Oleh: Siprianus Edi Hardum
Dalam beberapa hari terakhir, media massa dan media sosial di kalangan orang Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur [NTT] ramai membicarakan berita dan perdebatan mengenai tindakan Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit memecat 249 tenaga kesehatan non-Aparatur Sipil Negara [Nakes non-ASN].
Sejumlah media nasional juga telah ikut memberitakan polemik ini.
Memang, istilah yang dipakai Pemkab Manggarai bukan pemecatan, tetapi tidak memperpanjang Surat Perjanjian Kerja [SPK] para Nakes.
Namun, sepertinya masyarakat tetap keukeuh menggunakan istilah “dipecat,” setidaknya karena dua alasan.
Pertama, para Nakes itu tidak mendapat perpanjangan SPK usai melakukan upaya memperjuangkan aspirasi mereka dua kali, yakni pada 12 Februari 2024 dengan mendatangi Pemkab Manggarai dan 6 Maret 2024 dengan hadir dalam rapat dengar pendapat di DPRD.
Dalam upaya pertama, mereka meminta meminta SPK segera diberikan dan gaji mereka dinaikkan. Permintaan perpanjangan SPK muncul karena mereka tetap bekerja sejak Januari 2024. Mereka juga menyampaikan aspirasi serupa saat audiensi dengan DPRD, di samping soal permintaan mendapat perlakuan khusus ketika hendak ikut seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja [PPPK].
Kedua, para Nakes yang SPK-nya tidak diperpanjang hanya mereka yang ikut dalam dua upaya itu, berjumlah 249 orang, sementara jumlah Nakes non-ASN di Manggarai ribuan orang.
Tulisan ini tidak lahir karena saya mendukung atau tidak mendukung Nabit untuk maju lagi sebagai calon Bupati Manggarai periode berikut.
Sebaliknya, tulisan ini murni dalam rangka memberikan pemikiran hukum, sesuai latar belakang saya yang berkecimpung di bidang hukum.
Hukum Ketenagakerjaan
Saya mencoba melihat polemik ini dengan kaca mata hukum ketenagakerjaan.
Dari perspektif hukum ketenagakerjaan, siapa pun atau lembaga apa pun, baik lembaga pemerintah maupun swasta, mempekerjakan orang lain tentu dengan perjanjian kerja.
Perjanjian kerja per orangan umumnya secara lisan, seperti yang selama ini banyak dipraktikkan di kampung-kampung kita.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada Bab IV soal Ketenagakerjaan, pada pasal 56 ayat 1 berbunyi: Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu dan kedua selesainya suatu pekerjaan tertentu [pasal 56 ayat 2]. Perjanjian kerja waktu tertentu atau selesainya pekerjaan tertentu inilah yang disebut pekerja kontrak, seperti Nakes di Manggarai itu.
Perjanjian kerja waktu tertentu [kontrak] dibuat tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dengan huruf latin [pasal 57 ayat 1].
Sementara perjanjian kerja berakhir sebagaimana ditulis dalam pasal 61 UU tersebut, karena, [1] pekerja atau buruh meninggal dunia, [2] berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, [3] selesainya pekerjaan tertentu, [4] adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan [5] adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Informasi yang saya kumpulkan terkait polemik Nakes di Manggarai adalah mereka diangkat menjadi pekerja kontrak sejak 2016 dan SPK-nya diperpanjang setiap tahun.
Untuk tahun 2024, kontrak para Nakes seharusnya sudah diperpanjang, yang berlaku sejak 1 Januari 2024 sampai 31 Desember 2024.
Namun, perpanjangan kontrak mereka untuk tahun ini baru ditetapkan secara resmi pada April 2024.
Lalu, mengapa kontrak kerja 249 Nakes itu tidak diperpanjang? Berdasarkan informasi yang saya dapat, ada beberapa alasan.
Pertama, Pemkab Manggarai sudah mempertimbangan soal kinerja para Nakes itu sehingga tidak memungkinkan untuk diperpanjang. Kedua, Pemkab Manggarai mempertimbangkan soal keterbatasan anggaran daerah untuk menggaji mereka.
Ketiga, ini analisa banyak pihak, karena di tengah upaya Pemkab Manggarai menetapkan kontrak kerja para Nakes untuk tahun ini, mereka malah berdemo – sebagaimana istilah yang dipakai Nabit.
Demo ini telah menyulut kemarahan Nabit, ditambah dengan masalah soal anggaran daerah yang terbatas. Lantas, langkahnya kemudian adalah para Nakes yang berdemo tidak diperpanjang saja kontrak kerjanya, alias dipecat.
Wanprestasi
Namun, sebagaimana pertanyaan banyak orang, kalau anggaran kurang, mengapa sejak Januari mereka tetap dipekerjakan?
Barangkali bagi pihak Pemkab Manggarai, alasannya adalah karena setelah menimbang-nimbang anggaran, ternyata tidak akan cukup. Karena itu, lebih baik kontrak kerja para Nakes tidak diperpanjang, daripada tidak bisa digaji.
Nah, kalau sejak Januari 2024 para Nakes itu mulai bekerja, lalu kemudian disuruh berhenti karena kontrak kerja tidak diperpanjang, maka Pemkab Manggarai telah melakukan cidera janji/ingkar janji atau wanprestasi, menurut istilah hukum perdata.
Dalam hukum perdata ada asas Pacta Sunt Servanda, kepastian hukum. Asas ini menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya [pasal 1338 KUHPerdata].
Oleh karena itu, kalau salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak yang bersangkutan harus melaksanakan atau memenuhi kewajibannya, baik secara sukarela maupun dipaksa hukum [hakim].
Kalau Pemkab Manggarai merasa telah melakukan ingkar janji, maka langkah yang dilakukan adalah, pertama, Nabit menyampaikan permohonan maaf kepada para Nakes dan masyarakat Manggarai secara umum karena telah membuat heboh.
Permintaan maaf itu tentu perlu disertai penjelasan soal alasan kebijakan pemecatan mereka, misalnya karena terkait kemampuan keuangan daerah yang tidak memadai.
Selain itu, Pemkab Manggarai perlu memberikan honor para 249 Nakes itu sejak Januari – April karena mereka telah bekerja. Jumlah honor sesuai dengan yang berlaku sebelumnya. Bisa saja Pemkab Manggarai memberikan honor para Nakes tidak hanya sampai April, tetapi Juni 2024.
Kalau para Nakes merasa sangat dirugikan dengan tindakan Pemkab Manggarai, dalam hal ini Bupati Nabit, mereka tentu bisa melakukan gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri Ruteng.
Namun, saya mengusulkan agar mengutamakan mengambil jalur musyawarah mufakat, dengan dua usulan di atas.
Usulan lain yang paling bagus adalah pekerjakan mereka sampai 31 Desember 2024. Tabe!
Siprianus Edi Hardum adalah advokat dan dosen asal Manggarai