Floresa.co – Selain mengayomi ekosistem pesisir, Teluk Waienga di utara Pulau Lembata juga menjadi rumah bagi para pemulih jiwa laut.
Warga di setidaknya lima desa yang melingkungi Teluk Waienga punya tradisi mengamalkan muro, “pembukaan laut” yang memungkinkan warga menangkap ikan secara tradisional.
Kelima desa itu ialah Dikesare dan Tapobaran di Kecamatan Lebatukan; Lamawolo dan Lamatokan di Kecamatan Ile Ape Timur; dan Kolontobo di Kecamatan Ile Ape.
Muro tak digelar di sembarang area dan pada waktu yang acak. Wilayah serta periode tangkap lebih dulu disepakati antartetua adat.
Tak hanya soal waktu dan area, jenis ikan dan biota laut lain yang boleh ditangkap pun diatur bersama melalui ritual tertentu.
Setiap warga yang terlibat dalam muro dilarang memerangkap menggunakan pukat.
Mereka hanya dibolehkan menangkap ikan dengan bantuan tangkuban dua telapak tangan, sarung maupun serok berbahan dasar anyaman bambu.
Muro tak semata-mata waktu menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Sebagian besar warga adat Lembata memiliki hubungan yang mendalam dengan laut dan segala yang hidup di bawah permukaannya.
Penangkapan ikan menjadi bagian tak terpisahkan dalam budaya, spiritualitas serta identitas mereka.
Sementara pada kedalaman perairan Teluk Waienga, terumbu karang–tempat ikan mencari makan, berlindung, memijah dan bertelur–diyakini sebagai “kediaman” laut yang senantiasa berdenyut.
Pada akhirnya muro tak sekadar memberi kesempatan bagi “ikan ribu ratu” atau “ikannya rakyat” untuk berkembang biak.
Muro adalah pula upaya memulihkan ruh laut Lembata.
Pertalian Gunung dan Laut
Teluk Waienga mempertemukan arus Laut Flores dan Laut Banda di sebelah utara serta Laut Sawu di selatan pulau itu.
Kontur teluk itu yang berlekuk-lekuk dengan banyak ceruk sempat menyulitkan sejumlah paus yang tersesat untuk kembali ke Laut Sawu, jalur migrasi mereka.
Warga setempat, yang meyakini paus sebagai mamalia sakral, selalu bergotong-royong membebaskan mereka hingga ke perairan lepas.
Teluk itu berhadap-hadapan dengan gunung api Ile Lewotolok di sebelah barat.
Paduan bentang alam tersebut turut menopang hunian bagi warga adat yang, karena diapit perairan dan gunung api, senantiasa memuliakan keduanya dalam setiap ritual.
Di Desa Lamatokan dan Lamawolo, muro selalu didahului ritual di kampung-kampung lama yang telah ditinggalkan.
Kampung-kampung itu terpaut sekitar 500 meter dari puncak Ili Lewotolok.
Dalam bahasa Lamaholot yang sebagian penuturnya tinggal di Flores Timur, Solor, Adonara dan Lembata, “ili” berarti gunung sedangkan “ile” berarti gunung api.
Di tengah-tengah kampung lama lumrahnya berdiri tugu batu, pusat dari segala ritual adat, termasuk untuk menyepakati pelaksanaan muro.
Selain menyembelih seekor ayam jantan, ritual juga disertai penuangan tuak serta pembakaran tandan-tandan pisang di depan tugu batu; bentuk penghormatan terhadap makanan pokok leluhur.
Para sesepuh lalu mendaraskan pujian adat, meminta petunjuk leluhur untuk pelaksanaan muro.
Seiring isyarat dari pendahulu, para tetua saling mengingatkan sanksi adat bagi pelanggar muro. Sanksi lazimnya berupa pemberian daging ternak bagi sesama warga.
Di bawah terik Matahari khas pesisir Nusa Tenggara Timur, para tetua bersepakat.
Sementara warga menanti datangnya pengumuman permulaan muro, tanda dapur mereka akan kembali penuh dengan ikan segar.
Sempat Mati Suri
Setelah lebih dari separuh tahun ditempa kemarau panjang, desa-desa yang mengitari Teluk Waienga mulai diguyur hujan pada Oktober atau November.
Begitu juga pada 21 November, ketika Floresa menyinggahi Pantai Lewolein, Desa Dikesare di barat laut Lembata.
Langit yang menggelap mendorong Katarina Lipa segera membereskan dagangannya di tepi pantai itu.
Di lapaknya tertumpuk ketupat dari anyaman daun kelapa yang dibuat sejak pagi.
Ketupat, wadah ikan bakar dan telur ayam rebus itulah yang lebih dulu ia bereskan, sebelum sebagian lapaknya berukuran 3×3 meter basah tersiram hujan.
Selain warung milik Rina, sapaannya, setidaknya delapan lapak di sekitarnya buka hari itu.
Berjarak sekitar 33 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, “desa wisata kuliner” Lewolein diresmikan Bupati Eliaser Yantje Sunur pada 2020, ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Para pedagang turut menawarkan ikan bakar, juga rumpu-rampe, sayur paduan daun dan bunga pepaya serta jantung pisang. Seperti dagangan Rina, rumpu-rampe buru-buru dibereskan ketika hujan mengguyur Lewolein.
Hujan deras menyisakan gerimis saat Rina berkisah soal muro di Lewolein.
“Konon,” kata Rina, tradisi muro “diturunkan dari keluarga tuan tanah asal Pulau Alor.”
Sempat mati suri karena alasan yang tak diketahui pasti, tradisi itu lalu dihidupkan kembali oleh mendiang Elias Hiba.
Sejumlah warga yang ditemui Floresa tak mengingat pasti tahunnya. Yang mereka ingat, Elias pernah menjabat kepala dusun Dikesare, sebelum berubah status menjadi desa.
Oleh warga setempat, ia dikenal sebagai “penjaga laut dan ikan Lewolein.”
Sepeninggal Elias, tugas itu diteruskan oleh seorang putranya, Usman Hali.
Dijaga Ular Laut
“Ular-ular laut menghuni dasar perairan Lewolein,” kata Usman kala ditemui Floresa di teras rumahnya pada 21 November.
Satwa perairan itu diyakini menjaga kawanan ikan tembang, jenis pelagis yang berlimpah di sekitar Lewolein.
Pelagis hidup secara berkelompok [schooling] di sekitar terumbu karang dan perairan hangat yang dekat dengan pantai.
Lantaran dipercaya melindungi ikan tembang, “saya harus memberi makan mereka, paling lambat sehari sebelum permulaan muro.”
Pemberian makan itu berupa ritual pemecahan telur ayam kampung, baik yang mentah maupun sudah direbus, di lokasi tertentu di pinggir pantai “yang ditunjukkan lewat mimpi.”
Dalam setiap mimpi sebelum permulaan muro, katanya, “ular-ular laut berwarna hitam dan biru itu selalu mengingatkan supaya warga tak melukai mereka.”
Warga yang melukai, apalagi sampai membunuh ular laut selama muro “bisa terkena tulah.”
Tulah juga dipercaya berlaku bagi warga yang “mencuri start” sebelum Usman mengumumkan permulaan muro.
Terpisah dari muro, kata Usman, secara umum “siapapun dilarang menangkap ikan secara ilegal, membentangkan pukat tanpa izin atau menembak di sekitar pantai Lewolein.”
Menegakkan Tradisi
Muro telah diatur dan disahkan melalui Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor: 192/KEP/HK/2019 tertanggal 11 Juni 2019 tentang Pencadangan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Lembata.
Legalisasi tradisi itu diperkuat lewat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 95 Tahun 2021 Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Lembata.
Secara keseluruhan muro berlangsung di perairan seluas 361,87 hektare [ha].
Kolontobo merupakan desa dengan perairan terluas muro [107,03 ha], diikuti Tapobaran [97,23 ha], Dikesare [92,10 ha], Lamatokan [54,36 ha] dan Lamawolo [11,25 ha].
Kepada Floresa pada 17 Desember, Rafael Suban Ikun dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata [Barakat] berkata, “bertahun-tahun lalu belum ada sistem zonasi muro.”
Muro, kata mantan Kepala Desa Dikesare itu, semula dilakukan warga supaya “tetap bertahan hidup dalam ‘musim lapar’” akibat kesulitan pangan.
Tangkapan dari laut lalu dibarter dengan hasil kebun warga di sekitar pegunungan.
Kala itu penangkapan ikan dilakukan di sembarang area perairan, termasuk wilayah terumbu karang.
Berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan warga di lima desa pewaris muro, Barakat menyepakati sistem zonasi pada 2020.
Kesepakatan didahului sumpah adat, namang, yang sekaligus mengatur komitmen bersama merawat dan melindungi ekosistem perairan di Teluk Waienga.
Kini warga kelima desa di Lembata berperan dalam muro dengan tak lupa mengikuti aturan zonasi.
Terdapat tiga zonasi yang disepakati.
Zona pertama disebut “tahi tubere” atau jiwa laut. Area terumbu karang ini sama sekali tak boleh diganggu.
Zona kedua dikenal sebagai “ikan berewae” atau ikan perempuan. Hanya perempuan dan anak-anak yang boleh menangkap ikan di sepanjang area ini.
Zona ketiga dinamai “ikan ribu ratu” yang akan dibuka atau ditutup sesuai kesepakatan adat. Di area inilah sebagian besar warga terlibat dalam muro.
Sistem zonasi turut menghidupkan kembali muro, yang diharapkan meluas hingga ke desa-desa pesisir lain di Lembata.
“Tak cuma menghidupi yang hidup,” kata Rafael, “muro juga membantu warga merawat ingatan akan leluhur.”
Editor: Anastasia Ika