Pak Prabowo, Mengampuni Koruptor itu Mengkhianati Amanat Reformasi!

Kalau koruptor dimaafkan, hal ini jelas menjadi preseden buruk. Semakin banyak orang yang melakukan korupsi karena toh akan dimaafkan

Oleh: Siprianus Edi Hardum

Beberapa hari terakhir, media massa dan media sosial ramai membahas ide Presiden Prabowo Subianto mengampuni koruptor, dengan syarat koruptor mengembalikan uang hasil korupsinya kepada negara.

Prabowo menyampaikan ide itu di hadapan para mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir pada 18 Desember. Menurutnya, pemerintah akan membuat mekanisme pengembalian duit hasil curian itu, tanpa diketahui publik.

Pendapat Prabowo yang merupakan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya [Gerindra] diperkuat oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra.

Yusril, orang yang selalu “dipakai” mantan Presiden Soeharto untuk menulis pidatonya menyebut usulan Prabowo sebagai bagian dari amnesti. Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, katanya, Prabowo memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk korupsi, dengan meminta pertimbangan DPR.

Pernyataan Prabowo yang didukung Yusril mendapat tanggapan pro dan kontra dari masyarakat, termasuk anggota DPR. Pendapat yang pro umumnya dari parpol pendukung pemerintahan Prabowo. Yang kontra adalah jelas dari berbagai elemen masyarakat yang melihat korupsi sebagai penyakit kronis bangsa dan negara.

Mahfud MD misalnya menegaskan bahwa korupsi dilarang oleh undang-undang. Bahkan, orang yang tahu bahwa ada praktik korupsi namun tidak melaporkannya, kata dia, bisa dijerat terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Amanat Reformasi dan Korupsi yang Malah Menjadi-jadi

Salah satu dari tujuh amanat Reformasi 1998 adalah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme [KNN] sampai ke akar-akarnya, sebuah upaya untuk mengakhiri praktik yang jamak terjadi selama era Orde Baru di bawah Soeharto, mertua Prabowo.

Sebagai pengejawantahan dari amanat tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Tipikor]. Selanjutnya, pada 2002, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK].

Alasan utama pembentukan KPK adalah karena Kejaksaan dan Polri dianggap tidak efektif menangani masalah ini. Meminjam istilah yang dipakai pakar hukum pidana, Jacob Elfinus Sahetapy, kedua institusi itu tidak becus, mengingat banyak anggota mereka yang ikut mengubangkan diri dalam nikmatnya kolam korupsi.

Kendati menjadi salah satu target reformasi, hingga kini korupsi masih menjadi-jadi.

Saya melihat, korupsi merupakan empat tantangan utama bangsa dan negara Indonesia saat ini, selain peredaran narkoba, radikalisme agama yang berujung pada terorisme, dan perjudian, termasuk akhir-akhir ini judi online yang melibat aparat penegak hukum.

Setiap hari masyarakat Indonesia disuguhi berita aksi aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Polri mengusut dugaan tindak pidana korupsi. Yang terjaring adalah kepala dinas, bupati, wali kota, gubernur dan menteri yang bekerja sama dengan rekanan pengusaha. Yang lebih menyakitkan hati masyarakat adalah orang yang terlibat dalam praktik korupsi justru aparat penegak hukum, seperti anggota polisi, jaksa, hakim dan oknum di KPK.

Ada beberapa contoh kasus yang perlu disebut. Misalnya, Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang terjaring operasi tangkap tangan KPK pada 19 September 2022. Saat itu, ada 10 orang yang jadi tersangka dugaan suap pengurusan perkara yang belakangan diketahui untuk memuluskan kasasi kepailitan KSP Intidana. Sudrajad akhirnya divonis delapan tahun penjara.

Contoh lainnya adalah hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri yang terjaring operasi tangkap tangan dan divonis lima tahun penjara pada 2018, lagi-lagi karena kasus korupsi.

Dua hakim tersebut merupakan sebagian kecil dari begitu banyak hakim yang dijerat hukum karena korupsi.

Menurut data KPK, 167 kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2024. Pada periode yang sama, KPK juga menangani 618 kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan kabupaten dan kota.

Sementara data Indonesia Corruption Watch [ICW] menyebutkan, kerugian negara karena korupsi mencapai Rp238,14 triliun selama 10 tahun terakhir, 2013-2022. Data ini mengacu pada putusan kasus korupsi dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi.

Korupsi sungguh berdampak bagi bangsa dan negara. Pelayanan publik jadi macet. Praktik korupsi juga membuat orang kaya bertambah kaya, orang miskin makin miskin. Orang-orang tertentu memilih menghindari pajak dengan cara menyuap oknum petugas pajak, membuat pendapatan negara berkurang.

Anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, pembangunan gedung sekolah, rumah sakit dan infrastruktur jalan menjadi tidak optimal. Ketika penyediaan pelayanan dasar tersebut tidak terwujud, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Lemahnya Peran Legislatif

Mengapa praktik korupsi pada era reformasi masih masif? Saya melihat sejumlah penyebab.

Pertama, lemahnya peran lembaga legislatif. Dalam negara demokrasi, termasuk demokrasi Pancasila, tiga pilar utama tegaknya atau berjalannya negara adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif, yakni presiden dan menteri-menterinya, termasuk pimpinan lembaga terkait lainnya hingga di level daerah, bertugas menjalankan roda pemerintahan berdasarkan undang-undang.

Sementara tugas legislatif, salah satunya, mengontrol eksekutif. Manakala eksekutif bertindak menyimpang, legislatif memberikan kritikan dan masukan. Yudikatif bertugas memeriksa dan menghukum siapa pun yang melanggar hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun, sejak berdirinya negara ini, lembaga legislatif nyaris tidak menjalankan fungsi kontrol.

Sejarawan Anhar Gonggong mencatat bahwa pada masa Orde Lama, Presiden Sukarno dan beberapa founding fathers masih mencari format pemerintahan yang tepat untuk Indonesia. Sukarno pernah mencoba mengadopsi demokrasi ala Barat yang puritan sampai demokrasi terpimpin. Semua model pemerintahan dicoba hingga akhirnya kekuasaan Sukarno tumbang.

Sementara pada masa Orde Lama, anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum yang diajukan sendiri oleh partai politik. Selama Orde Baru, anggota legislatif ditentukan pemerintah berkuasa, berdasarkan daftar yang diajukan panitia yang ditunjuk presiden. Karena ditunjuk dan diajukan oleh presiden, tak jarang DPR hanya menjadi stempel bagi sejumlah kebijakan pemerintah. Menurut Anhar, panitia yang bertugas itu militer, kemudian nama anggota DPR diserahkan kepada Soeharto.

Karena DPR sebagai stempel saja, pada zaman Orde Baru korupsi merajalela. Sosiolog George Junus Aditjondro [Aditjondro 2006: 7-14] menyebut korupsi zaman Soeharto bertumpu pada tiga kaki.

Pertama adalah istana, yakni orang dekat Soeharto yang berumah di Jalan Cendana Jakarta dan sering ke sana untuk merancang bisnis guna mencuri uang negara. Kedua, tangsi, merujuk pada anggota Angkatan Bersenjata RI [ABRI] aktif maupun pensiunan yang terlibat dalam bisnis Soeharto dan anak-anaknya melalui perusahaan-perusahaan mereka. Ketiga, partai penguasa yakni Golkar, yang menjadi benteng perlindungan bagi bisnis Soeharto, sekaligus untuk menyamarkan keberpihakan para serdadu dalam melindungi kepentingan bisnis keluarga Soeharto. Para serdadu yang pensiun bergabung dengan partai ini, di mana mereka juga menjalankan bisnis-bisnis Soeharto.

Memasuki era Reformasi, peran dan kedudukan DPR seharusnya bagus karena Undang-undang Dasar 1945 sudah diamandemen. Namun, praktiknya tidak seperti diharapkan. DPR yang seharusnya menjadi lembaga kontrol malah sebagai lembaga stempel seperti zaman Orde Baru.

Sebab utamanya adalah sebagian besar parpol “disandera” oleh presiden sebagai kepala eksekutif karena ketua-ketua parpol atau anggota-anggota parpol diangkat menjadi menteri. Akibatnya, anggota DPR yang ketua umumnya atau anggota parpolnya menjadi menteri tidak mungkin mengkritisi kebijakan pemerintah yang salah.

Jangankan mengkritisi, dalam praktiknya menteri-menteri dari parpol ini justru melakukan praktik korupsi, terutama dalam pengadaan barang dan jasa di kementerian yang mereka pimpin. Biasanya mereka mencuri uang negara dengan cara halus melalui staf khusus yang diangkat bekerja sama dengan eselon satu dan eselon dua di kementerian yang mereka pimpin. Kondisi seperti ini sangat terlihat pada zaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono [2004-2014] dan Joko Widodo [2014 – 2024].

Tidak Adanya Niat Pemimpin Terpilih

Penyebab kedua mengapa korupsi masih merajalela adalah karena tidak adanya good will atau niat baik dari presiden dan wakil presiden terpilih. Kalau mempunyai komitmen memberantas korupsi, presiden seharusnya mengangkat menteri-menterinya yang bukan ketua umum dan anggota parpol, tetapi orang-orang yang berintegritas.

Selain itu, presiden tidak melakukan intervensi terhadap aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Polri, dan KPK ketika ada kasus yang melibatkan orang dekatnya. Presiden juga harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk anti gratifikasi dan memberi contoh hidup sederhana. Namun, melihat pemerintahan Prabowo yang didukung koalisi gemuk di DPR, fungsi DPR tidak akan ada bedanya dengan era sebelumnya.

Dalam teorinya, partai politik hadir di sebuah negara demokrasi dengan dua tugas utama, yakni melakukan pendidikan politik dan merekrut pemimpin negara seperti kepala daerah dan presiden termasuk anggota legislatif [David Easton]. Dalam praktiknya sampai saat ini, parpol-parpol justru berlomba-lomba mencuri uang negara dengan “mengintervensi” jalannya pemerintahan. Selain itu, parpol-parpol melalui para kadernya mengajari masyarakat untuk berbohong dan berkhianat. Parpol-parpol sangat jauh dari praktik politik yang jujur dan berintegritas.

Rendahnya Trust terhadap Aparat Penegak Hukum

Faktor ketiga, adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Hal ini tentu tidak berlebihan karena Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dalam bidang yudikatif justru menjadi lumpur korupsi, meminjam istilah pakar hukum Denny Indrayana. 

Matthew Crosston dalam bukunya Routledge Handbook of Political Corruption [2015] menjelaskan korupsi bagian dari apa yang disebut “jebakan kesenjangan” [inequality trap]. Ada sebuah lingkaran setan inequality → low trust → corruption → more inequality [ketimpangan → kepercayaan rendah → korupsi → lebih banyak lagi ketimpangan]. Ketimpangan bisa melahirkan korupsi karena [1] warga negara melihat sistem yang ada merugikan mereka; [2] menimbulkan rasa ketergantungan terhadap bantuan pemerintah dan ada pesimisme terhadap masa depan yang pada gilirannya melemahkan ajakan moral untuk memperlakukan orang dengan jujur; dan [3] mendistorsi institusi utama keadilan dalam masyarakat, yaitu pengadilan sebagai pelindung mereka dari pelaku kejahatan. Lingkaran setan ini hanya akan membuat kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kacau.

Karena itu, di tengah fakta masih merajalelanya korupsi yang berdampak terhadap berbagai dimensi kehidupan bangsa dan negara, ide Prabowo memaafkan koruptor secara diam-diam, patut ditentang. Ingat bahwa korupsi, selain memang dilarang oleh berbagai Undang-Undang, juga sungguh merusak. Kalau koruptor dimaafkan, hal ini jelas menjadi preseden buruk. Semakin banyak orang yang melakukan korupsi karena toh akan dimaafkan.

Saya berharap Prabowo tidak mengkhianati amanat reformasi untuk memberantas KKN sampai ke akar-akarnya. Jika Prabowo mau tetap mengampuni koruptor, dan didukung Yusril, jangan salah kalau kemudian muncul anggapan ini: kedua orang ini memang orang Orde Baru sehingga tega mengkhianati amanat reformasi 1998. 

Sekali lagi, semoga Presiden Prabowo tidak lupa dengan janjinya akan berantas korupsi. Saya mengakhiri artikel ini, dengan permintaan agar anggota DPR dari PDI Perjuangan serta parpol lain yang beroposisi di Senayan terus mengontrol pemerintahan Prabowo dengan kritikan yang konstruktif.

Siprianus Edi Hardum adalah praktisi hukum dan Dosen Ilmu Hukum Pidana Universitas Tama Jagakarsa Jakarta

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya