Floresa.co – Warga adat Gendang Colol di Kabupaten Manggarai Timur, NTT berharap ada komitmen pemerintah untuk menjamin perlindungan dan pemberdayaan, menyusul terbitnya keputusan yang mengakui keberadaan mereka sebagai masyarakat hukum adat.
Endak Cagur Sernai, Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Adat (GEMPA) Colol berkata, pemberdayaan masyarakat penting untuk “meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran serta memperkuat hak-hak atas tanah, sumber daya alam dan kebudayaan.”
Ia berkata, pemerintah perlu secara serius menghormati hak-hak warga adat Colol agar mereka dapat berpartisipasi lebih aktif serta memiliki kemandirian menentukan nasib tanah dan sumber daya alamnya.
“Pemerintah juga perlu berkomitmen melindungi masyarakat hukum adat dari ancaman yang dapat merusak keberadaan dan hak-hak mereka, seperti perampasan tanah, eksploitasi sumber daya alam dan diskriminasi,” katanya.
Bupati Manggarai Timur Andreas Agas telah menerbitkan SK Nomor HK/198/12/2024 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Gendang Colol yang diserahkan Wakilnya Tarsisius Syukur kepada warga adat.
Sekretaris Daerah Boni Hasudungan Siregar bersama Tim Panitia Masyarakat Hukum Adat juga ikut dalam acara penyerahan SK itu di Rumah Adat Gendang Colol pada 20 Mei.
Dalam keterangan pers yang diperoleh Floresa, GEMPA Colol mengapresiasi langkah Agas, menyebutnya sebagai “upaya konkret melindungi hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat, identitas budaya serta nilai-nilai tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun.”
“Pengakuan ini memberikan dasar hukum bagi Masyarakat Hukum Adat Gendang Colol untuk mengelola wilayah adat mereka secara mandiri, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sesuai dengan nilai budaya dan hukum adat setempat,” kata GEMPA.
Yohanes Gesriardo Ndahur dari Biro Hukum GEMPA Colol menambahkan, pengakuan ini merupakan “hasil dari proses panjang yang meliputi identifikasi, verifikasi dan validasi komunitas masyarakat hukum adat Colol dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan para pemangku kepentingan.”
“Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat adat dalam menjaga hutan, tanah dan lingkungan hidupnya, serta menjadi bagian dari pembangunan yang berkelanjutan,” katanya.
Titik Terang Akhiri Konflik
Secara administratif, Colol, dengan luas 4,11 kilometer persegi, masuk Kecamatan Lamba Leda Timur, menyumbang 0,6 persen dari keseluruhan wilayah kecamatan itu.
Topografinya berupa lembah perbukitan pada rentang ketinggian 1.000-1.450 meter di atas permukaan laut.
Colol dikenal Sebagai daerah penghasil kopi di Manggarai Timur.
Namun, warga di wilayah ini terlibat dalam konflik menahun dengan pemerintah, terkait batas antara lahan ulayat mereka dengan Taman Wisata Alam Ruteng.
Kawasan konservasi seluas 32.245,6 hektare yang membentang di dua kabupaten – Manggarai dan Manggarai Timur itu berada di bawah kewenangan Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT.
Konflik terbesar dalam sejarah petani kopi Colol terjadi pada 2004, yang menuai pertumpahan darah ketika warga memprotes langkah pemerintah membabat tanaman kopi mereka.
Polisi kala itu menembak mati empat petani yang menggelar unjuk rasa di Ruteng. Tujuh orang lainnya luka parah dan cacat permanen hingga kini.
Pada 2013, BBKSDA NTT sempat merumuskan upaya penyelesaian masalah tapal batas ini dengan “Konsep Tiga Pilar” yang melibatkan tiga pihak-Gereja Katolik, Masyarakat Adat dan Pemerintah.
Konsep itu mengedepankan soal musyawarah untuk membahas masalah sengketa tapal batas.
Konsep Tiga Pilar ditandatangani perwakilan masyarakat adat, perwakilan media, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, Uskup Ruteng saat itu, Hubertus Leteng, Bupati Manggarai saat itu, Christian Rotok dan Kepala BBKSDA NTT, Wiratno.
Namun, konsep itu tidak mengakhiri konflik, membuat beberapa warga dalam beberapa tahun terakhir diseret ke pengadilan.
Dua di antaranya adalah penangkapan Yohanes Emas pada 21 Maret dan kriminalisasi terhadap Mikael Ane pada 2023. Mikael sempat divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Ruteng, sebelum kemudian dibebaskan oleh Mahkamah Agung pada Mei 2024.
Maximilianus Herson Loi, Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Nusa Bunga mengingatkan bahwa usai penerbitan SK ini, pemerintah dan BKKSDA NTT agar tidak lagi melakukan “kriminalisasi masyarakat adat.”
“Kalau ada persoalan harus diselesaikan melalui jalur adat, bukan langsung penangkapan,” katanya.

Perlindungan Petani Kopi
Sementara itu, Bernadus Ndahur, Tua Gendang Colol berkata, usai munculnya SK itu, warga akan terus memperjuangkan hak atas tanah dan sumber daya alam, khususnya perkebunan kopi.
Bernadus, yang berbicara kepada Floresa pada 21 Mei berkata, SK itu perlu dipertegas dengan komitmen melindungi kopi sebagai hasil pertanian utama, termasuk meningkatkan kapasitas para petani.
Endak Cagur Sernai mengerucutkan perlindungan petani kopi Colol dengan menegaskan pentingnya upaya bersama yang partisipatif dalam “pendidikan dan pelatihan” dan “pengembangan teknologi” pengolahan hasil pertanian.
Ia berkata, pemerintah perlu mendukung para petani dengan kebijakan yang adil, misalnya “memberikan subsidi, insentif dan perlindungan harga.”
“Pemerintah dapat membantu petani kopi mendapatkan akses ke pasar yang lebih luas, baik domestik maupun internasional, untuk meningkatkan pendapatan,” katanya.
Laporan Floresa pada 2023 mengungkap kendala utama yang kini tengah dihadapi petani Kopi Colol.
Pendampingan yang minim terhadap para petani menyebabkan kurangnya kapasitas pengelolaan tanah hingga pascapanen.
Merujuk laporan “Kecamatan Lamba Leda Timur dalam Angka, 2022,″ produktivitas kopi jenis Robusta di wilayah itu pada 2021 adalah 0,4 ton/ha dan Arabika 0,5 ton/ha.
Secara keseluruhan, pada tahun yang sama, petani kopi Colol menghasilkan 313,75 ton (313.750 kg) Arabika dan 179 ton (179.000 kg) Robusta.
Pada 2022, terjadi penurunan produktivitas untuk Arabika menjadi 219,625 ton, sementara Robusta meningkat menjadi menjadi 214,8 ton.
Produktivitas ini terbilang rendah dibandingkan rata-rata nasional.
Menurut data Badan Pusat Statistik pada 2021, produktivitas kopi perkebunan rakyat 610 kilogram green beans per hektare (kg gb/ha), dari total lahan seluas 1.257.791 ha.
Sementara itu, sistem ijon dengan tengkulak yang berlarut-larut membuat petani tak pernah bisa menegosiasi harga jual kopi.
Herson ikut meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur memberi perhatian serius pada kesejahteraan petani kopi Colol.
“SK itu tidak boleh hanya di atas kertas, tetapi merujuk istilah pemberdayaan dalam Perda, pemerintah mesti benar-benar bekerja sama dengan warga adat,” lanjutnya.
Ia juga berharap pemerintah “bisa berlari lebih kencang agar semua komunitas yang teridentifikasi sebagai masyarakat adat dapat segera dikukuhkan.”
Editor: Ryan Dagur