Kembali Diadang Warga Poco Leok, Rombongan PT PLN Balik Arah

Dikawal ketat aparat keamanan, rombongan itu kembali ke Ruteng setelah warga memutuskan memadati jalan sehingga tidak bisa dilalui

Baca Juga

Floresa – Petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] yang dikawal sekitar 30-an personil aparat gabungan, polisi dan tentara, kembali mendatangi wilayah Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada hari ini, Rabu, 30 Agustus, hal yang memicu protes warga.

Warga yang sudah mengetahui kehadiran mereka, sontak menghadang rombongan itu di simpang tiga Lungar, salah satu kampung adat yang masuk wilayah Poco Leok.

Warga penolak geothermal berdatangan dan berkumpul di pertigaan jalan itu sejak Rabu pagi. Sekitar pukul 10.00 Wita mereka sudah memenuhi lokasi. Mereka datang dari beberapa kampung sekitar, seperti Lungar, Tere, Jong, Rebak, Nderu, Mori, Cako, Mocok dan Mucu.

Di titik itu, sekitar delapan orang aparat TNI sudah siaga.

Melihat aparat, ibu-ibu segera mengomel dan menyebut kehadiran mereka “selalu saja meresahkan warga.”

Warga juga kecewa karena kehadiran pihak-pihak tersebut melanggar perintah Wakil Bupati Manggarai, Heribertus Ngabut, saat beraudiensi dengan masyarakat Poco Leok pada 9 Agustus, di mana ia memerintahkan penghentian sementara segala aktivitas terkait proyek geothermal itu.

Beberapa ibu berinisiatif menanyakan maksud kehadiran aparat tersebut. Beberapa di antaranya menjawab bahwa kehadiran mereka di Poco Leok hanya “melaksanakan perintah atasan.”

“Mereka sebetulnya tidak mengetahui apapun yang terjadi di Poco Leok pada saat ini,” kata Yudi Onggal, salah satu tokoh muda Poco Leok.

Setengah jam menunggu, warga mendengar suara beberapa kendaraan yang sedang bergerak ke arah kerumunan warga.

Dari jarak beberapa puluh meter, sebuah mobil patwal aparat kepolisian muncul, diikuti oleh mobil berwarna hitam, lalu truk keranjang milik Polres Manggarai.

Di belakangnya, beberapa unit sepeda motor polisi turut membuntuti dan mengiringi rombongan itu.

Melihat kehadiran rombongan, warga langsung menghadang di jalan. Kerumunan warga beberapa kampung itu segera memenuhi badan jalan.

Mereka mulai melakukan aksi protes dan menuntut agar diberikan penjelasan resmi dari pihak terkait tujuan kedatangan mereka.

Aparat keamanan segera turun dan meminta warga agar segera menyingkir dari badan jalan. Namun warga tetap bersikeras tidak mau pindah, sebelum rombongan itu menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Yel-yel dan nyanyian yang menyatakan penolakan proyek geothermal terdengar dari kerumunan warga.  Beberapa ibu dan anak muda menuntut pihak PLN segera turun dari mobil, memberikan penjelasan resmi terkait kehadiran mereka di Poco Leok.

Namun, rombongan PLN tetap tidak mau turun.

Sementara itu, aparat kepolisian segera turun dan langsung berhadapan dengan warga. Mereka juga memperketat penjagaan di sekitar mobil yang ditumpangi pihak PT PLN.

“[Ini] untuk kesekian kali warga diatur untuk diperhadapkan dengan aparat keamanan, bukannya dengan pihak yang berkepentingan dengan proyek geothermal tersebut,” kata Yudi.

Warga  tidak mendapat penjelasan langsung dari PT PLN, pihak yang berkepentingan dengan proyek itu.

Karena mendapat perlakuan demikian, warga bereaksi balik, dengan menambah jumlah barisan di badan jalan. Pihak ibu-ibu tetap menjadi yang paling berani, paling agresif melawan dan menghadang.

Kerumunan warga Poco Leok sulit ditembus, juga komentar dan reaksi warga susah dihentikan.

Setelah situasi itu berlangsung cukup lama dan tetap tidak mau kompromi, beberapa aparat keamanan kemudian meminta izin warga agar memberi ruang bagi kendaraan rombongan itu untuk berbalik arah.

Sekitar pukul 11.20 Wita, rombongan itu bergegas kembali ke arah Ruteng.

Warga Poco Leok tampak memadati badan jalan. (Dokumentasi warga Poco Leok)

Sementara warga Poco Leok yang hadir pada aksi spontan itu tetap berjaga-jaga di sekitar lokasi simpang tiga Lungar, sambil memastikan rombongan itu benar-benar meninggalkan wilayah Poco Leok.

Yudi mengatakan, “penghadangan pada hari ini memang berlangsung cukup menegangkan,” namun tidak terjadi tindak kekerasan.

Paulina Imbut, salah satu ibu yang terlibat dalam aksi tersebut mengatakan penghadangan terhadap rombongan PLN pada hari ini, selain karena alasan-alasan yang selama ini selalu disampaikan tentang alasan menolak proyek itu, juga terutama karena larangan langsung Wakil Bupati Heribertus Ngabut kepada perusahaan dan PLN serta aparat keamanan untuk menghentikan sementara aktivitas di Poco Leok, sambil menanti keputusan lebih lanjut dan diskusi dengan warga.

Sejumlah perempuan juga berada di garis depan, berhadapan dengan aparat. (Dokumentasi warga Poco Leok)

“Mereka sengaja datang mengganggu ketenteraman kami di sini. Padahal, sudah jelas perintah dari Pak Wakil Bupati waktu demo di Ruteng. Mereka yang datang hari ini, juga saya lihat mukanya di kantor bupati. Mereka tahu itu perintah. Hanya mereka sengaja paksa diri datang lagi,” kata Paulina.

Elisabeth Lahus, ibu lainnya mengatakan sedang bekerja di kebunnya saat mendengar teriakan warga yang protes.

“Saya langsung ke sini saja. Mereka sudah keterlaluan. Padahal sudah dilarang oleh pak Heri Ngabut. Saya sangat marah. Ini sudah keterlaluan,” katanya.

Proyek panas bumi Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu, 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang sudah beroperasi sejak tahun 2012.

Geothermal Poco Leok ditargetkan pemerintah akan menghasilkan energi listrik 2 x 20 MW, meningkat dari 10 MW di PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi saat ini

Namun, warga setempat terus melakukan upaya perlawanan.

Selain pengadangan dan unjuk rasa , warga juga mengirim surat kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KwF] untuk menghentikan pendanaan proyek itu.

Pada 17 Agustus, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-78, warga Poco Leok mengadakan upacara bertajuk ‘Merdeka Tanpa Geothermal,” di mana mereka tetap menegaskan penolakan terhadap proyek itu.

Selain Poco Leok, beberapa tempat di Flores juga menjadi sasaran proyek geothermal sejak penetapan pulau tersebut sebagai Pulau Geothermal pada 2017, seperti di Wae Sano,  Kabupaten Manggarai Barat dan di Mataloko, Kabupaten Ngada.

Di lokasi-lokasi ini, warga juga menolak karena titik-titik pengeboran yang berada di dalam ruang hidup mereka, seperti di dekat pemukiman dan lahan pertanian.Ra

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini