ReportaseMendalam“Ini Tanah Leluhur Kami,” Respons Warga Pulau Kera yang Terancam Digusur Bupati Kupang untuk Proyek Pariwisata

“Ini Tanah Leluhur Kami,” Respons Warga Pulau Kera yang Terancam Digusur Bupati Kupang untuk Proyek Pariwisata

Ada rencana pembangunan resor yang mencakup lebih dari setengah luas pulau kecil itu

Floresa.co – “Beta akan bawa lima truk pasukan dan ekskavator. Beta akan garuk sampai rata,” demikian kata Bupati Kupang Yosef Lede bulan lalu.

Ia melanjutkan: “Ini perintah langsung presiden, bukan perintah orang lain.”

“Saya dipanggil, juga ditelepon langsung oleh presiden,” klaimnya.

Pernyataan Yosef muncul di tengah rencana pengembangan kawasan wisata di Pulau Kera oleh Pitoby Group.

Luas pulau di sebelah barat Pulau Timor itu adalah 48,17 hektare, yang setengahnya direncanakan menjadi lokasi resor.

Bagi Febrianto Bintara dari Aliansi Advokasi Masyarakat Pulau Kera, pernyataan Yosef “sarat intimidasi dan arogansi.”

Hal itulah yang menjadi alasan aliansi itu bersama puluhan warga menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur NTT di Kupang pada 15 Mei.

Aliansi terdiri dari Walhi NTT, Perkumpulan Orang Same Bajo Indonesia, Sahabat Alam NTT, Front Mahasiswa Nasional Cabang Kupang, Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria NTT.

“Kami menolak relokasi karena ini tanah leluhur kami. Pemerintah harus berhenti mengintimidasi dan memanipulasi kami. Kami ingin hidup damai dengan laut sebagai sumber kehidupan kami,” ujar seorang warga dalam orasinya.

Massa aksi juga menuntut pemerintah memenuhi kebutuhan dasar di Pulau Kera, seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan akses air bersih— yang menurut mereka masih diabaikan.

Massa aksi dari Aliansi Advokasi Pulau Kera saat berunjuk rasa di depan gerbang DPRD NTT pada 15 Mei 2025. (Dokumentasi Aliansi Advokasi Pulau Kera).

Konflik Lahan

Pitoby Group berbasis di Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang.

Perusahaan tersebut berencana membangun kompleks resor seluas 25 hektare di Pulau Kera.

Bobby Pitoby, Komisaris Utama Pitoby Group mengklaim perusahaannya membeli tanah itu dari keluarga Bisilisin pada 1986.

Tujuh tahun kemudian korporasi milik keluarganya mengantongi sertifikat hak milik.

Sementara warga menyatakan leluhur mereka mulai menempati Pulau Kera sejak 1884. 

Pulau itu tercakup dalam wilayah administratif Desa Uiasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang.

Pada 28 Januari 1993, pemerintah menetapkannya  sebagai bagian dari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang. 

Penetapan diterbitkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/Kpts-II/1993.

Selain Pulau Kera, sejumlah pulau kecil lain yang berbatasan dengan Laut Sawu tercakup dalam TWAL itu, termasuk Pulau Kambing, Pulau Burung dan Pulau Semau.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau berukuran kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer persegi yang setara 200 ribu hektare.

Hamdan Saba, seorang tetua adat setempat menyatakan sekitar 500 jiwa menghuni pulau yang mereka yakini tanah leluhur. 

Sebagian besar warga Pulau Kera bermata pencaharian sebagai nelayan kecil. 

Hamdan menilai pemerintah “tidak memahami kehidupan masyarakat nelayan Pulau Kera” yang membuat mereka “tergesa-gesa mengambil keputusan relokasi.”

Meski pemerintah belum menetapkan lokasi relokasi, tetapi warga mulai mempertanyakan daya dukung tempat baru itu bagi penghidupan nelayan.

“Apakah lokasi relokasi itu memungkinkan nelayan menambatkan perahu?,” kata Hamdan.

Kehidupan yang Terancam Tercerabut

Selepas berunjuk rasa pada 15 Mei, puluhan demonstran mendatangi DPRD NTT di Kota Kupang. 

Mereka diterima perwakilan Komisi I, termasuk ketuanya, Julius Uly. 

Menyampaikan pernyataan sikap bersama, Febrianto Bintara turut mengingatkan warga Pulau Kera telah turun-temurun menggantungkan laut sebagai sumber penghidupan. 

Hamdan Saba, warga Pulau Kera menyerahkan dokumen berisi pernyataan sikap mereka kepada Ketua Komisi I DPRD NTT, Julius Uly pada 15 Mei 2025. (Dokumentasi Timexkupang.com)

Keterhubungan warga dengan laut, “mengejawantah dalam nilai-nilai budaya dan sosial yang tak bisa begitu saja dihilangkan.” 

Polemik relokasi warga Pulau Kera telah berlangsung sejak 2002 atau sekitar tujuh tahun selepas penetapan kawasan TWAL Teluk Kupang.

Pemerintah beralasan pemindahan warga dibutuhkan guna memaksimalkan manfaat TWAL Teluk Kupang. 

Selain itu Pulau Kera diklaim “tidak layak huni” lantaran tak punya sumber air memadai.

Bupati Kupang saat itu, Ibrahim Agustinus Medah menawarkan Sulamu, kecamatan di ujung barat Pulau Timor sebagai lokasi relokasi. 

Dari Pulau Kera, Sulamu hanya bisa dijangkau menggunakan moda transportasi laut. 

Rencana relokasi pada tahun itu kandas lantaran Ibrahim menerima serentetan penolakan warga.

Berturut-turut pada dua tahun berikutnya pemerintah menelurkan rencana merelokasi warga ke Pulau Semau–yang juga tercakup dalam kawasan TWAL Teluk Kupang. 

Rencana tersebut kembali gagal lantaran warga menerima informasi bahwa lokasi relokasi hanya dikontrak selama setahun.

Sejumlah informasi lain menyebutkan lokasi tersebut berjarak sekitar enam kilometer dari bibir pantai, didominasi bebatuan karang dengan gelombang tinggi.

Kondisi geografis itu dinilai membahayakan nyawa nelayan setempat. 

Rencana relokasi pada 2003 dan 2004 tersebut akhirnya ditolak warga.

Setelah satu dekade hidup tanpa kekhawatiran relokasi, warga Pulau Kera menerima kabar Pitoby Group akan mengembangkan wisata di sekitar ruang hidup mereka. 

Pengembangan wisata itu lagi-lagi disertai rencana relokasi.

Hamdan Saba mengingatkan pemerintah untuk tak lagi mengabaikan suara warga dalam agenda pembangunan.

“Seolah-olah kami warga asing yang tak punya hak tinggal di Pulau Kera. Kami tak sekadar tinggal, melainkan hidup menyatu dengan laut,” katanya.

Sementara Muhamad Syukur, seorang warga Pulau Kera yang juga anggota Perkumpulan Orang Same Bajo Indonesia mengatakan masalah di pulau leluhurnya tak sekadar soal relokasi.

“Ini tentang kehidupan, identitas, mata pencaharian dan hak asasi manusia yang terancam tercerabut,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA