Floresa.co – Umat Katolik di tiga paroki yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Nagekeo, NTT kompak mendeklarasikan penolakan terhadap rencana eksplorasi geotermal, bagian dari upaya menindaklanjuti sikap tegas para uskup di daratan Flores.
Ketiga paroki itu antara lain Kristus Raja Jawakisa, Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo dan St. Joane Babtista Wolosambi.
Ketiganya masuk dalam wilayah Kevikepan Mbay, Keuskupan Agung Ende. Kevikepan merupakan bagian dari struktur hierarki Gereja Katolik di bawah keuskupan.
Di Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo, umat Stasi St. Fransiskus Asisi Tonggurambang melakukan deklarasi pada 25 Mei.
Pastor Paroki, Marsel Kabut, OFM dan tetua adat dari Suku Dhawe-pemilik tanah ulayat di wilayah tersebut-juga ikut dalam deklarasi.
Dalam sebuah video yang diterima Floresa, tampak ratusan umat berdiri di pinggir jalan sambil membentangkan beragam spanduk.
Beberapa diantaranya berisi tulisan “Tolak Proyek Geothermal, #Save Nagekeo#Save Flores#” dan “Energi bisa dicari, alam tak bisa diganti.”
“Harapan kita, para leluhur dan pengambil kebijakan mendengar keluhan masyarakat,” kata salah satu orator.

Aksi itu merupakan yang kedua di paroki tersebut setelah sebelumnya umat di Stasi St. Matius Rasul Marapokot menyampaikan deklarasi serupa pada 19 Mei.
Ratusan umat yang juga merupakan warga Desa Nangadhero, Kecamatan Aesesa itu membentangkan beragam baliho berisi protes terhadap proyek geotermal.
Salah satunya bertuliskan “Tolong jangan rusak tempat kami. Uang bisa kami cari, tetapi senyum di masa depan tidak bisa dibeli. Kami tolak, kami tolak proyek geotermal.”
Dalam video yang diperoleh Floresa, mereka berteriak, “kami warga Nangadhero bersama ulayat Suku Nata Ia dengan ini menyatakan sikap menolak proyek geotermal di daerah kami.”
Umat Stasi St. Petrus Lari, Paroki Kristus Raja Jawakisa telah melakukan deklarasi sebelumnya pada 11 Mei.
Pastor Kamilius Ndona, CP memimpin aksi itu yang mengusung tema “Kemanusiaan dan Ekologi.”
Dalam sebuah video yang diterima Floresa, ratusan umat termasuk anak-anak menyatakan “Kami umat Stasi St. Petrus Lari, Paroki Kristus Raja Jawakisa, menolak kehadiran geotermal di wilayah kami.”
Pernyataan itu disusul seruan: Tolak, tolak, tolak!

Sementara itu belasan umat Stasi Pajoreja dan Stasi Dhawe di Paroki St. Joane Babtista Wolosambi — bagian dari Desa Ululoga dan Ladaolo, Kecamatan Mauponggo — melakukan deklarasikan pada 19 April.
Deklarasi dipimpin oleh Ketua Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores, Pastor Felix Bhaghi, SVD.
Freddy Leby dan Emanuel Krisito Ndala-masing-masing Ketua Stasi Pajoreja dan Dhawe- juga ikut serta, bersama kepala desa dan tokoh masyarakat dari Ululoga Ladaolo.
Rangkaian deklarasi tiga paroki itu merespons hasil survei Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut terdapat tiga kelompok lokasi pemunculan manifestasi panas bumi di Kabupaten Nagekeo.
Ketiga lokasi berada di Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa; Desa Renduteno, Kecamatan Aesesa Selatan dan Kampung Wisata Pajoreja di Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo.
Pemunculan panas bumi di Desa Marapokot berupa mata air panas dengan temperatur berkisar antara 37°C hingga 75°C, menurut Badan Geologi.
Sementara di Desa Renduteno berupa mata air panas dengan temperatur 38°C dan di Kampung Wisata Pajoreja dengan temperatur 36°C.
Hasil survei yang dipublikasi pada 2020 itu menunjukkan besaran sumber daya spekulatif panas bumi di Marapokot adalah 15 megawatt (MWe), Renduteno 10 MWe dan Pajoreja 10 MWe.
Hasil survei tersebut diklaim dilakukan oleh tiga orang pakar geologi dan geofisika dari Badan Geologi yakni Dudi Hermawan, Dede Lim Setiawan, dan Widya Asoka S.
Survei tersebut disebut-sebut sebagai titik mula rencana proyek geotermal di Nagekeo.
Mengapa Menolak?
Pastor Marsel Kabut, OFM dari Paroki Aeramo berkata, di parokinya ada dua mata air panas yang telah disurvei Badan Geologi, yakni di Desa Nangadhero dan Desa Marapokot — keduanya tergabung dalam Stasi St. Matius Rasul Marapokot.
Ia berkata, kedua mata air panas itu hanya berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai.
Dari keduanya, di Marapokot yang kemudian diidentifikasi untuk bisa dikembangkan.
“Kalau dibor maka akan mengganggu warga yang berekreasi di pantai,” kata Marsel kepada Floresa pada 25 Mei.
Ia berkata, “deklarasi penolakan ini sejalan dengan gerakan Keuskupan Agung Ende yang telah digagas oleh bapa uskup pada bulan Januari.”
Kala itu, Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden menyatakan menolak proyek geotermal dan mendorong resistensi umat.
Marsel berkata, penolakan ini juga merujuk pada keresahan terhadap dampak proyek di lokasi lain di Flores.
“Hal itu tidak boleh terjadi di Nagekeo, khususnya di Marapokot.”
Selain itu, kata dia, warga terpanggil untuk menjaga tanah yang memiliki sejarah dan sebagai warisan leluhur untuk generasi berikutnya.
Lokasi titik yang berdekatan dengan rumah, kata dia, juga membuat warga rentan mengalami keracunan gas, seperti yang terjadi di lokasi proyek lain di Indonesia.
Marsel juga berkata, Marapokot yang merupakan wilayah pertanian yang terancam mengalami dampak langsung proyek ini.
“Atas dasar itu, minggu lalu dan hari ini setelah Misa, kami bersama seluruh umat dan pemilik ulayat menuju lokasi yang ditandai membuat deklarasi penolakan,” katanya,
“Walau belum ada aktivitas untuk pemboran, kami ingin bersikap sejak dini,” tambahnya.

Sementara itu, Pastor Kamilius Ndona, CP dari Paroki Jawakisa berkata, titik yang sudah disurvei di Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo berada persis di pinggir pantai yang merupakan tempat rekreasi masyarakat setiap Hari Minggu dan hari libur.
“Kalau sampai bor di situ berarti tidak bisa menjadi tempat wisata lagi. Mereka (perusahaan) akan tutup itu. Masyarakat tidak akan mendekati lagi lokasi itu,” katanya.
Kamilius berkata, “sebenarnya di paroki saya ada tiga titik mata air panas, tetapi yang mereka survei hanya satu.”
Ia menyebut Kampung Adat Lari di Desa Renduteno, Kecamatan Aesesa Selatan merupakan wilayah yang telah ditetapkan sebagai salah satu titik proyek geotermal.
Ia menyatakan menolak proyek tersebut karena titik yang telah disurvei hanya berjarak 100 meter dari perkampungan.
“Kalau dibor, kampung itu akan pindah ke mana? Masyarakat tidak akan rela jika mereka harus pindah gara-gara proyek geotermal,” katanya kepada Floresa.
“Saya sudah sosialisasi dengan umat untuk menolak dengan tegas hal itu,” tambahnya.
Kamilius berkata, penolakan tersebut merupakan tindak lanjut dari surat gembala para uskup wilayah Nusa Tenggara-Bali pada Maret lalu.
Poin pertama dalam surat tersebut berisi pernyataan menolak proyek geotermal dan ajakan untuk “memilih masa depan secara bijaksana.”
“Di tingkat kevikepan, kami bergerak searah dengan penegasan para uskup,” katanya.
Yohanes Dhae, salah satu umat Stasi St. Petrus Lari yang mengunggah beberapa alasan penolakan itu di akun Facebooknya pada 11 Mei menyebut proyek geotermal merupakan ancaman terhadap kelestarian lingkungan.
Selain berpotensi merusak ekosistem alam, hutan dan sumber air yang menjadi penopang kehidupan masyarakat sekitar, kata dia, proyek ini juga membawa risiko bencana alam.
Yohanes juga mempersoalkan penetapan titik proyek yang tidak melibatkan masyarakat.
Ia menyebut kehadiran proyek tersebut akan mengganggu kegiatan pertanian, peternakan dan akses lalu lintas menuju daerah irigasi.
Selain itu, kehadiran proyek tersebut akan memicu pencemaran terhadap aliran sungai yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga.
“Kami mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk menghentikan rencana pembangunan proyek ini dan lebih mengedepankan model pembangunan yang berpihak pada rakyat, lingkungan dan keadilan sosial,” tulisnya.
Sementara itu, Freddy Leby yang ikut dalam aksi di Paroki St. Joane Baptista Wolosambi berkata, “kami mempunyai desa wisata alam.”
Saat tim dari Kementerian ESDM datang, kata warga Desa Ululoga itu, “kami berpikir bahwa survei itu dilakukan untuk kepentingan desa wisata sebab kami memiliki trekking ke sumber air panas.”
“Ternyata, petugas yang datang mengukur suhu air panas itu pemanis untuk rencana eksplorasi geotermal,” katanya.
“Kami pasang badan menolak rencana eksplorasi geotermal di wilayah kami, sesuai dengan arahan bapa uskup,” katanya.
Pastor Paroki St. Joane Baptista Wolosambi, Pastor Arnoldus Yansen Triyono menyatakan “pihaknya tegak lurus dengan otoritas Gereja Katolik lokal.”
“Hidup kami bergantung pada tanah, air dan alam. Tolong jangan ganggu ibu bumi yang sudah menghidupi kami. Jangan rusakkan harmoni alam di bumi Paroki Wolosambi,” katanya.
Arnoldus berjanji membentuk forum peduli lingkungan yang terdiri dari generasi muda dan para tokoh masyarakat di seluruh parokinya serta para akademisi.
Forum ini akan secara berkelanjutan melakukan advokasi, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat bahwa “geotermal di seluruh Flores sangat berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem alam semesta.”
Aksi perdana forum itu, katanya, akan digelar pada 5 Juni dalam rangka peringatan Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup.
Sementara itu, Pastor Felix Bhaghi, SVD berkata, “kami sudah mendata ada sekitar 21 titik geotermal di seluruh Flores yang akan dieksplorasi.”
Kondisi itu, katanya akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan lingkungan hidup.
“Karena itu, kita perlu perlawanan secara massal agar bumi yang subur dan kaya raya ini tidak dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Ia menekankan bahwa “kita belum butuh listrik untuk produksi dan industri.”
“Masih ada sumber daya alam yang lain yang bisa dikembangkan menjadi tenaga listrik tanpa harus merusak bumi,” katanya.

Pastor Kamilius Ndona, CP yang juga berasal dari Paroki St. Joane Babtista Wolosambi berkata, “begitu banyak sumber air dari alur sungai yang sama di kampung saya dan hanya diakses untuk persawahan dan untuk minum.”
“Kiri-kanan dari sumber air panas sampai ke laut itu sumber air semua,” katanya.
Di Nagekeo, kata Kamilius, mata air terbanyak ada di Kecamatan Mauponggo sehingga “kalau sampai dibor di hulu, maka akan mencemarkan seluruh mata air yang ada sampai di pantai.”
“Ini soal besar yang tidak bisa dianggap enteng. Jangan memaksakan kehendak. Klaim untuk sejahterakan rakyat itu omong kosong,” katanya.
Ekspansi proyek geotermal di Flores merupakan bagian dari agenda pemerintah untuk transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan.
Kementerian ESDM telah menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017. Saat ini sejumlah proyek sedang digenjot.
Sementara di Nagekeo masih dalam tahap rencana, di kabupaten lain sudah masuk dalam tahap eksplorasi dan pengerjaan, seperti di Poco Leok, Wae Sano, Atadei dan Mataloko.
Namun, resistensi dari warga setempat tetap menguat, ditambah dengan pernyataan penolakan bersama para uskup pada Maret lalu.
Kementerian ESDM merespons hal ini dengan menggelar pertemuan dengan Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, yang kemudian melahirkan tim investigasi untuk meninjau lokasi-lokasi proyek itu.
Namun, tim itu menuai protes dari berbagai elemen yang meragukan independensinya karena melibatkan pihak perusahaan dan pemerintah.
Editor: Ryan Dagur