Agar Tak Ada Standar Ganda pada Umat yang Butuh Keberpihakan Gereja

Bukan hanya warga Matoloko yang butuh perhatian Gereja Katolik, juga warga Nangahale yang sedang hadapi masalah dengan korporasi milik keuskupan

Oleh: Ryan Dagur

Aksi protes oleh sejumlah lembaga Gereja Katolik di Flores pada 12 Maret untuk mendesak pemerintah mencabut izin proyek geotermal Mataloko patut dicatat sebagai salah satu momen penting yang memecah kebisuan terhadap masalah yang sebetulnya sudah bertahun-tahun terjadi.

Selain warga adat dari Mataloko, para pastor, suster yang bergabung dalam lembaga advokasi Gereja Katolik, seperti Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan [Justice, Peace and Integrity of Creation], mahasiswa dari Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero juga ikut serta dalam aksi itu yang menyasar kantor DPRD dan kantor Bupati Ngada, Raymundus Bena.

Aksi itu merespons munculnya sejumlah masalah di lokasi proyek Mataloko yang saat ini sedang dikerjakan lagi oleh PT Perusahaan Listrik Negara. Salah satunya adalah munculnya semburan lumpur baru di lahan-lahan warga.

Masalah terkait proyek ini sebetulnya sudah muncul sejak dikerjakan lebih dari dua dekade silam dan mulai makin parah pada 2006, yang berdampak pada lebih dari 900 hektare lahan sekitar, seperti klaim Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores [ALTER KGF].

Dengan aksi protes yang baru muncul sekarang, rasanya memang kepedulian institusional Gereja Katolik di Flores ini terlambat.

Namun, terlepas dari itu, aksi itu memberi pesan penting bahwa seruan warga yang sudah lama meminta perhatian akhirnya terdengar dan menembusi jendela biara-biara dan kampus.

Gereja telah menunjukkan keberpihakan pada mereka yang menderita, pada mereka yang berseru-seru meminta pertolongan, solidaritas.

Kebangkitan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap tegas Uskup Agung Ende, Paulus Budi Kleden yang pada awal Januari menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal di Mataloko dan di Sokoria, Kabupaten Ende.

Sikap itu dirumuskan setelah ada kajian terhadap situasi di lingkar proyek yang melibatkan para imamnya.

Langkah Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Ende memilih menyiarkan secara langsung di akun Facebook mereka aksi unjuk rasa pada 12 Maret juga menarik, hal yang jarang, juga mungkin tidak akan dilakukan oleh keuskupan lain.

Apalagi, sebelumnya, akun itu juga mempublikasi beberapa video ajakan Uskup Kleden menyambut Prapaskah untuk peduli lingkungan dengan latar belakang video semburan lumpur di lokasi proyek geotermal Mataloko.

Sebagai umat Katolik yang selalu yakin bahwa penting bagi Gereja untuk bersuara profetis dan menjalankan apa yang diajarkan soal keberpihakan pada mereka yang menjadi korban, ada rasa bangga melihat perkembangan terbaru ini.

Namun, serentak di tengah perlawanan yang kencang terhadap geotermal ini, pikiran saya tertuju pada satu hal: warga adat Nangahale di Maumere, Kabupaten Sikka, yang bersebelahan dengan Keuskupan Agung Ende.

Saat para pastor suster dan aktivis itu datang ke Ngada pada 12 Maret, di tempat mereka tinggal di Maumere sedang berlangsung sidang atas delapan warga adat Nangahale yang dilaporkan oleh pimpinan PT Kristus Raja Maumere [PT Krisrama], korporasi milik Keuskupan Maumere.

Sehari setelah aksi unjuk rasa itu, ada agenda pembacaan tanggapan jaksa atas pledoi para terdakwa yang sejak Oktober tahun lalu ditahan karena perusakan papan nama PT Krisrama.

Mereka dilapor oleh Romo Robertus Yan Faroka, Pr, direktur pelaksana PT Krisrama yang merekam aksi perusakan itu dan menjadikannya sebagai bukti ke polisi.

Versi warga, perusakan plang merupakan reaksi atas perusakan tanaman mereka pada hari yang sama oleh perusahaan di lahan yang telah menjadi konflik selama berdekade.

Mereka kini menghadapi ancaman hukuman setelah dituntut jaksa tujuh bulan penjara. Vonis akan dibacakan pada 17 Maret.

Bagi Anda yang mungkin tidak mengikuti kasus ini, di tengah proses hukum delapan warga itu, ada peristiwa penting pada 22 Januari yang memicu perhatian luas; penggusuran terhadap 120 rumah dan tanaman warga, yang dalam bahasa PT Krisrama sebagai ‘pembersihan.

Seorang kawan di Maumere yang mengikuti perkembangan situasi pascapenggusuran memberitahu bahwa warga kini hidup dengan fasilitas yang terbatas di tenda-tenda yang memanfaatkan seng bekas penggusuran sebagai atap, tanpa penerangan dan sanitasi yang baik. Anak-anak juga hidup dalam kondisi yang serba kekurangan. Sementara itu, Ibu Magdalena Marta, salah satu dari terdakwa kasus perusakan plang mendapat kabar ibunya meninggal pada hari pembacaan pledoi. Ia tidak bisa melayat karena masih menjadi tahanan.

Satu kasus lain penting dicatat. Beberapa hari setelah penggusuran pada 25 Januari, Cece Geliting, umat Katolik transpuan dilapor ke polisi oleh Forum Pemuda Katolik Bersatu Sikka karena mengkritik langkah PT Krisrama saat penggusuran. Langkahnya mengunggah gambar pakaian menyerupai jubah tokoh agama dengan kepala potongan eksavator dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap umat Katolik.

Polres Sikka sedang menangani kasus ini dan memeriksa sejumlah saksi. Ia dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kontroversial dan telah lama dikritik oleh lembaga hak asasi manusia sebagai alat yang sering dipakai untuk membungkam suara-suara kritis.

Dari pernyataan orang-orang Gereja, meski ada beberapa yang mempertanyakan langkah PT Krisrama dan tidak setuju dengannya, tidak kurang mereka yang membenarkan penggusuran, juga pelaporan terhadap warga yang merusak plang dan Cece Geliting. Semua itu dibela sebagai cara untuk menegakkan hukum.

Jelas bahwa ada soal hukum di sini, yang untuk mengurainya butuh analisis soal sah tidaknya penggusuran itu dan apakah klaim warga yang menduduki lahan punya basis yang kuat, yang mereka rujuk pada sejarah perampasan saat periode penjajahan Belanda.

Namun, karena ini lembaga Gereja Katolik, apalagi memakai kata Kristus pada nama perusahaannya, permintaan pertanggungjawaban dengan standar etika dan moral yang lebih tinggi, adalah sesuatu yang sudah seharusnya.

Pertimbangan untuk peduli pada situasi penderitaan umat tidak bisa dipisahkan dari Gereja, karena kepedulian itu punya dasar yang jelas pada inti ajaran sosial yang termaktub dalam banyak dokumen.

Warga Mataloko dan Nangahale sama-sama menderita, masing-masing karena laku korporasi dan mitra pendukungnya. Di Mataloko pelakunya adalah korporasi milik negara, di Nangahale adalah korporasi Gereja Katolik, yang dipimpin para imam dan uskup.

Dalam konteks relasi kuasa, keduanya sama-sama berada pada posisi yang paling rentan, lemah.

Sehari setelah rumah mereka digusur oleh PT Kristus Raja Maumere, warga Suku Soge Natarmage bergotong royong membangun tenda darurat di Pedan, Desa Nangahale. (Dokumentasi Floresa)

Karena itu, saya membayangkan bahwa ada kepedulian juga untuk Nangahale, seperti halnya terhadap warga Mataloko.

Mungkin caranya tidak harus dengan berdemo ke PT Krisrama, tapi dengan cara lain yang seringkali dianggap lebih kristiani – duduk bersama, dialog, cari solusi yang bermartabat atas konflik lahan itu.

Dalam surat Komisi JPIC SVD ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 8 Maret yang meminta pencabutan izin proyek geotermal di Flores, di bagian akhirnya ada kutipan dari dokumen Gaudium et Spes 1 bahwa duka dan kecemasan umat adalah duka dan keemasan Gereja. Hal itulah yang membuat lembaga tersebut mengambil sikap terhadap proyek geotermal ini.

Duka dan kecemasan itu juga sejatinya juga sedang dialami warga di Nangahale. 

Karena itu, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan oleh lembaga Gereja Katolik di Flores, terutama Keuskupan Maumere, terhadap persoalan ini.

Pertama, jika memang tidak bisa menghentikan proses hukum warga yang merusak papan nama PT Krisrama yang kini sudah sampai pada tahap akhir proses di pengadilan, Gereja harus mencari solusi yang bermartabat untuk menuntaskan konflik itu.

Cara-cara penggusuran dan menyeret umat ke pengadilan sebaiknya cukup sampai di sini.

Kedua, otoritas Gereja bisa berupaya menghentikan kasus yang menyeret umatnya sendiri, Cece Geliting.

Saya sebetulnya mengharapkan ada orang Gereja yang mendekati Forum Pemuda Katolik Sikka Bersatu untuk mencabut laporan atau meminta polisi tidak menindaklanjuti laporan.

Gereja seharusnya merasa membutuhkan umat Katolik seperti Cece yang sudah memilih berani mengingatkan Gereja saat mengambil langkah yang berseberangan dengan apa yang selalu diajarkan. Sikap seperti ini tidak ada pada banyak orang.

Tahun Kalender Liturgi Gereja sedang memasuki Masa Prapaskah dan Paus Fransiskus telah mencanangkan Tahun Yubileum ini sebagai Peziarah Harapan, di mana Gereja membuka pintu untuk pengampunan, juga tentu saja pembaruan.

Semoga Roh Kudus juga ikut berhembus ke dalam hati orang-orang Gereja yang mungkin masih memilih untuk tega membiarkan, bahkan mungkin bersyukur, jika umatnya meringkuk di penjara.

Seharusnya tidak ada standar ganda soal keberpihakan para mereka yang rentan, tidak berdaya, apalagi jika itu adalah umat Katolik sendiri.

Ryan Dagur adalah editor Floresa

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya