Floresa.co – Paulus Jufrianto kesal melihat tumpukan sampah yang membludak di dua bak penampungan sementara sampah di Wae Ngkeling, batas antara Kelurahan Tenda dan Kelurahan Carep, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
Bengkel las yang dibuka Paulus sejak 2022 berada persis sebelah menyebelah jalan raya Trans Flores dengan dua bak sampah tersebut.
Selain jumlahnya melampaui kapasitas bak, sampah-sampah yang didominasi plastik itu berserakan hingga sekitar 10 meter ke sisi kiri dan kanan bak.
Kekesalannya bertambah ketika musim hujan di wilayah Ruteng, ibu kota Manggarai.
Selain “baunya semakin tak sedap,” sampah-sampah yang tak kebagian tempat itu “makin berserakan,” katanya.
Kondisi “kian buruk saat hari raya keagamaan,” kata Paulus pada 29 November, “petugas pengangkut sampah sampai kewalahan.”
Membuka usaha di dekat bak penampungan sampah, ia menghitung “bisa sampai lima atau enam kali petugas mengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir [TPA] di Ncolang.”
TPA Ncolang terletak di Desa Poco, Kecamatan Wae Ri’i, sekitar 15 kilometer di sebelah utara Ruteng, melalui jalan raya Ruteng-Reo.
Sebelumnya sampah dari Ruteng dibuang di TPA yang terletak di kilometer lima, tepat di pinggir jalan raya Ruteng-Reo.
Sejak 2015, TPA tersebut tidak difungsikan lagi setelah warga di Kelurahan Karot, ujung utara Kota Ruteng protes terhadap aroma tak sedap dan banyaknya lalat.
Pada 2019, rencana pemindahan TPA tersebut ke Ncolang juga menjadi polemik ketika warga Desa Poco melakukan protes, menyebutnya menimbulkan serangan lalat dan pembakaran sampah mengganggu saluran pernapasan warga di pemukiman terdekat.
Kadis Lingkungan Hidup: ‘Bukan Karena Kami Malas’
Siang sesudah bertemu Paulus, Floresa menemui Kepala Dinas Lingkungan Hidup [DLH] Kabupaten Manggarai, Charlenson Z. Rihimone di kantornya di Jalan Cunca Lawar, Kelurahan Tenda, Kecamatan Langke Rembong.
Carles, sapaannya, berkata, membludaknya sampah di kontainer penampungan Wae Ngkeling “karena memang belum diangkut sama petugas.”
Ia mengklaim biasanya sampah mulai diangkut sejak pagi ketika kontainer penuh.
“Kalau kita tunda, sampah pasti akan membludak,” katanya.
Kendati demikian, Carles tak menampik adanya penundaan pengangkutan sampah, yang kata dia hanya terjadi “karena ada sedikit kendala.”
“Misalnya kendaraan pengangkut rusak,” namun “bukan karena kita malas.”
“Kalau kami absen, selain sampah membludak, karena musim hujan, otomatis air pasti bawa ke mana-mana,” katanya.
Carles menjelaskan sampah-sampah di Ruteng, baik yang berasal dari rumah tangga maupun dari kawasan pertokoan diangkut menggunakan kendaraan roda tiga oleh petugas DLH, lalu dikumpulkan ke beberapa titik kontainer penampungan sementara.
DLH memiliki 22 unit kendaraan roda tiga, “20 unit di Ruteng dan dua lainnya di Reo.”
Reo adalah ibu kota Kecamatan Reok, kota kecil di bagian utara dengan fasilitas pelabuhan penumpang dan barang yang berjarak sekitar 56 kilometer dari Ruteng.
Jumlah kontainer atau bak penampungan sementara itu, kata dia, masing-masing dua di Wae Ngkeling dan Pasar Inpres.
Sementara yang lainnya, masing-masing satu unit, ada di Pasar Puni, Kelurahan Lawir, Perumnas di Kelurahan Compang Tuke, dan di samping Kantor Camat Langke Rembong di Mbaumuku.
Pasar Puni dan Pasar Inpres, lanjutnya, adalah titik dengan jumlah sampah terbanyak.
Berbeda dengan Carles, menurut Kepala Bidang Persampahan DLH Manggarai, Antonius Hani, Pasar Inpres dan Wae Ngkeling merupakan dua titik dengan sampah terbanyak di Ruteng.
Setiap hari di dua lokasi itu, “petugas mengangkut sampah sebanyak empat sampai lima kali menggunakan ambrol [kontainer] berkapasitas masing-masing setengah ton.”
Jumlah tersebut sama dengan 2,5 ton sampah yang diangkut dalam sehari.
Kecuali di Perumnas yang hanya diangkut sekali dalam sehari, petugas mengangkut sampah dua kali dalam sehari dari titik-titik lainnya.
Dari titik-titik tersebut, keseluruhan delapan unit truk mengangkut kontainer sampah dan membawanya menuju TPA Ncolang.
Selain delapan truk kontainer, lanjutnya, DLH memiliki empat unit truk pengangkut yang biasa disebut dump truck.
“Tiga dump truck ini melayani Langke Rembong sampai Cancar, [Kecamatan Ruteng, sekitar 15 kilometer ke arah barat]. Kemudian satu di Reo,” katanya.
DLH juga “menyediakan bak penampung sampah rumah tangga di Wae Ngkeling,” khusus untuk warga sejumlah kelurahan di sisi timur Ruteng.
Sementara di Kampung Laci, Kelurahan Carep, “warga taruh saja sampah di depan rumah.”
“Nanti kendaraan roda tiga DLH akan datang dan angkur ke Wae Ngkeling.”
Bak penampungan sampah Wae Ngkeling dijadikan titik pembuangan awal karena merupakan “jalan arteri yang dilewati kendaraan umum jarak jauh.”
“Di Wae Ngkeling ini kita membatasi sampah yang dibawah orang yang lewat baik dari Mano, Borong [Kabupaten Manggarai Timur] dan lainnya dari arah timur [Flores] sana,” katanya menyebut bertujuan agar sampah-sampah dari luar Ruteng “jangan sampai masuk ke kota ini.”
Hal yang sama juga dengan titik di Perumnas, yakni untuk menghindari sampah dari arah barat masuk Ruteng.
‘Sampah Urusan Kita Semua’
Carles berkata petugas di dinasnya mengangkut 9-11 ton sampah setiap hari dari seluruh tempat penampungan sementara di kota itu.
“Kami tidak mau lihat ada yang kotor, kami akan berusaha supaya semua sampah di tempat penampungan awal itu bisa diangkut ke TPA,” katanya.
Selain itu, masyarakat juga harus bisa mendisiplinkan diri untuk menjaga dan merawat lingkungan, karena urusan sampah bukan hanya urusan DLH, “tetapi urusan kita semua.”
“Di daerah selatan misalnya, itu kan daerah ketinggian. Kita ini tidak sadar, sampah buang di got. Saat hujan besar datang, sampah terdorong. Yang menjadi korban adalah daerah perkotaan seperti Karot sampai di Mena ke bawah,” katanya.
Ia juga berharap sampah rumah tangga tidak dibuang sembarangan.
“Kalau malas untuk antar langsung ke tempat pembuangan awal, simpan saja di depan rumah, supaya pas petugas lewat, kami bisa langsung angkut sampahnya,” katanya.
Ia mengatakan “telah memiliki sistem keanggotaan dalam pengurusan sampah.”
Antonius Hani berkata jumlah pelanggan dalam keanggotaan tersebut 16.104 orang, dengan tujuh kategori yakni rumah tangga, usaha kecil, usaha perdagangan, usaha pertokoan, hotel, restoran dan kantor pemerintahan.
“Pelanggan terbanyak rumah tangga, sekitar 7.000 warga,” katanya kepada Floresa melalui pesan WhatsApp pada 30 November.
Para pelanggan tersebut mendaftar ke DLH dan membayar iuran Rp4.000 per bulan.
Carles berkata, “iuran ini juga bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk urus itu sampah juga.”
Sampah milik warga yang belum terdaftar “tetap kami angkut dari depan rumahnya,” katanya.
“Kami berharap supaya masyarakat terdaftar dan terdata semua dalam sistem ini. Iurannya nanti bisa untuk perbaikan fasilitas seperti kendaraan angkut sampah.”
Ia menyesalkan warga yang “malam-malam mengangkut sampah ke bak penampungan, mungkin karena takut bayar.”
Upaya lainnya, kata dia, adalah berkolaborasi dengan Keuskupan Ruteng dalam penanganan masalah sampah.
Hal itu dilakukan lewat kegiatan kampanye ekologi integral dan mendukung mahasiswa dalam kegiatan kebersihan dan dengan para lurah untuk kebersihan lingkungan.
Paulus Jufrianto berkata dirinya juga kesal dengan warga yang bukannya membuang sampah di kontainer penampungan sementara.
Mereka, katanya, “buang lagi di kebun saya di belakang [bengkel]. Saat saya bersih kebun, banyak sekali saya temukan sampah plastik.”
Ia mengaku jumlah sampah di Ruteng semakin meningkat setiap tahun, berdasarkan pengamatannya di titik Wae Ngkeling, di mana “sekarang setiap hari petugas datang angkut.”
“Sebelumnya, mereka hanya parkir mobil angkut sampah di sini sebelum ada ini bak [kontainer] penampung sampah. Kalau mobilnya penuh baru mereka antar ke TPA Ncolang. Satu hari satu kali,” katanya.
Ia juga mengaku sering melihat pedagang dari pasar membuang sampah di Wae Ngkeling “pas petugas tidak ada” karena kemungkinan kontainer di pasar sudah menumpuk.
Selain itu “ada juga orang yang lempar saja dari mobil, sehingga berserakan sampahnya.”
Editor: Anno Susabun