Tidur di Kursi 5-10 Menit, Internet Tak Stabil, Minim Penerangan; Perjuangan Petugas KPPS di Flores demi Pemilu 2024

Keterbatasan sarana dan prasarana membuat tantangan bagi petugas di wilayah seperti Flores menjadi lebih besar, dibanding wilayah lain di nusantara

Floresa. co – Hanya punya 5-10 menit untuk memejamkan mata, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara [KPPS] di Kabupaten Sikka, Flores nyaris sepanjang hari berkutat dengan minimnya penerangan, sinyal buruk dan pengadaan mesin fotokopi.

Di Tempat Pemungutan Suara [TPS] 01 Desa Koja Doi, Kecamatan Alok Timur, “kami tidak mungkin istirahat duluan sebelum pekerjaan selesai,” kata El Anshari, ketua KPPS.

Anshari dan anggota timnya bekerja sejak 14 Februari pagi, sebelum TPS dibuka pukul 08.00 Wita.

Ia mengaku waktu istirahat “sangat minim selama lebih dari 24 jam.”

“Paling tutup mata selama 5-10 menit saja. Boleh tidur di kursi, tapi jangan lama,” katanya kepada Floresa pada 16 Februari.

Tiga di antara anggota timnya merupakan perempuan yang memiliki bayi. 

“Komisi Pemilihan Umum [KPU] Sikka mengimbau kami tetap bekerja sampai selesai,” katanya, karena “khawatir terjadi kecurangan jika kami banyak istirahat.”

Minim Penerangan, Sinyal Internet

Tugas KPPS dinyatakan beres ketika sudah memasukkan [input] data ke aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik atau Sirekap, aplikasi KPU yang digadang-gadang dapat memperkuat keterbukaan informasi terkait Pemilu sekaligus meminimalisasi kecurangan.

Anshari menyatakan, mereka baru menuntaskan proses input data pada 15 Februari sekitar pukul 15.00 Wita.

Itu berarti molor dari ketentuan dalam Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023. Peraturan itu mewajibkan rekapitulasi penghitungan suara di TPS selesai 12 jam usai pemilihan, dengan kemungkinan perpanjangan waktu 12 jam lagi tanpa jeda.

Untuk bisa mengakses Sirekap, petugas KPPS harus terkoneksi dengan jaringan internet. 

Sementara di Koja Doi, “listrik sering padam yang disusul matinya jaringan internet,” kata Anshari.

Listrik di Koja Doi menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya “yang jam 9 malam pasti mati.”

Agar masih bisa bekerja, mereka mencari jalan keluar menggunakan genset yang “bahan bakar bensinnya mesti cari di sana-sini.”

Kendala penerangan ditambah kurang istirahat juga membuat Punensiana Nganal “nyaris menyerah.”

Ia merupakan anggota KPPS di TPS 006  Desa Poco Ri’i, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur.

Bekerja sejak 13 Februari, “kami menggggantungkan penerangan pada beberapa buah lampu yang disokong genset dan senter ponsel” karena listrik belum masuk desa.

Brit Dia, anggota KPPS di TPS 005 Desa Poco Ri’i menambahkan, pekerjaan mereka turut terkendala jaringan internet yang buruk akibat hujan deras.

“Kami harus tunggu hujan berhenti supaya dapat melanjutkan input data,” katanya.

Ia baru dapat tidur sedikit lebih pulas pada 16 Februari dini hari, ketika semua pekerjaannya telah tuntas.

Sementara Anshari bercerita, sinyal internet yang lebih baik tak serta-merta memudahkan pekerjaan.

“Kami harus berlomba log in ke Sirekap dengan anggota lain,” kata lelaki 35 tahun itu, “yang terkadang malah bikin eror proses masuknya.”

Sinyal internet yang buruk juga menjadi tantangan anggota KPPS di TPS 002 Desa Paga, Kecamatan Paga, Sikka.

“Kami sampai harus berkali-kali melapor ke KPU karena tak ingin dianggap melalaikan pekerjaan,” kata  Melixia Wonga, petugas KPPS di TPS tersebut.

Kondisi serupa terjadi di TPS 01 Desa Timu Tawa, Kecamatan Talibura, Sikka.

Jaringan internet yang buruk membuat “kami baru dapat menyelesaikan rekapitulasi data pada 16 Februari pukul 04.00 Wita,” kata Ketua KPPS, Mensiana Nogo.

“Dua hari ini kami kurang istirahat,” kata perempuan 26 tahun itu.

Cari Mesin Fotokopi

Menurut Anshari, “Pemilu kali ini cukup berbeda dari yang lalu.” Ia menjadi anggota KPPS di TPS yang sama pada Pemilu 2019. 

Selain kurang tidur, harus berjibaku mengatasi kendala penerangan dan melatih kesabaran log in ke Sirekap, “kami juga pusing cari mesin fotokopi” untuk menggandakan salinan berita acara pemungutan dan penghitungan suara. 

Koja Doi merupakan sebuah pulau kecil di utara Flores. Tak seorang pun anggota KPPS Koja Doi memiliki mesin fotokopi. 

Anshari berkata beruntung TPS mereka bisa meminjam mesin fotokopi dari Sekolah Dasar Negeri Koja Doi.

Ini berbeda dengan di TPS lain yang di Koja Doi, yang “harus melaut ke Maumere.”

Koja Doi dan Maumere berjarak sekitar 14,13 mil laut atau 22,7 kilometer. Harus ditempuh dengan kapal penumpang dilanjutkan perjalanan darat, yang kira-kira memakan waktu 35 menit. 

Waktu tempuh barangkali tak jadi masalah. “Tetapi di tengah laut, kita tidak tahu cuaca.”

Soal cuaca juga diungkapkan Punensiana. Ia bercerita hujan deras mulai mengguyur Poco Ri’i pada 14 Februari siang yang baru berakhir menjelang malam. 

Hujan lebih dari tiga jam itu “membuat penghitungan suara ditunda hingga pukul 18.00 Wita, yang baru selesai empat jam kemudian.”

Petugas KPPS di TPS 01 Desa Timu Tawa, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka sedang melakukan proses rekapitulasi data. (Dokumentasi Floresa)

Tak Seimbang

Punensiana baru selesai bekerja pada 16 Februari, setelah mulai aktif di TPS pada 13 Februari. 

Tiga hari itu ia kurang istirahat yang membuat tubuhnya melemas. Seorang petugas kesehatan sempat menawarinya dipasangi infus, “tapi saya tolak.” 

Ia lebih memilih “menenggak obat alternatif supaya tetap dapat bergerak, tidak berbaring dipasangi infus.”

Ia mengaku harus mencuri waktu istirahat lantaran “kerja kami tak mengenal batas waktu.”

Punensiana berharap “ada penambahan anggota KPPS pada Pemilu berikutnya, yang disesuaikan dengan beban kerja.”

Harapan senada diungkapkan Melan Jano, anggota Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) di TPS 004 di Desa Golo Ndeweng, Kecamatan Lembor.

Pemilu mendatang, katanya, “jumlah petugas di TPS harus seimbang dengan jumlah pemilih.”

Menurut perempuan 32 tahun itu, “menghitung surat suara dari 157 pemilih telah menguras energi, lelah luar biasa.”

Dalam Pemilu 14 Februari, jumlah anggota KPPS di TPS 004 Desa Golo Ndeweng sebanyak tujuh orang. 

“Kalau levelnya pemilihan gubernur dan bupati, mungkin pas,” kata Melan mengacu pada pemilihan kepala daerah.

“Kalau hanya tujuh orang mengurus surat suara Pemilu di satu TPS, jauh dari seimbang.”

Terlepas dari pelbagai kendala dan keluhan, Melan dan Brit Dia sepakat bahwa upah yang mereka dapat sepadan dengan waktu dan beban kerja.

Memberatkan Petugas

Cerita tentang situasi yang menantang ini mewakili kisah para petugas di garis depan Pemilu 2024.

Di Manggarai, Edit Lustriana Lenem, petugas KPPS 03 di TPS 06 Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok, sempat pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Insiden tersebut terjadi saat ia sedang bekerja pada 15 Februari dini hari, pukul 03.00 Wita.

Di beberapa wilayah lain di Indonesia, sejumlah petugas KPPS meninggal selama bertugas, disinyalir karena kelelahan.

Hingga 16 Februari, menurut data Kementerian Kesehatan, 29 petugas yang dilaporkan meninggal, tersebar di sembilan provinsi.

Pada Pemilu 2019, jumlah kasus petugas KPPS yang meninggal dunia 894 orang, sementara yang sakit 5.175 orang.

Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, sebetulnya semula KPU mengusulkan agar penghitungan suara dilakukan dengan dua panel, sehingga tidak memberatkan petugas.

Panel pertama menghitung jenis surat suara presiden dan wakil presiden dan DPD, sementara panel kedua menghitung surat suara DPR dan DPRD.

Namun, katanya, saat rapat konsultasi dengan DPR RI, mereka memandang “cukup satu panel” sama seperti pada Pemilu 2019.

Anjany Podangsa berkontribusi untuk laporan ini

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA