tolong ceritakan sama Pak Gregorius terkait dengan pengembalian [kerugian negara] itu, apakah memang ada atau tidak?’” ujar Daniel mengulangi pembicaraannya kepada Aristo.
Aristo kemudian bertanya apakah bisa jika keluarganya yang mengembalikan dana kerugian negara itu, klaim Daniel.
“Ya, silakan, Pak Aristo, tolong keluarga dibilang untuk bertemu.”
Apa yang dibicarakan saat pertemuan itu, klaim Daniel, “Cuman sekadar apakah ada atau tidak” dana untuk pembayaran kerugian negara. “Kami cuma memastikan itu aja, tidak ada yang lain,” ujarnya.
Ia membantah soal permintaan apalagi pemaksaan tanda tangan dokumen pengembalian uang negara. Alasannya, di dalam tuntutan pun kerugian negara dibebankan kepada Gregorius karena berdasarkan “data, bukti yang kami terima terkait transfer uang itu, memang di rekening Bapak Gregorius,” katanya.
Dikonfirmasi terkait cerita rinci yang disampaikan Skolastika dan AJ soal pembicaraan mereka perihal “dokumen” itu di ruangan kejaksaan, ia tetap berdalih: “Kalaupun memang ada, kami buatkan administrasinya to. Senyatanya tidak ada.”
Daniel juga membantah soal iming-iming tuntutan hukuman minimal terhadap Aristo apabila keluarganya menandatangani “dokumen” itu.
“Saya rasa, kalau terkait pengembalian kerugian negara itu memang ancaman hukumannya bisa ke minimal,” katanya. “Tetapi kita tetap bantu juga Aristo,” tambahnya tanpa merinci bentuk bantuannya seperti apa.
Floresa mengkonfirmasi cerita Daniel kepada Aristo melalui panggilan video WhatsApp pada 14 Agustus. Aristo membantah penjelasan Daniel.
Ia mengatakan, beberapa hari sebelum sidang pembacaan tuntutan, Daniel menghubunginya melalui nomor ponsel seorang petugas rutan dan membicarakan tentang pengembalian uang pengganti kerugian negara. Saat itu Aristo belum mengetahui apakah dalam dakwaan ia dituntut atau tidak untuk membayar uang pengganti.
“Saya bilang begini, ‘Saya tidak ada uang.’ Dia bilang, ‘Ada yang bantu.’ “Saya bilang, ‘Siapa [yang bantu]?’ “Dia bilang lagi, ‘Ada yang bantu, bapak tidak perlu tahu. Hamba Allah yang mau bantu,’” cerita Aristo mengulangi pembicaraan dengan Daniel.
Dalam percakapan itu, Aristo menanyakan Daniel terkait teknisnya. Daniel menjawab, “Harus diwakili oleh keluarga, istri atau siapa, untuk tanda tangan surat penyerahan uang tersebut.”
“Saya bilang, ‘Baik sudah kalau begitu, Pak. Saya coba komunikasi dengan istri saya dulu, lalu dengan keluarga, bagaimana teknisnya supaya mereka bisa bertemu Bapak.’”
Aristo membantah klaim Daniel bahwa ia dimintai bantuan untuk berbicara dengan Gregorius perihal uang pengganti kerugian negara.
“Berkali-kali saya bertanya kepada Pak Daniel siapakah yang bantu saya, yang hati mulianya itu?”
Daniel menjawab, “Hamba Allah. Bapak tidak perlu tahu.”
Daniel juga berkata jika Aristo mau menerima uang dari “hamba Allah” tersebut maka “sangat membantu … berpengaruh terhadap tuntutan,” cerita Aristo.
Aristo berkata Daniel meneleponnya tiga kali lewat petugas di Lapas.
Setelah berulang kali ditelepon Daniel, Aristo kemudian memberitahu istri dan keluarganya, sehingga terjadi pertemuan di Kantor Kejari Manggarai pada 12 Maret.
“Ternyata keluarga juga tidak sepakat. Lalu, saya cek [surat dakwaan], ternyata saya tidak [dituntut membayar] uang pengganti,” katanya.
Ia heran kenapa keluarganya yang diminta Daniel menandatangani “dokumen” terkait uang pengganti itu, sementara dalam dakwaan, Gregorius yang diminta mengembalikan kerugian negara Rp402 juta.
Aristo berkata Daniel menyayangkan tanggapan keluarganya menolak tawaran tersebut: “Kami sudah bantu loh, Pak Aristo. Tapi kalau begitu keputusannya, mau bilang apa lagi.”
Kejanggalan
Dugaan permainan dalam kasus ini jadi sorotan sejak penetapan tersangka terhadap Benediktus Aristo Moa dan Gregorius Jeramu.
Saat Kejaksaan Negeri Manggarai mulai menyelidikinya pada Februari 2021, sasarannya memang pada dugaan korupsi pembangunan terminal.
Terminal yang direncanakan menjadi penghubung angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibu kota Manggarai Timur, dengan angkutan khusus menuju kota di pesisir pantai selatan Flores ini dibangun bertahap pada 2013-2015. Proyek ini menelan Rp3,6 miliar. Namun, selesai dibangun, terminal ternyata tidak dimanfaatkan. Kondisinya saat ini telantar.
Setidaknya 25 orang diperiksa sebagai saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Perhubungan dan Informatika seperti Kepala Dinas Fansialdus Jahang dan Kepala Bidang Perhubungan Darat Gaspar Nanggar.
Kontraktor yang mengerjakan pembangunan fisik terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John, dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E. Go.
Namun, pada Oktober 2022, Kejaksaan Negeri Manggarai mengumumkan kasus itu diarahkan kepada tukar guling pengadaan lahan, dengan tersangka Gregorius dan Aristo.
Itu seketika memicu aksi protes dari berbagai elemen masyarakat, yang melakukan rangkaian unjuk rasa di Borong, Ruteng, Kupang, hingga Jakarta. Kelompok aktivis juga menggalang dana publik. Dana terkumpul diharapkan dapat membantu keluarga Aristo dan Gregorius menghadapi proses hukum.
Tanah Keluarga
Sofia Nimul, istri Gregorius, mengisahkan sebetulnya keluarga tidak berniat menjual tanah itu. Mereka memilih merelakannya saat pegawai dari Dinas Perhubungan dan Informatika berulang kali mendatangi rumah mereka.
“Mereka datang sekitar empat atau lima kali. Terakhir mereka datang kepok, bawa tuak dengan ayam satu ekor,” tambahnya.
Kepok adalah ritual adat Manggarai yang biasa dilakukan untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk meminta bantuan. Ritus ini melambangkan penghargaan tinggi.
Sofia berkata orang yang datang kepok adalah Kepala Bidang Perhubungan Darat, Gaspar Nanggar.
“Dia bilang, kalau ada terminal, kampung ini akan ramai. Anak-anak kami di Kembur ini bisa kerja di terminal, buka usaha warung kopi dan usaha jualan lainnya.”
Meski awalnya mematok harga tanah itu Rp700 juta, keluarga akhirnya bersedia menurunkannya.
“Saya dengan Bapak Goris setuju harga tanah itu sesuai dengan uang yang mereka siapkan, Rp400 juta lebih,” katanya.
Ia berkata tanah itu milik mereka; tidak pernah ada yang mempersoalkannya sejak sebelum dijual ke pemerintah hingga kini.
Philipus Jehamat, adik Gregorius, berkata Gregorius menggarap tanah itu sejak 1982. “Sampai saat dia jual bahkan hingga kini, kami sebagai saudara maupun pihak lain, tidak pernah mengklaim tanah tersebut.”
“Mengapa Kejaksaan dan hakim hari ini tidak mengakui kepemilikan tanah itu oleh Bapak Gregorius hanya karena tidak ada sertifikat?” ujarnya.
Leonardus Santosa, tokoh masyarakat di Kembur, menambahkan warga di kampung itu umumnya memperoleh tanah dengan menguasainya puluhan tahun.
“Keluarga kami mendiami wilayah ini sejak 1975. Ayah saya mendapat pemberian tanah dari Tu’a Gendang [Kepala Kampung] Warat dan berbatasan langsung dengan tanah yang sudah dikuasai oleh ayah dari Bapak Gregorius.”
Ia berkata Kejaksaan maupun hakim mestinya melakukan uji petik terhadap status kepemilikan tanah di Kembur sebelum menetapkan Gregorius sebagai tersangka dan memvonisnya bersalah.
“Hukum positif itu ada kemudian, tetapi hukum adat, kearifan lokal masyarakat Manggarai, itu sudah ada sejak ribuan tahun lalu,” katanya.
Antonius Sau, Tu’a Golo (Tetua Adat) Kembur berkata, “Dari dulu, kami semua tahu bahwa itu tanah Gregorius.”
“Tidak ada orang lain yang mengklaim tanah itu.”
Karena itu, bersama sejumlah warga Kembur lain, mereka pernah membuat surat kepada majelis hakim yang menangani kasus ini, isinya menyatakan bahwa tanah yang dijual itu milik Gregorius.
“Tapi, kami tidak tahu, mengapa pernyataan kami tidak dihiraukan hakim,” katanya.
Sementara Jefry Moa, perwakilan keluarga Aristo, berkata bahwa “dengan logika sangat sederhana saja, kita bisa melihat dengan terang benderang bahwa tidak ada masalah dalam pengadaan lahan terminal.”
“Kendatipun jaksa dan hakim melihat ada masalah dalam pengadaan lahan, mestinya mereka tahu siapa yang mesti bertanggung jawab,” tambahnya.
Aristo hanyalah pegawai kecil yang baru lulus Pegawai Negeri Sipil pada 2012 saat proses pengadaan lahan itu bergulir, cerita Jefry. “Perannya pun hanya mengetik surat dan menyiapkan dokumen yang diatur dan diarahkan atasan-atasannya.”
Laurensius Lasa, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Cabang Ruteng, salah satu organisasi mahasiswa yang mengawali proses hukum kasus ini, menyebut apa yang dialami Gregorius dan Arito adalah “bentuk peradilan sesat … yang melahirkan pesimisme masyarakat terhadap penegakan hukum.”
Lasa berkata kepemilikan tanah oleh Gregorius sebelum dijual kepada pemerintah adalah sah sesuai hukum adat orang Manggarai.
Hukum adat ini dikuatkan UUD 1945 setelah amandemen ke-2 pada 2000 dalam pasal 18B, yang menerangkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”
Ia menambahkan Gregorius menguasai tanah itu sejak 1980-an; hal yang juga diakui Tetua Adat Kembur.
Selain itu, pasal 37 UU Pokok Agraria mengatur bahwa saat kita menguasai tanah selama 20 tahun atau lebih secara terus-menerus, jujur, dan tidak dipersengketakan, kita memiliki hak untuk memperoleh hak atas tanah tersebut.
“Artinya negara sudah mengatur sedemikian rupa tentang hukum adat yang kemudian dijadikan sebagai landasan tentang keberadaan tanah yang berada di Indonesia umumnya dan Manggarai pada khususnya. Apalagi, Manggarai yang masih percaya penuh dengan hukum adat dalam berbagai aspek terkhusus tentang tanah.”
Yang patut diusut dalam kasus ini, katanya, justru pembangunan fisik terminal yang mangkrak, yang secara jelas telah merugikan keuangan negara.
“Pilihan mengabaikan penyelidikan terhadap pembangunan fisik, tentu menimbulkan kecurigaan yang besar bagi masyarakat. Kami menduga Kejaksaan Negeri Manggarai telah ‘bermain mata’ atau ‘berselingkuh’ dengan beberapa pihak tertentu sehingga kasus pembangunan fisik ditutup rapat,” katanya.
Ucapan Laurensius Lasa mengacu kepada Fansialdus Jahang dan Gaspar Nanggar, keduanya dari Dinas Perhubungan. Saat ini Fansialdus menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, sementara Gaspar sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai Timur.
Fansialdus dan Gaspar tidak merespons Floresa untuk diminta tanggapan soal tudingan bahwa proses hukum pengadaan lahan Terminal Kembur menyelamatkan keduanya, yang semestinya bertanggung jawab, termasuk dalam pembangunan fisik terminal. Pesan konfirmasi yang dikirim melalui WhatsApp pada 12 Agustus hanya dibaca oleh keduanya.
Sementara itu, ihwal masalah pembangunan fisik terminal, Daniel Merdeka Sitorus berkata Kejaksaan belum melanjutkan pengusutannya dengan alasan keterbatasan personel. Ia berjanji meneruskannya setelah kasus pengadaan lahan.
“Sudah ada komunikasi dengan Kejaksaan Tinggi. Kami lagi tunggu waktu kapan ekspos,” katanya, menambahkan bahwa sat ini Kejaksaan fokus pada kasus lain, yakni dugaan korupsi proyek air minum bersih di Desa Rana Masak yang sudah menetapkan tersangka.
Preseden Buruk
Bernadinus Steni, Ketua Pengurus HuMa, lembaga advokasi di Jakarta yang fokus pada pembaharuan hukum berkaitan tanah dan sumber daya alam, menyoroti muslihat Kejaksaan Manggarai menjerat rakyat kecil seperti Gregorius dan PNS bawahan seperti Aristo bisa berimplikasi serius dalam kepemilikan tanah adat atau tanah warisan di Indonesia.
Hanya karena belum bersertifikat, status lahan menjadi alasan atas vonis terhadap Gregorius dan Aristo. Ia menilai kasus ini merepresentasikan preseden buruk dalam penerapan hukum di Indonesia.
Kasus ini, katanya, akan berdampak serius bagi warga atau kelompok yang melakukan jual beli tanah adat tanpa sertifikat kepada pemerintah karena berpotensi diselidiki dengan dugaan menimbulkan kerugian negara.
“Jaksa hingga majelis hakim sama sekali tidak memedulikan fakta sosial-hukum pada mayoritas masyarakat Manggarai maupun NTT, atau bahkan sebagian besar warga Indonesia, yang melakukan transaksi jual beli tanah adat tanpa suatu alas hak tertulis yang dikenal dalam hukum Barat,” katanya kepada Floresa.
“Cara pandang jaksa dan hakim dalam kasus ini amat serius karena memandang tradisi penguasaan tanah yang berlangsung di Manggarai sebagai kesalahan, seolah-olah karena tidak memiliki alas hak, orang Manggarai seperti Gregorius adalah penumpang gelap yang tidak memiliki tanah di negeri ini,” tambahnya.
Ia mengatakan semua orang “di republik ini yang menjual tanah warisannya berdasarkan status adat harus menyadari sepenuhnya implikasi putusan ini.”
Semua tanah yang telah dijual kepada pemerintah daerah maupun pusat selama ini yang dilakukan tanpa alas hak, katanya, berpotensi dinyatakan sebagai proses yang cacat secara hukum dan dapat menjadi tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, lanjutnya, jika putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap, maka warga atau kelompok yang melakukan jual beli tanah adat tanpa sertifikat kepada pemerintah potensial diselidiki dengan dugaan kerugian negara.
Ia mengatakan putusan itu juga menunjukkan pengadilan tidak mengakui keberadaan UU Pokok Agraria yang selama ini mengakui penguasaan tanah secara turun temurun, lebih dari 20 tahun sebagai bentuk penguasaan yang sama dan setara dengan bukti hak tertulis.
“Karena itu, hakim secara implisit tidak mengakui program pemerintah yang saat ini menggalakkan pendaftaran tanah-tanah tanpa alas hak yang diperoleh dari tanah adat atau warisan,” ujarnya.
Steni juga menilai jaksa dalam surat dakwaan, proses persidangan, hingga kontra memori banding menganggap “seorang petani miskin seperti Gregorius yang tidak memiliki kekuasaan apapun mempunyai pengaruh yang amat powerful untuk mengatur jalannya sistem penganggaran di pemerintah daerah dan DPRD.”
“Konon, Gregorius mengatur proses anggaran agar menguntungkan dirinya sendiri. Meski tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa ‘kongkalikong’ itu terjadi, Gregorius dinyatakan bersalah,” ujarnya.
“Tidak perlu seseorang yang bergelar tinggi dan kedudukan hebat untuk melihat cacat pada anggapan semacam ini,” katanya.
Bagaimana mungkin, lanjut Steni, seorang petani sederhana seperti Gregorius bisa mempunyai kekuasaan semacam itu.
“Gregorius bukan seorang sarjana, politisi, bukan tokoh, bukan pejabat, bukan juga pengusaha. Ia hanya seorang rakyat jelata yang lugu dan kebetulan tanahnya ditawari oleh pemerintah daerah,” katanya.
“Jika anggapan jaksa diterima sebagai preseden dalam putusan, amat mudah hukum di negeri ini dipakai untuk menjerat siapa saja, terutama orang kecil seperti Gregorius,” tambahnya.
‘Pemerintah Mau Jerat Kami Supaya Masuk Penjara’
Di tengah dugaan permainan dalam kasus ini, keluarga Gregorius dan Aristo kini menyandarkan harapan untuk mendapatkan keadilan kasasi ke Mahkamah Agung.
Kuasa hukum Gregorius telah mengajukan memori kasasi pada 23 Juni, sementara kuasa hukum Aristo pada 21 Juli.
Paskalis Baut, salah satu pengacara Aristo, mengatakan salah satu keyakinan mereka untuk mengajukan kasasi adalah pertimbangan salah satu dari tiga hakim dalam putusan banding yang menyatakan “Aristo tidak bersalah.”
Hakim Anshori, dalam salinan putusan banding, menyatakan bahwa persidangan telah berhasil mengungkapkan fakta hukum bahwa objek tanah Terminal Kembur adalah tanah milik Gregorius, berdasarkan keterangan saksi batas, penguasaan fisik lebih dari 20 tahun, dan sekarang sudah bersertifikat atas nama Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.
Anshori juga menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan tanah itu adalah tanah bermasalah atau tanah milik negara, bukan tanah perorangan milik Gregorius. Menurutnya, kesalahan Aristo hanya terkait administrasi karena ketidakcermatan, bukan karena penyalahgunaan wewenang.
Paskalis berkata pertimbangan Anshori tersebut “menunjukkan integritas yang kuat terhadap terciptanya keadilan” yang belum tentu dipunyai penegak hukum yang lain yang cenderung “cari aman” dalam mengadili perkara korupsi demi peningkatan karier.
“Pertimbangan hakim Anshori berdasarkan kebenaran yang hakiki dikalahkan oleh kebenaran yang abu-abu,” tambahnya.
Yulianus Soni Kurniawan, salah satu kuasa hukum Gregorius, mengharapkan dukungan dari seluruh masyarakat agar “majelis hakim tingkat judex juris memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya.”
“Karena perkara ini,” tambahnya, “beririsan secara langsung dengan alas hak waris adat atas tanah di Manggarai yang sampai sekarang masih hidup dan berkembang.”
“Jika alas hak adat tidak diakui, maka bukan suatu keniscayaan bahwa suatu saat nanti akan ada begitu banyak daftar calon tersangka berikutnya dari Manggarai atau bahkan seluruh pelosok negeri ini,” ujarnya.
Jefry Moa, adik Aristo, berharap di pengadilan kasasi “barangkali ada celah keadilan yang masih tersimpan di hati hakim-hakim, dengan bekerja secara profesional dan objektif melihat fakta-fakta yang ada.”
“Sebagai keluarga, kami tetap berjuang mencari keadilan bagi kakak kami,” ujarnya.
“Saya dan anak-anak saya hanya minta keadilan yang sebenarnya. Dan kami ingin suami saya atau ayah dari kedua anak saya itu segera dibebaskan,” kata Skolastika, istri Aristo.
Sofia Nimul, istri Gregorius, berkata, “Kalau dulu kami tahu bahwa akan terjadi seperti ini, kami tidak akan jual tanah itu ke pemerintah.”
“Ternyata yang terjadi sebaliknya. Pemerintah mau jerat kami supaya masuk penjara. Saya hanya memohon mukjizat Tuhan untuk membebaskan suami saya.”
Laporan ini adalah kolaborasi Floresa.co dan Project Multatuli.
Baca laporan kolaborasi kami yang lain: