Program Konversi ke LPG Sudah Berjalan 17 Tahun, di  NTT Mayoritas Rumah Tangga Masih Pakai Kayu Bakar dan Minyak Tanah

Pengamat menilai hal ini sebagai bentuk ketidakadilan dalam distribusi subsidi energi bersih di Indonesia

Floresa.co – Puluhan orang meriung di sebuah pangkalan minyak tanah di Labuan Bajo pada 19 Desember petang. Masing-masing mereka menenteng jeriken berkapasitas lima liter. 

Di pangkalan minyak tanah milik Hendrikus Sudirman yang terletak di pertigaan Lancang, Labuan Bajo itu sudah parkir sebuah mobil tangki berkelir merah putih. 

Mobil dengan kapasitas tangki 5000 liter minyak tanah itu milik perusahaan pemegang izin usaha pengangkutan migas, PT Wardun Perkasa Jaya.

Puluhan warga itu sedang menunggu jatah mendapatkan minyak tanah. Setelah menulis nama di sebuah buku, si empunya pangkalan mencocokkan satu per satu data yang tertulis di buku itu dengan Kartu Keluarga yang mereka bawa. 

Setelah sesuai, para warga itu mengantri mendapatkan jatah minyak tanah.

Yasinta Langa, 33 tahun, salah satu di antara warga itu berkata, untuk mendapatkan minyak tanah mereka memang wajib menunjukkan Kartu Keluarga.

Yasinta yang sore itu membawa dua jeriken berukuran lima liter menjelaskan, “tidak hanya sore ini, selama ini sering mengantri minyak tanah” di pangkalan itu.

Tanpa minyak tanah dapurnya memang berhenti mengepul.

Dalam sepekan,  ia biasanya menghabiskan lima liter minyak tanah untuk menyalakan kompor di dapurnya. 

Di pangkalan milik Hendrikus, ia biasanya mendapatkan jatah lima liter, namun kadang hanya empat liter bila jumlah pengantre banyak.

Jika pengantre sedikit, ia bisa memperoleh 10 liter. Karena itu, ia selalu membawa dua jeriken ukuran lima liter. Satu jeriken sebagai cadangan bila bisa mendapatkan jatah lebih.

Stok tambahan, katanya sembari menunjukan dua jeriken itu, penting “apalagi musim hujan begini, minyak tanah di Labuan Bajo langka setengah mati.” 

Di pangkalan itu, Yasinta membeli minyak tanah dengan harga Rp 5.000 per liter atau Rp25.000 per jeriken ukuran lima liter.

“Sebulan, untuk kebutuhan minyak tanah bisa sampai Rp100.000, bisa juga lebih, hingga Rp120.000,” ujarnya.

Bila mendapatkan jatah lebih di luar kebutuhan rumah tangganya, Yasinta mengaku kadang menjualnya kembali. Satu jeriken ukuran lima liter ia jual Rp35.000 atau Rp 7000 per liter.

Deretan jeriken diatur rapi di depan Pangkalan Hendrikus Sudirman di Lancang, Labuan Bajo, sementara warga sedang menunggu jeriken tersebut diisi minyak tanah. (Dokumentasi Doroteus Hartono/Floresa.co)

Sisilia Makmur, ibu berusia 43 tahun, yang juga ditemui Floresa di sela-sela mengantre sore itu juga menghabiskan lima liter minyak tanah dalam seminggu. 

Namun, kadang-kadang, ia juga masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.

“Kalau musim hujan, membutuhkan lebih dari lima liter karena kesulitan mendapatkan kayu api,” ujarnya.

Meskipun harus menunggu lebih lama, Sisilia memilih mengisi minyak tanah langsung di pangkalan. 

Selain harganya lebih murah, di sela-sela menunggu itu, ia bisa bercengkrama dengan warga lainnya.

Di tingkat pengecer, kata Sisilia, harga minyak tanah bisa dua kali lipat dari harga di pangkalan.

“Bisa mencapai Rp10.000 per liter,” kata Sisilia yang memegang nomor urut 24 dalam daftar tunggu sore itu.

Pengakuan Sisilia, senada dengan yang disampaikan Blasius Agung, warga Kaper, Desa Golo Bilas.

Blasius yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Baru, Labuan Bajo rutin membeli minyak tanah langsung di pangkalan, lalu menjual kembali secara eceran.

Dari pangkalan, Blasius bisa mendapatkan jatah 10 liter. Untuk kebutuhan sendiri, ia berusaha irit. Hanya satu liter per minggu. Selebihnya, ia jual kembali dengan harga Rp9.000 per liter.

“Saya jual segitu karena antrenya lama. Semua pengecer rata-rata menjual dengan harga sama,” kata ayah empat anak itu saat ditemui di stan miliknya di Pasar Baru.

Hendrikus Sudirman, pemilik pangkalan minyak tanah berkata kepada Floresa, saban bulan ia mendapatkan alokasi 5.000 liter yang dibawa oleh agen distribusi, PT Wardun Perkasa Jaya. 

Hendrikus berkata, membeli minyak tanah itu dengan Harga Eceran Tertinggi [HET] sebesar Rp 4.910, sesuai dengan Surat Keputusan  Bupati Manggarai Barat No 247/Kep/HK/2013.

“Minyak tanah bisa datang dua atau tiga kali seminggu. Sekali turun itu bisa tiga drum. Pokoknya 5.000 liter yang masuk ke sini setiap bulan,”  jelas Hendrikus.

Ia mengklaim, selama ini ketersediaan minyak tanah di Labuan Bajo relatif stabil. 

Bila ada lonjakan permintaan, seperti menjelang Natal dan Tahun Baru seperti saat ini, agen melakukan operasi pasar.

“Minggu lalu ada operasi minyak tanah. Kayaknya untuk persiapan Hari Raya Natal dan Tahun Baru, sehingga persediaan stabil,” ujarnya.

Karena permintaan yang tinggi, ia berkata, pembelian minyak tanah dilakukan dengan menyertakan Kartu Keluarga agar distribusi tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. 

Serupa Hendrikus, Teofilus Wasali Adven, pengelola Pangkalan Wae Mbuka di Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo, berkata, distribusi minyak tanah dari agen ke pangkalan dilakukan tiga kali seminggu. 

Setiap pengiriman berkapasitas tiga drum, masing-masing berisi 200 liter, totalnya 600 liter. Kadang-kadang hanya dua drum dalam sekali pengiriman.

Tingginya permintaan minyak tanah, kata Teofilus, membuat tiga drum yang diterima bisa habis terjual dalam satu hari.

Dalam sebulan, Pangkalan Wae Mbuka menerima 5.000 hingga 5.400 liter minyak tanah.

Teofilus berkata, selama ini distribusi minyak tanah dari agen selalu tepat waktu, sehingga pasokan di pangkalannya selalu lancar.

Setiap keluarga, kata dia, hanya bisa mendapatkan maksimal 10 liter minyak tanah setiap kali pembelian di pangkalan.

Seperti di pangkalan milik Hendrikus, pembeli harus membawa KTP atau KK untuk memperoleh minyak tanah.

Minyak tanah ini, “tidak sembarang dijual,” katanya.

Pangkalannya, kata dia, tidak pernah menjual minyak tanah ke pembeli yang tak membawa KTP atau KK.

“Kita juga takut, apabila suatu saat ada pemeriksaan. Kalau kita menjual melebihi kapasitas, kita yang kena, jadi kita bermain dengan aman,” ujarnya.

Dalam setiap pengiriman, minyak tanah dijual kepada 60 pembeli. Nama-nama pembeli dicatat dalam buku laporan untuk mencegah mereka mendapatkan minyak tanah dua kali.

“Kita tidak menjual lebih dari 10 liter untuk satu orang”.

Minyak tanah tersebut, katanya, dijual dengan harga Rp 5.000 per liter. 

Melihat cepat habisnya minyak tanah di pangkalan, menurutnya permintaan minyak tanah di Labuan Bajo sangat tinggi.

Berdasarkan data Pertamina, tahun 2024 ini NTT mendapat alokasi kuota minyak tanah sebesar 110.812 kiloliter. 

Hendrikus Sudirman (baju merah) yang dikerumuni warga sedang mengecek Kartu Keluarga penerima minyak tanah di pangkalannya (Dokumentasi Doroteus Hartono/Floresa.co)

Ketidakadilan Distribusi Energi 

Menurut laporan Badan Pusat Statistik [BPS] 2023, per 2022 hanya 2,53 persen rumah tangga di Indonesia yang masih menggunakan minyak tanah untuk memasak. 

Persentase penggunaan minyak tanah terbesar ada di Maluku [65,79 persen], disusul Papua Barat [65,85 persen], Maluku Utara [54,26 persen], Papua [32,86 persen] dan NTT [29,07 persen].

Di NTT, sebagian besar masyarakat masih menggunakan kayu bakar [68,79 persen] untuk memasak. Hanya 1,26 persen rumah tangga yang menggunakan LPG, terendah di seluruh Indonesia.

Tingginya penggunaan kayu bakar dan minyak tanah, serta rendahnya penggunaan LPG di NTT, menurut Ketua dan Pendiri Energy Institute for Transition [EITS] Godang Sitompul, menunjukkan adanya distribusi sumber daya energi yang tak adil. 

Padahal, katanya, pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar untuk subsidi LPG tiap tahun sejak program konversi dari minyak tanah ke LPG diperkenalkan pada 2007.

“Di tengah isu transisi energi dan net zero emission, saya prihatin kenapa di NTT hingga saat ini susah sekali melakukan konversi minyak tanah ke LPG secara masif dan konstruktif,” ujar Godang dalam pernyataan yang diterima Floresa pada 19 Desember.

“Kalau program konversi minyak tanah ini sukses, bayangkan betapa banyak emisi karbon dari asap kompor minyak tanah bisa dikurangi berkat memakai kompor LPG,” tambah Godang.

Merujuk data BPS, program konversi ke LPG sudah menjangkau 87,12 persen rumah tangga di Indonesia pada 2022. 

Anggaran subsidi LPG juga terus meningkat, dari Rp3,89 triliun pada 2008 menjadi Rp100,39 triliun pada 2023. Dalam APBN 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp87,5 triliun untuk subsidi LPG tabung tiga kilogram. 

Di sisi lain, anggaran negara untuk subsidi minyak tanah terus berkurang. Tahun 2023, realisasi subsidi minyak tanah sebesar Rp4,71 triliun, turun drastis dibanding 2008 yang sebesar Rp47,60 triliun.

Agar distribusi subsidi LPG dinikmati masyarakat NTT, Godang Sitompul mendorong Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Emanuel Melkiades Laka Lena dan Johanis Asadoma menjadikan ini sebagai salah satu agenda pemerintahannya.

“Perjuangkan ke DPR agar  masyarakat seantero NTT bisa menikmati energi bersih dari LPG,” katanya.

Ahad Rahedi, Area Manager Communication Relation & CSR, Pertamina Patra Niaga Regional Regional Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara, berkata, konversi minyak tanah ke LPG di wilayah NTT belum dilakukan karena terkendala “sarana dan prasarana.”

Selain itu, kata Ahad kepada Floresa pada 20 Desember, “juga terkait dengan kebijakan transisi energi yang perlu dirumuskan bersama lintas kementerian.”

Terpisah, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Kementerian ESDM, Mustika Pertiwi mengatakan, “Flores belum termasuk wilayah yang berpotensi untuk dilaksanakan konversi minyak tanah ke LPG”.

Alasannya, kata Mustika, yang dihubungi Floresa pada 20 Desember, “mempertimbangkan sarana fasilitas, infrastruktur, dan moda transportasi yang belum tersedia.”

Sebelumnya, pada 2017 Pemerintah melalui Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 2157 K/10/MEM/2017 telah memberikan penugasan kepada PT Pertamina (Persero) untuk membangun terminal LPG di empat wilayah di kawasan timur Indonesia.

Beberapa lokasi yang ditetapkan adalah  Kupang, Bima [NTB], Ambon [Maluku] dan Jayapura [Papua].

Pada April 2019, Pertamina sudah melakukan peletakan batu pertama pembangunan Terminal LPG Tenau Kupang. 

Namun, hingga 2023, perkembangan pembangunan terminal tersebut baru mencapai 62 persen.

Blasius Agung, warga Kaper, Desa Golo Bilas,  Manggarai Barat, mengatakan, sejauh pengamatannya, di Labuan Bajo memang beredar LPG, tetapi LPG non subsidi yang memiliki ukuran tabung lebih dari lima kilogram.

“Kalau di kota kan banyak LPG tiga kilogram yang subsidi. Di sini belum ada,” katanya.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA