Satgas Bentukan Gubernur NTT Kunjungi Poco Leok Usai Dikritik Tak Dengarkan Warga Yang Kontra Proyek Geotermal

Warga dan lembaga advokasi menyebut sebelumnya tim itu tidak mengunjungi lokasi dan hanya melibatkan segelintir orang saat uji petik

Floresa.co – Tim satuan sugas atau Satgas geotermal bentukan Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena mengunjungi Poco Leok di Kabupaten Manggarai setelah sebelumnya laporan mereka dikritik karena tidak menampung aspirasi warga yang kontra.

Kunjungan Satgas itu terjadi sehari setelah Laka Lena ke Poco Leok pada 16 Juli.

Informasi yang diperoleh Floresa, Benediktus Nagur, Kepala Desa Mocok — salah satu wilayah di Poco Leok — mengundang tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama mengikuti rapat dalam rangka “menindaklanjuti laporan Satgas” di kantor desa pada 17 Juli.

Surat itu diterbitkan Benediktus pada 16 Juli sore, usai kunjungan Laka Lena.

Merespons undangan itu, warga Poco Leok mengirimkan surat kepada Benediktus pada 17 Juli pagi yang menyatakan “menolak menghadiri rapat tersebut.” 

Dalam surat itu, yang salinannya diperoleh Floresa, mereka menyatakan “sikap kami sudah jelas dan terang, yaitu menolak pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok.”

Mereka juga menyebut “kami tidak percaya dengan laporan tim Satgas karena telah membohongi publik.”

Dalam laporan itu, yang dipaparkan di Kupang pada 4 Juli, Satgas menyebut terdapat masalah “tertutupnya ruang dialog serta kurangnya informasi yang dapat diakses warga” dalam proyek pengembangan PLTP Ulumbu.

“Hal tersebut dianggap sebagai bagian dari hambatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan proyek ini,” tulis Satgas.

Selain itu, Satgas mengklaim kelompok penolak “adalah masyarakat lokal, bukan masyarakat adat.” 

Warga Poco Leok menyatakan protes atas klaim itu, menyatakan “kami merasa dilecehkan oleh kesimpulan tersebut.” 

“Penolakan kami adalah penolakan secara kolektif, bukan individu. Mengapa undangan ini secara individu?” tulis mereka.

Sejumlah Perempuan Adat Poco Leok membentangkan spanduk penolakan proyek geotermal saat kunjungan Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena ke wilayah itu pada 16 Juli 2025. (Dokumentasi Floresa)

Benediktus berkata, pada 17 Juli itu belasan anggota Satgas, termasuk asisten gubernur dan pegawai Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Manggarai menggelar “dialog singkat” dengan pengurus desa.

Dalam dialog itu, kata dia, mereka bertanya tentang jumlah penduduk dan kepala keluarga serta jumlah masyarakat yang pro dan kontra dengan pengembangan PLTP Ulumbu. 

Kepada Satgas, Benediktus mengaku “tidak ada arsip di kantor desa tentang data pro dan kontra, mungkin di setiap gendang (kampung adat) ada.”

Ia menambahkan “saya tidak bisa memastikan jumlah masyarakat yang menolak proyek karena di setiap gendang ada yang menolak dan ada yang setuju.”

“Mereka juga bertanya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di desa. Saya bilang semua masyarakat berpartisipasi dengan baik dan memiliki semangat,” katanya kepada Floresa pada 19 Juli. 

“Demikian saja dialognya. Setelah makan siang, mereka langsung pamit ke Desa Lungar — yang juga bagian dari wilayah Poco Leok,” katanya.

Kunjungan Satgas itu juga merespons kritik publik terkait kinerja mereka yang hanya mengunjungi lokasi PLTP Ulumbu saat uji petik, tidak ke Poco Leok.

Berbicara kepada Floresa pada 17 Juli di Labuan Bajo, Laka Lena mengakui “laporan tim investigasi mendapat catatan dari Walhi NTT dan JPIC SVD karena belum banyak mendengar suara kelompok kontra proyek geotermal.”

Dua lembaga tersebut bergabung dalam koalisi advokasi untuk persoalan geotermal di Flores-Lembata, bersama berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya dari tingkat daerah hingga nasional.

“Tim ini turun lagi untuk memenuhi permintaan Walhi dan JPIC SVD. Untuk sekarang, pihak kontra belum cukup didengar. Tim Satgas akan turun fokus mendengar kelompok kontra,” kata Laka Lena.

Ia mengklaim pemerintah semaksimal mungkin mendengarkan suara dari dua pihak, yakni kelompok yang pro dan kontra.

Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena saat berbicara kepada awak media di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat 17 Juli 2025. (Dokumentasi Floresa)

Satgas melakukan investigasi di setidaknya enam lokasi proyek geotermal di Flores dan Lembata pada 20 Mei hingga 13 Juni. 

Keenamnya adalah Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat, Ulumbu di Kabupaten Manggarai, Mataloko dan Nage di Kabupaten Ngada, Sokoria di Kabupaten Ende dan Atadei di Kabupaten Lembata.

Investigasi ini merupakan respons atas penolakan dari warga di sejumlah lokasi itu yang didukung oleh sikap tegas Gereja Katolik.  

Ide pembentukan Satgas muncul usai Laka Lena bertemu dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden pada 4 April, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bersama para bupati dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Laporan Sesat

Warga dari berbagai lokasi telah menyatakan protes terkait temuan Satgas dalam sebuah konferensi pers pada 11 Juli.

“Tim Satgas yang dibentuk gubernur itu tidak jelas kehadirannya di Poco Leok. Mereka punya data tentang Poco Leok, tapi tidak pernah turun langsung,” kata Tadeus Sukardin, salah satu anggota komunitas itu saat konferensi pers.

Ia juga berkata, Satgas itu hanya akal-akalan gubernur, kendati tujuannya tetap untuk meloloskan proyek.

Agustinus Tuju, anggota komunitas lainya menambahkan, “yang kami tidak mengerti, tim investigasi itu untuk Flores, tapi tidak pernah ada yang turun di Poco Leok.”

“Mereka investigasi di tempat lain, tapi kemudian bicara seolah-olah itu hasil dari Poco Leok. Ini manipulasi yang disusun rapi oleh perusahaan dan pemerintah,” katanya.

Dalam konferensi pers yang sama, masyarakat adat Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat menilai laporan tim Satgas itu sebagai sesuatu yang sesat karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

“Tim itu tidak turun ke lokasi untuk menemui warga. Kami tidak tahu bagaimana cara dan dari mana tim yang menyebut dirinya independen itu mengambil data,” kata Yosef Erwin Rahmat, salah satu anggota komunitas itu.

Ia membantah salah satu klaim Satgas itu yang menyebut “tak ada penolakan dari warga” terkait pembangunan geotermal di wilayah mereka. 

Ia berkata, “kalau ada orang yang mengatasnamakan warga Wae Sano menerima geotermal, itu adalah sebuah kejahatan.” 

“Kami tidak pernah memberikan rekomendasi kepada seorang tokoh atau beberapa orang untuk menerima geotermal. Hingga saat ini, kami yang sejak 2018 menyatakan sikap menolak geotermal, masih konsisten untuk menolak,“ katanya. 

Yosef berharap Laka Lena mendengarkan suara mereka, bijak dalam mengambil keputusan dan tidak terprovokasi oleh laporan tim itu.

“Apabila Gubernur NTT menerima laporan tim ini dan menjadikannya sebagai pijakan untuk melanjutkan proyek geotermal di Wae Sano, maka ia juga sesat,” katanya.

Masyarakat Adat Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat saat mengikuti konferensi pers bertajuk “Geotermal Bukan Alasan Menghancurkan Hidup Kami: Tolak Laporan Sesat Tim Teknis Gubernur NTT” yang digelar secara hybrid pada 11 Juli 2025. (Dokumentasi Floresa)

Sementara itu, warga Sokoria di Kabupaten Ende menilai kajian Satgas terhadap PLTP di wilayah mereka tidak menyentuh akar masalah karena hanya melibatkan segelintir orang.

“Mereka tidak melibatkan beberapa tokoh adat dan tokoh agama, khususnya kami yang ada di tingkat stasi. Yang diundang cuman kepala desa dan orang tertentu yang mereka kenal,” kata Ruben Rai, warga Desa Sokoria, Kecamatan Ndona Timur.

Ia menilai sejumlah temuan tim tersebut “tidak sesuai fakta di lapangan dan diduga mengandung kebohongan.”

Hasil kajian itu, kata dia, lebih condong mengakomodasi kepentingan perusahaan, alih-alih mencerminkan aspirasi seluruh masyarakat.

“Mereka lebih mengambil kesimpulan dari sisi keuntungan dan itu yang disampaikan di meja perundingan dengan gubernur. Tetapi, mereka mengorbankan kepentingan masyarakat,” katanya. 

Sementara itu, Walhi NTT dan JPIC SVD menyebut cara kerja Satgas itu sebagai “sandiwara formalitas” yang tidak mencerminkan prinsip evaluatif dan partisipatif. 

Walhi menuding Satgas “tidak profesional dan metode kerjanya sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan.”

“Kami menilai uji petik ini adalah kejahatan intelektual,” tulis Walhi dalam keterangan yang diterima Floresa.

JPIC SVD Ruteng menyatakan, kerja Satgas sarat dengan kepentingan penguasa dan perusahaan serta abai terhadap prinsip transparansi, partisipasi dan keadilan ekologis.

Alih-alih menemukan harapan dalam paparan tim Satgas, kata JPIC, yang tampak hanya laporan yang tidak independen untuk meloloskan proyek.

Lembaga itu menduga, beberapa akademisi yang dilibatkan dalam Satgas merupakan “titipan bandar”—istilah yang merujuk pada perwakilan dari perusahaan atau kelompok pendukung geotermal. 

Dugaan itu, menurut JPIC, beralasan karena proses uji petik tidak melibatkan masyarakat setempat, ahli geologi independen, pakar hukum lingkungan maupun lembaga hak asasi manusia.

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA