Oleh: Suster Herdiana Randut, SSpS
Setiap kali membaca dan mengenang figur pahlawan perempuan Indonesia Raden Ajeng Kartini, saya sering termenung dan diam. Kok bisa ya dia setegar dan seberani itu.
Sudah jelas dan tak terbantahkan bahwa Kartini membawa pengaruh yang luar biasa bagi perempuan Indonesia, khususnya soal upaya memperjuangkan kesetaraan kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Kartini hidup pada masa di mana masyarakat umumnya memegang teguh prinsip bahwa pendidikan hanya untuk laki-laki.
Perempuan pun dilarang sekolah, hanya di rumah dan melayani suami atau keluarga.
Ditambah lagi dengan dunia teknologi yang tidak secanggih sekarang, membuat perempuan sulit untuk belajar hal-hal baru.
Namun, Kartini melawan itu semua. Ia tampil dan melahirkan perubahan revolusioner karena keberanian dan kejujuran dalam berjuang. Dengan dua sikap sadar ini, badai pun bisa ditantang.
Pahlawan perempuan Indonesia ini telah memberi inspirasi bagi kami para perempuan sekarang.
Ia telah membuka cakrawala baru kepada kami.
Emansipasinya membawa perspektif baru bagi pendidikan di negeri ini.
Karena perjuangannya pula, perlahan-lahan kesetaraan itu mewujud.
Perempuan tidak lagi sebatas mengurus dapur, kasur dan ranjang. Perempuan bisa berkiprah dalam banyak bidang kehidupan.
Salah satunya bisa mengenyam pendidikan, sehingga perempuan bisa menjadi guru, dokter, politisi, dan banyak profesi dan status sosial lainnya.
Bahkan dalam berbagai bidang kehidupan sekarang, para perempuan juga menjadi pemimpin.
Indeks Pemberdayaan Gender [IDG] di Indonesia, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik [BPS], terpantau terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
IDG berada di kisaran 76,26% pada 2021, jauh lebih baik dibandingkan 69,14% satu dekade sebelumnya.
Terlebih, meningkatnya keterlibatan perempuan di parlemen dan makin banyaknya perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional, hal yang menunjukkan deretan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan ekonomi dan politik.
Hal ini juga menandakan bahwa perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam menjalankan berbagai peran.
Realitas Perempuan Zaman Sekarang
Kendati kini ada cukup banyak perempuan yang mencapai posisi-posisi itu, namun penting diakui bahwa mayoritas masih dibelenggu beragam masalah.
Padahal, situasi yang dihadapi Kartini dulu sudah berbanding terbalik jika disandingkan dengan keadaan sekarang.
Kini, segala sesuatu misalnya bisa diakses melalui internet berkat kecanggihan teknologi.
Untuk belajar memasak masakan tertentu, merias wajah, merangkai bunga, berbisnis, menjahit, belajar bahasa asing, dan lain sebagainya, semuanya bisa diperoleh dengan mudah, dengan mengakses internet.
Namun, tantangan yang dihadapi perempuan masih tetap rumit. Masih banyak kaum perempuan yang tidak bisa mengakses pendidikan tinggi. Masih banyak perempuan yang dikungkung dalam lingkungan sosial yang tertutup.
Akibatnya, kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam memajukan kehidupan bangsa tidak kunjung terwujud.
Kenyataan empiris membuktikan bahwa masih banyak perempuan yang hanya lulusan pendidikan dasar dan tidak lanjut ke pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi.
Hanya orang-orang yang memiliki finansial cukup yang bisa bersekolah hingga jenjang yang sangat tinggi.
Hal ini juga terbaca dari data statistik pemerintah.
Pada tahun 2021, rata-rata lama sekolah untuk perempuan adalah 8,17 tahun, sementara laki-laki adalah 8,92 tahun.
Perbedaan sebesar 0,75 ini tergolong signifikan karena perkembangan periode lama sekolah setiap tahunnya rata-rata sebesar 0,10 tahun saja.
Kesenjangan ini kemudian berdampak pada rendahnya upah yang diterima pekerja perempuan jika dibandingkan laki-laki.
Upah rata-rata per jam untuk perempuan adalah Rp17.848,00, masih lebih rendah dari laki-laki yang sejumlah Rp 18.210,00.
Dalam pasar tenaga kerja formal, perempuan juga hanya memiliki kontribusi 35,57%, sementara yang bekerja di sektor informal mencapai 63,80%.
Ketimpangan pendidikan yang lebih signifikan akan semakin terlihat nyata di wilayah pedesaan.
Banyaknya anggapan yang mendiskreditkan pentingnya pendidikan bagi perempuan menjadi faktor utama sulitnya perempuan di pedesaan mendapatkan pendidikan yang layak sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2022 menunjukkan jenis ijazah tertinggi yang dimiliki sebagian besar perempuan di pedesaan adalah lulusan SD [31,28%], sementara perempuan di perkotaan sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK [33,36%].
Persentase perempuan yang lulus dari perguruan tinggi di perkotaan adalah sebesar 13,97%, lebih dari dua kali lipat dibanding di pedesaan yang hanya berkisar 6,00%.
Tak hanya itu, perempuan yang tidak memiliki ijazah atau tidak pernah bersekolah formal di pedesaan adalah 19,77%, lebih tinggi dibanding perkotaan 10,26%.
Selain itu, sebanyak 7,35% perempuan usia 15 tahun ke atas di pedesaan yang buta huruf, dua kali lipat dari di perkotaan yang hanya 2,83%.
Mengapa Ini Masih Terus Terjadi?
Dalam pengamatan saya, salah satu hal yang memicu soal ini adalah udaya patriarki yang begitu mengakar, yang memungkinkan laki-laki terus mendominasi. Hal ini menjadi fakta jamak di berbagai daerah di Indonesia.
Selain itu, adalah agama-agama umumnya masih belum menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok kelas dua, sekedar pendamping bagi laki-laki.
Hal ini menyusup dalam pandangan sosiologis, soal posisi dalam rumah.
Untuk membuktikan hal ini tidak perlu survei ilmiah. Lihatlah di kampung-kampung dan dengar apa kata mereka.
Masih ada pikiran-pikiran yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki, sedangkan perempuan cukup lulus SMP atau SMA lalu segera menikah.
Biaya yang dikeluarkan untuk menempuh pendidikan dianggap percuma karena pada akhirnya perempuan belum tentu bekerja dan hanya akan mengurus rumah tangga.
Hal ini berbeda dengan laki-laki yang didorong untuk menempuh pendidikan sebagai bekal untuk bekerja menafkahi keluarga.
Ditambah faktor ekonomi keluarga yang tidak mampu membiayai pendidikan anak, sehingga perempuan harus segera menikah agar tanggungan orang tua semakin kurang.
Pandangan-pandangan dan faktor-faktor ini menyebabkan angka partisipasi pendidikan perempuan masih rendah.
Banyak perempuan, terutama di kampung-kampung tidak menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Mereka hanya lulus SD/SMP, yang penting sudah tahu membaca atau menulis.
Realita ini cukup memprihatinkan, karena perempuan menjadi pendidik pertama dan utama dalam keluarga dan sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam tumbuh kembang anak untuk kemajuan suatu bangsa.
Di sisi lain, sejumlah program beasiswa untuk pendidikan juga belum mampu diakses anak-anak dari keluarga tidak mampu karena berlakunya sistem ada orang dalam, nepotisme dan sebagainya.
Bergerak Bersama
Sejumlah tantangan ini tidak berarti bahwa perempuan-perempuan Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan mengangkat semua tantangan ini ke atas meja, mari kita para perempuan membedahnya satu demi satu, sambil terus menyalakan api daya juang kita masing-masing untuk melahirkan perubahan revolusioner.
Kita memiliki kemampuan untuk itu. Jangan takut!
Kita bisa menimba semangat dari Kartini, yang memiliki keberanian dan kejujuran. Gaungkan dan lantangkan dua hal ini dengan berbagai cara dan di berbagai lini sosial.
Hanya dengan cara demikian, daya revolusioner perempuan Indonesia mampu menerabas badai dan melahirkan perubahan demi perubahan bagi kemaslahatan kemanusiaan.
Sr Herdiana Randut, SSpS adalah Koordinator Puan Floresta Bicara
Editor: Ryan Dagur