Floresa.co – Setelah munculnya laporan kolaborasi Floresa dan Project Multatuli pekan lalu yang membongkar dugaan permainan jaksa dalam penanganan kasus Terminal Kembur di Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, seorang pengacara yang pernah terlibat menangani kasus itu mengungkap informasi lain.
Hipatios Wirawan Labut, pengacara dari Benediktus Aristo Moa saat kasus itu ditangani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang mengatakan ia juga sempat dihubungi oleh seorang jaksa di Kejaksaan Negeri [Kejari] Manggarai sebelum pembacaan tuntutan terhadap kliennya.
Jaksa itu, kata dia, adalah Hero Ardi Saputro, Kepala Seksi Barang Bukti, yang juga menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Terminal Kembur.
Kasus ini telah menyeret ke jeruji besi Aristo, 45, PNS rendahan di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Manggarai Timur dan Gregorius Jeramu, 68, warga adat Kembur sebagai pemilik lahan seluas 7.000 meter persegi tempat pembangunan terminal.
“Intinya [dalam telepon itu] dia menanyakan apakah bisa bantu jelaskan ke keluarga untuk proses pengembalian kerugian negara,” kata Hipatios, meski tidak mengingat lagi tanggal persis Hero meneleponnya.
Menurutnya, Hero memberi tahu bahwa “Ada uangnya. Tinggal minta perwakilan keluarga untuk tanda tangan berita acara.”
Hipatios mengatakan, untuk menyakinkannya, saat telepon tersebut Hero sempat menghubungkannya dengan atasannya di Kejari Manggarai yang kemudian menjelaskan hal yang sama. Hipatios tidak bisa mengidentifikasi identitas atasan Hero itu.
“Saat itu saya menyampaikan, ‘Sulit untuk tanda tangan berita acara Bang, karena selama sidang tidak ada pengakuan dari terdakwa,” katanya, merujuk pada kliennya, Aristo.
Ia melanjutkan dengan bertanya, “Kenapa kami yang harus kembalikan [kerugian negara], bukan Pak Gregorius?”
“Dia [Hero] bilang Pak Gregorius juga tidak mau. Lalu saya tanya, ‘Siapa yang siapkan uangnya.’ Dia jawab, ‘Bupati’. ‘Bupati siapa?,’ tanya saya lagi,” kata Hipatios.
“Dia tidak menjawab dan hanya menyampaikan: ‘Abang ke kantor saja, kita bicara langsung di kantor,’” tambahnya.
Ia mengatakan tidak mendatangi kantor Kejari Manggarai pada hari yang dijanjikan, tetapi hanya rekannya sesama pengacara bersama perwakilan keluarga Aristo.
Pertemuan itu kemudian berujung penolakan keluarga Aristo menandatangani dokumen itu.
“Saya tidak tahu apa pembicaraan antara mereka, tetapi kemudian mereka menyampaikan kepada saya bahwa keluarga dan penasehat hukum menolak untuk tanda tangan,” kata Hipatios.
Pengakuan Jaksa
Dihubungi Floresa pada Selasa, 26 September untuk mengonfirmasi cerita Hipatios, Hero Ardi Saputro mengaku tengah berada di Kupang dan meminta wawancara langsung di kantor Kejari Manggarai.
Dalam wawancara pada Rabu pagi, 27 September, ia tidak menampik pernah menghubungi Hipatios lewat telepon terkait pengembalian uang kerugian negara.
Ia mengatakan pembicaraan telepon itu terjadi setelah sebelumnya ia berbicara tatap muka dengan Hipatios usai sebuah sidang pembacaan dakwaan di Kupang.
“Saya bertanya langsung kepada Hipatios [dalam pembicaraan tatap muka] tentang ada atau tidaknya upaya pengembalian kerugian negara,” kata Hero yang dalam wawancara itu didampingi Zaenal Abidin, Kepala Seksi Intelijen Kejari Manggarai.
Zaenal, kata Hero, adalah perwakilan institusinya yang wajib hadir ketika bertemu dengan media.
Sekembali ke Ruteng, katanya ia “menelepon Hipatios untuk bertanya kembali terkait upaya pengembalian kerugian negara.”
Ia mengatakan, Hipatios menjawabnya; “Nanti saya koordinasikan dengan keluarga.”
Ditanya alasan tidak menghubungi pengacara Gregorius padahal dalam dakwaan dan kemudian vonis, Gregorius yang dituntut mengembalikan kerugian negara, Hero mengatakan “hanya menghubungi Hipatios karena berharap kuasa hukum Aristo dan Gregorius dapat berkonsolidasi.”
Hero menjelaskan bahwa ia berupaya menghindari yang ia sebut “tendensi” dalam penanganan kasus ini.
Karena alasan itulah, katanya, ia memilih bertanya langsung di area persidangan kepada pengacara Aristo.
“Kalau saya menghubungi di luar area persidangan, nanti muncul tendensi,” katanya.
Merespons pertanyaan Floresa, “bukankah langkahnya menelepon Hipatios saat sudah berada di Ruteng berarti sudah berarti di luar area persidangan, ia sempat terdiam sebelum kemudian Zaenal yang duduk di sampingnya menyela.
Zaenal mengatakan Kejaksaan boleh berkoordinasi dengan pengacara terdakwa diluar persidangan untuk meminta informasi terkait kesanggupan membayar ganti rugi, yang akan berdampak pada tuntutan.
Hero juga membantah menghubungkan Hipatios dengan atasannya ketika bertelepon dan menampik turut menyebut ‘bupati’ dalam percakapan itu.
“Bupati siapa? Saya tidak sebut soal bupati. Tidak ada relevansinya,” katanya.
Floresa menghubungi kembali Hipatios pada 27 September, mengonfirmasi pernyataan jaksa Hero.
Hipatios mengatakan ia mempertahankan pengakuan sebelumnya, termasuk terkait penyebutan nama bupati dalam pembicaraan lewat telepon itu.
“Seingat saya, ia menyebut bupati itu. Karena saya tanya siapa bupatinya, itulah yang membuat dia mengajak bertemu di kantor kejaksaan,” katanya.
‘Hamba Allah’ yang Bantu
Pengakuan Hipatios merespons laporan Floresa dan Project Multatuli pada 20 September yang mengungkap peran seorang jaksa di Kejari Manggarai yang ‘melobi’ Aristo dan keluarganya untuk membayar dana ganti rugi dengan iming-iming dituntut dengan hukuman minimal.
Dana ganti rugi itu sudah disiapkan oleh Kejari Manggarai, yang menurut kata-kata Aristo berdasarkan penuturan Daniel Merdeka Sitorus, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Manggarai, adalah dari seseorang yang disebut sebagai ‘hamba Allah.’
Lobi oleh Daniel itu terjadi beberapa hari menjelang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Kupang, tempat perkara itu disidangkan.
Aristo kemudian menghubungi isterinya, Skolastika Setiman Marut untuk menemui jaksa. Dalam pertemuan pada 12 Maret itu, Skolastika mengaku ditawari Daniel menandatangani sebuah dokumen yang isinya tidak diperlihatkan, tetapi terkait pengembalian uang kerugian negara.
Jika menerima, iming-imingnya, suaminya akan dituntut pasal minimal, yakni hanya satu tahun penjara. Daniel tidak memberitahu siapa yang menyiapkan uang itu, tambah Skolastika.
“Atas pertimbangan keluarga bersama pengacara waktu itu, kami tidak mau melakukan tanda tangan karena kami merasa janggal,” kata Skolastika kepada Floresa.
Seperti yang disampaikan dalam laporan kolaborasi itu, Daniel mengakui pertemuan itu, kendati ia membantah terkait permintaan mengembalikan kerugian negara kepada Aristo atas inisiatifnya.
Katanya, “‘Pak Aristo, tolong ceritakan sama Pak Gregorius terkait dengan pengembalian [kerugian negara] itu, apakah memang ada atau tidak?’” ujar Daniel mengulangi pembicaraannya kepada Aristo.
Aristo kemudian bertanya apakah bisa jika keluarganya yang mengembalikan dana kerugian negara itu, klaim Daniel. “Ya, silakan, Pak Aristo, tolong keluarga dibilang untuk bertemu.”
Apa yang dibicarakan saat pertemuan itu, klaim Daniel, “Cuman sekadar apakah ada atau tidak” dana untuk pembayaran kerugian negara. “Kami cuma memastikan itu aja, tidak ada yang lain,” ujarnya.
Floresa mengkonfirmasi cerita Daniel kepada Aristo, di mana ia kemudian membantah penjelasan Daniel.
Ia mengatakan, Daniel yang berkali-kali menghubunginya memberitahunya bahwa ada yang membantunya mengembalikan kerugian negara yang tidak perlu ia ketahui.
“Hamba Allah yang mau bantu,’” cerita Aristo mengulangi pembicaraan dengan Daniel.
Dugaan Permainan
Dugaan permainan dalam kasus ini jadi sorotan sejak penetapan tersangka terhadap Aristo dan Gregorius.
Saat Kejaksaan Negeri Manggarai mulai menyelidikinya pada Februari 2021, sasarannya memang pada dugaan korupsi pembangunan terminal.
Terminal yang direncanakan menjadi penghubung angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur, dengan angkutan khusus menuju kota di pesisir pantai selatan Flores ini dibangun bertahap pada 2013-2015. Proyek ini menelan Rp3,6 miliar. Namun, selesai dibangun, terminal ternyata tidak dimanfaatkan. Kondisinya saat ini terlantar.
Setidaknya 25 orang diperiksa sebagai saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, seperti Kepala Dinas Fansialdus Jahang dan Kepala Bidang Perhubungan Darat Gaspar Nanggar.
Kontraktor yang mengerjakan pembangunan fisik terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John, dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E. Go.
Namun, pada Oktober 2022, Kejari Manggarai mengumumkan kasus itu diarahkan kepada pengadaan lahan, dengan tersangka Gregorius dan Aristo.
Hal itu memicu aksi protes dari berbagai elemen masyarakat, yang melakukan rangkaian unjuk rasa di Borong, Ruteng, Kupang, hingga Jakarta. Kelompok aktivis juga menggalang dana publik. Dana terkumpul diharapkan dapat membantu keluarga Aristo dan Gregorius menghadapi proses hukum.
Laurensius Lasa, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Cabang Ruteng, salah satu organisasi mahasiswa yang mengawali proses hukum kasus ini, menyebut apa yang dialami Gregorius dan Arito adalah “bentuk peradilan sesat … yang melahirkan pesimisme masyarakat terhadap penegakan hukum.”
“Pilihan mengabaikan penyelidikan terhadap pembangunan fisik, tentu menimbulkan kecurigaan yang besar bagi masyarakat. Kami menduga Kejaksaan Negeri Manggarai telah ‘bermain mata’ atau ‘berselingkuh’ dengan beberapa pihak tertentu sehingga kasus pembangunan fisik ditutup rapat,” katanya seperti dilansir dalam laporan kolaborasi Floresa dan Project Multatuli.
Ucapan Laurensius Lasa mengacu kepada Fansialdus Jahang dan Gaspar Nanggar, yaang adalah atasan Aristo. Saat ini Fansialdus menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, sementara Gaspar sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai Timur.
Fansialdus dan Gaspar tidak merespons Floresa untuk diminta tanggapan soal tudingan bahwa proses hukum pengadaan lahan Terminal Kembur menyelamatkan keduanya, yang semestinya bertanggung jawab, termasuk dalam pembangunan fisik terminal.
Kini, Aristo dan Gregorius mendekam di penjara setelah kalah banding di Pengadilan Tinggi Kupang.
Aristo divonis 2 tahun dan membayar denda 100 juta. Sedangkan Gregorius dihukum 4 tahun, membayar denda 200 juta, serta mengganti kerugian negara senilai Rp402 juta.
Keduanya telah mengajukan kasasi, di mana prosesnya kini sedang berlangsung di Mahkamah Agung.
Merespons pertanyaan Floresa pada 27 September perihal kapan kasus pembangunan fisik Terminal Kembur akan diproses, Hero mengatakan Daniel Merdeka Sitorus yang berhak menjawabnya.
Saat diwawancara pada bulan lalu, Daniel berkata Kejaksaan belum melanjutkan pengusutannya dengan alasan keterbatasan personel. Ia berjanji meneruskannya setelah kasus pengadaan lahan.
“Sudah ada komunikasi dengan Kejaksaan Tinggi. Kami lagi tunggu waktu kapan ekspos,” katanya, menambahkan bahwa saat ini Kejaksaan fokus pada kasus lain, yakni dugaan korupsi proyek air minum bersih di Desa Rana Masak yang sudah menetapkan tersangka.