Pemecatan 249 Nakes Non-ASN oleh Bupati Pengusung ‘Perubahan’ di Manggarai, Bagaimana Duduk Soal dan Apa Dampak Elektoralnya dalam Pilkada 2024?

Bupati Manggarai tidak memperpanjang Surat Perjanjian Kerja [SPK] tenaga kesehatan untuk tahun 2024 karena menilai mereka tidak disiplin dan tidak loyal setelah menyampaikan aspirasi ke DPRD

Floresa.co – Pemecatan tenaga kesehatan non-Apratur Sipil Negara [Nakes non-ASN] di Kabupaten Manggarai mestinya tidak terjadi apabila Bupati Herybertus Nabit, yang juga Pejabat Pembina Kepegawaian [PPK], mematuhi regulasi yang telah berlaku secara nasional, demikian kata pengamat kebijakan publik.

Nabit menjadi sorotan dalam beberapa pekan terakhir, usai kebijakannya yang kontroversial memecat 249 Nakes non-ASN, usai mereka mengajukan sejumlah permintaan, termasuk perpanjangan Surat Perjanjian Kerja [SPK] dan kenaikan tambahan penghasilan.

Kementerian Kesehatan ikut bersuara terhadap langkah Nabit, bupati yang gembar-gembor dengan slogan ‘perubahan’ sebelum memimpin Manggarai pada 2020.

Arman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah [KPPOD] yang salah satu fokus kajiannya tentang kinerja pemerintah daerah berkata Nabit seharusnya terhindar dari polemik saat ini andai ia taat pada Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

PP tersebut melarang PPK mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja [PPPK] untuk mengisi jabatan ASN, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.

Undang-Undang ini, jelas Arman, secara eksplisit tidak lagi mengakui adanya tenaga honorer atau pegawai non-ASN.

“Karena di dalam UU Nomor 5 Tahun 2014, yang termasuk dalam pegawai pemerintah itu hanya dua saja, yaitu Pegawai Negeri Sipil [PNS] dan PPPK,” kata Arman kepada Floresa pada 13 April.

Alasan Nabit: Nakes Tak Displin dan Tak Loyal

Dalam catatan Floresa, meski sudah ada larangan merekrut pegawai honorer sejak tahun 2018, tetapi Pemerintah Kabupaten Manggarai masih merekrut Tenaga Harian Lepas [THL].

Tahun 2022 misalnya, sejumlah Organisasi Perangkat Daerah di kabupaten itu secara diam-diam merekrut ratusan THL. Salah satunya adalah anak kandung Wakil Bupati Heribertus Ngabut, sementara yang lainnya mantan tim sukses mereka saat Pilkada 2020.

Ikatan kerja untuk tenaga honorer ini adalah SPK yang masa berlakunya selama setahun.

Soal SPK inilah yang antara lain memicu demonstrasi sekitar 300 Nakes non-ASN pada 12 Februari dan 6 Maret 2024 di Ruteng.

Selain penerbitan SPK baru, para Nakes menuntut kenaikan gaji dan tambahan penghasilan, seperti pernah dijanjikan Nabit.

Namun, aspirasi mereka kemudian dijawab Nabit dengan tidak memperpanjang SPK Nakes yang terlibat dalam aksi menuntut kehidupan yang layak tersebut.

Dalam sebuah pernyataan tertulis kepada wartawan pada 11 April, Nabit mengatakan, Pemkab Manggarai sejak tahun 2023 “berusaha sungguh-sungguh untuk mempertahankan keberadaan mereka [tenaga kesehatan non-ASN], meski sebenarnya ada aturan yang membolehkan penghentian mereka.”

“Pemkab berpandangan bahwa keberadaan mereka masih sangat dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, untuk memastikan tercapainya target-target pembangunan di bidang kesehatan,” katanya.
“Di sisi lain, Pemkab tidak ingin angka pengangguran meningkat tajam  yang akan berdampak pada banyak hal,” tambah Nabit.

Ia berkata, mulanya Pemkab berharap kebijakan mempertahankan Nakes non-ASN ini dilanjutkan pada tahun ini.

Namun, katanya, pada pertengahan Februari 2024, para Nakes ini “secara bersama-sama menemui Pemkab  – yang diwakili oleh Sekertaris Daerah Fansialdus Jahang dan Kepala Dinas Kesehatan Bartolomeus Hermopan – menyampaikan beberapa aspirasi.”

Menurutnya, ada dari aspirasi itu yang kemudian segera ditindaklanjuti Pemkab, meski ia tidak merinci lebih lanjut.

Namun, tambahnya, ada juga aspirasi yang harus disampaikan ke Pemerintah Pusat karena memang merupakan kewenangan pusat.

“Intinya, semua yang disampaikan sudah ditindaklanjuti,” klaim Nabit.

Kemudian, lanjutnya, pada 6 Maret 2024 para Nakes ini “demo lagi” – merujuk pada audiensi dengan DPRD Manggarai.

Nabit berkata, tuntutan para Nakes di DPRD sama dengan yang sudah disampaikan ke pemerintah pada 12 Februari.

Aspirasi tersebut, kata dia, adalah  mengusulkan formasi sebanyak-banyaknya untuk tenaga kesehatan kategori tertentu, menuntut diangkat menjadi PPPK tanpa tes dan menuntut agar formasi PPPK disesuaikan dengan kebutuhan Puskesmas.

Selain itu, tambahnya, mereka juga menuntut agar Nakes kategori tertentu ditempatkan di Puskesmas asal.

Nakes, menurut Nabit, juga menuntut agar dalam seleksi PPPK memprioritaskan tenaga kesehatan asal Kabupaten Manggarai.

Para Nakes juga menuntut SPK untuk tahun 2024 dan upah sesuai dengan Upah Minimum Regional [UMR].

Terkait upah ini, dalam wawancara dengan Floresa, selama ini para Nakes non-ASN ini mendapat upah Rp300 ribu per bulan, jauh dari UMR Kabupaten Manggarai tahun 2024 dan 2023 yang masing-masing Rp 2.186.826 dan Rp 2.123.994 per bulan.

Nabit berkata, beberapa dari aspirasi itu “tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak masuk akal,” seperti tuntutan memprioritaskan tenaga kesehatan asal Kabupaten Manggarai dalam seleksi PPPK.

Sementara terkait tuntutan upah sebesar UMR, ia berkata “sudah berulang kali disampaikan bahwa belum bisa dipenuhi karena keterbatasan angggaran.”

“Intinya bahwa apa yang disampaikan pada saat demo di DPRD bukanlah hal baru, tetapi merupakan hal yang diulang-ulang penyampaiannya. Kalau demikian, apa urgensinya melakukan hal ini?” ujarnya.

Ia kemudian mengartikan tuntutan para tenaga kesehatan di DPRD itu sebagai “ketidakdisiplinan dan ketidakloyalan”.

Selain itu, tuntutan yang disampaikan berulang-ulang itu, menurutnya, merupakan tanda “ketidakpercayaan kepada pimpinan daerah untuk meneruskan/menyelesaikan aspirasi yang ada.”

“Kalau demikian, maka berarti perkenankan saya juga untuk menunjukkan ketidakpercayaan kepada mereka,” ujarnya.

Merespons keputusan Hery yang tidak menerbitkan SPK tahun 2024, para Nakes pun menyampaikan permohonan maaf lewat sebuah surat.

Mereka berkata, “pada awalnya kami dengan semangat ingin memperjuangkan nasib kami  menjadi lebih baik, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang kami harapakan.”

“Kami menyampaikan permohonan maaf kepada Bapak Bupati Manggarai atas kekeliruan kami yang tidak mengikuti struktur birokrasi di Kabupaten Manggarai dan tidak loyal terhadap pimpinan,” tulis mereka dalam pernyataan itu.

Selanjutnya, para Nakes memohon kepada Nabit agar “mendapatkan SPK untuk dipekerjakan kembali di wilayah kerja Puskesmas kami masing-masing.”

“Kami mohon kiranya Bapak Bupati dapat menyediakan waktu untuk kami temui, sehingga kami bisa menyampaikan secara langsung permohonan maaf kami,” tulis mereka.

Soal permohonan maaf ini, Nabit berkata belum mendapatkan laporan rinci karena masih masa liburan Lebaran.

“Jadi, tidak bisa memberikan komentar lebih banyak,” ujarnya.

Mengapa Tenaga Honorer Masih Direkrut?

Arman Suparman dari KPPOD mengatakan, pemantauan oleh KPPOD selama ini, ada beberapa alasan pemerintah daerah tetap mempertahankan dan bahkan merekrut tenaga non-ASN atau honorer, meski sudah dilarang oleh Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018.

Pertama, kata dia, adalah kekhawatiran akan menambah pengangguran di daerah bila kepala daerah memutus kontrak tenaga honorer yang sudah bekerja cukup lama.

Kedua, karena seringkali kebutuhan pelayanan publik di daerah tidak diakomodasi dengan baik dalam proses perekrutan ASN dan PPPK setiap tahun.

Karena itu, jelasnya, kepala daerah pun mempertahankan bahkan merekrut tenaga pemerintah Non-ASN.

Alasan ketiga, kata Arman, karena kebutuhan kepala daerah atau politisi untuk balas jasa kepada orang-orang yang sudah mendukung dia sebelum atau pada masa kampanye Pilkada.

“Karena itu, dari tiga alasan ini, KPPOD dari dulu selalu mempertahankan bahwa tenaga honorer itu tetap mengikuti seleksi ketika dia nanti ingin masuk ke ASN atau PPPK. Karena ada catatan bahwa proses pengangkatan tenaga honorer selama ini tidak berbasiskan sistem merit,” katanya.

Karena dalam praktiknya kepala daerah sulit mengimplementasikan larangan merekrut tenaga pemerintah non-ASN, menurut Arman, pembahasan terkait masalah ini masih berlanjut saat ini oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Nasional  dan DPR RI.

Diskusi ini diantaranya terkait mekanisme pengangakatan tenaga pemerintah non-ASN menjadi ASN atau PPPK di tengah kondisi keuangan daerah yang terbatas.

Pembicaraan terakhir di DPR, menurut Arman, para tenaga pemerintah non-ASN ini tetap mengikuti seleksi bila ingin menjadi ASN dan PPPK, tidak serta merta diangkat menjadi PNS atau PPPK.

Karena masih ada pembahasan di tingkat pusat, ia berkata mestinya pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, termasuk Pemkab Manggarai tidak terburu-buru mengambil keputusan.

“Jangan dulu mengambil keputusan terkait nasib tenaga honorer ini, menunggu seperti apa nanti peraturan pemerintah,” katanya.

Ia pun menyayangkan kebijakan Nabit yang memutuskan tidak memperpanjang SPK 249 Nakes, “apalagi pemecatan itu dihubungkan dengan kasus demo yang dilakukan para Nakes itu.”

Ia menyarankan agar bupati dan DPRD duduk bersama lagi untuk mencari solusi untuk 249 tenaga kesehatan yang diberhentikan itu.

“Karena kalau tidak salah, bulan April ini regulasi terkait kebijakan tenaga honorer dan Pegawai Pemerintah Non-ASN ini akan rampung, sehingga menurut kami, semua hal yang berkaitan dengan tenaga non ASN di daerah itu menunggu peraturan pemerintah ini,” ujarnya.

Apakah Berdampak ke Elektabilitas Hery Nabit?

Polemik pemecatan Nakes ini terjadi menjelang Pilkada serentak 2024 yang tahapan pencalonan dimulai bulan depan.

Nabit yang terpilih menjadi Bupati Manggarai pada Pilkada 2020 diperkirakan akan kembali maju pada Pilkada tahun ini.

Ia kemungkinan tidak lagi berpasangan dengan Heribertus Ngabut, wakilnya saat ini.

Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana  Kupang, Umbu Pariangu, berkata polemik ini menimbulkan citra negatif bagi Hery Nabit.

Apalagi, jelasnya, polemik ini kemudian ramai diberitakan media nasional dan menjadi perbincangan warga di dunia maya.

“Dengan informasi yang tidak lengkap, masyarakat bisa saja menilai bupati tidak wise (bijaksana), tidak peduli dengan tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan masyarakat, sehingga kemudian menjadi bola liar yang kemana-mana,” kata Umbu kepada Floresa pada 13 April.

Citra Nabit semakin buruk di mata masyarakat, bila kemudian pemecatan 249 tenaga kesehatan yang bekerja di berbagai Puksesmas ini berimbas pada terganggunya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

“Dinamika seperti ini menuntut sensitivitas pemerintah setempat untuk mengantisipasi dampak dari tuntutan tersebut terhadap hak-hak rakyat Manggarai,” kata Umbu.

Editor: Petrus Dabu

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Polisi di Manggarai Timur Amankan Ayah yang Diduga Perkosa Putri Kandung Hingga Lahirkan Dua Anak

Korban masih dalam kondisi kurang sehat pasca melahirkan anak kedua 

Keuskupan Ruteng Janji Serius Tangani ‘Dugaan Perbuatan Tercela’ Imam yang Tidur dengan Istri Umat, Klaim Akan ‘Jaga Nama Baik’ Semua Pihak

Umat yang mengaku imam Keuskupan Ruteng tidur dengan istrinya meminta imam itu tanggalkan jubah

Bersatu Usung Perubahan pada Pilkada 2020, Hery Nabit dan Heri Ngabut Berpisah pada Pilkada 2024

Menyongsong Pilkada 2024, keduanya sudah mendaftar sebagai calon bupati di sejumlah partai politik 

‘Saya Sudah Telanjur. Kasus Ini Diam-Diam Saja. Kalau Dibongkar, Saya Hancur,’ Imam Katolik di Keuskupan Ruteng Mohon kepada Suami yang Istrinya Ia Tiduri

Umat Katolik yang istrinya tidur bersama imam Katolik, pastor parokinya memberi klarifikasi, membantah klaim-klaim imam itu

Floresa Hadiri Peluncuran ‘Journalism Trust Initiative’ untuk Penguatan Media Digital di Indonesia

Indonesia adalah satu dari 10 negara prioritas di Asia-Pasifik yang diharapkan bisa bergabung dalam proses sertifikasi media digital ini