Oleh: Melky Nahar
Proyek geotermal kini menjelma menjadi simbol dari bagaimana logika transisi energi dapat mewarisi, bahkan memperkuat cara kerja kekuasaan yang eksploitatif.
Di balik narasi hijau dan keberlanjutan, terbentang jejaring aktor dan praktik yang menyusun ulang skema dominasi atas ruang hidup rakyat.
Di Flores, kita melihat dengan terang: negara memberi izin, aparat menjadi tameng kekerasan, akademisi menyodorkan legitimasi pengetahuan, dan industri mengambil keuntungan—semuanya atas nama upaya mengatasi dampak perubahan iklim.
Pekan-pekan terakhir memperlihatkan kolaborasi ini bekerja dalam ritme yang sistematis.
Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena menginisiasi pertemuan terbatas di Kupang bersama PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN), pemilik proyek, dan para bupati dari sejumlah kabupaten di Flores, sebuah forum yang ditengarai dirancang untuk tetap menjalankan proyek, mengabaikan suara warga terdampak.
Pada 2 Mei, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menyampaikan klaim bahwa “90 persen masyarakat Flores mendukung proyek geotermal.”
Klaim serupa juga segera diulang oleh akademisi dari Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung dalam forum publik di Kupang, hal yang menguatkan kesan bahwa proyek ini sudah mendapatkan restu sosial.
Padahal, realitas di lapangan berbicara sebaliknya. Gelombang penolakan terus meluas, intimidasi meningkat dan kriminalisasi berjalan.
Tak hanya itu, bukti-bukti dari wilayah lain di Indonesia menunjukkan bahwa proyek geotermal bukan sekadar proyek infrastruktur—melainkan sistem produksi bahaya, bahkan kematian.
Antara Ledakan, Racun, dan Kelalaian Sistemik
Mengapa klaim surga dari proyek-proyek ini penting untuk selalu dipertanyakan?
Kita cukup merujuk pada beberapa contoh berikut, yang dengan terang menunjukkan adanya bahaya, yang sayangnya diabaikan dalam setiap narasi pemerintah, korporasi dan akademisi.
Pada 25 Januari 2021, lima warga Desa Sibanggor Julu, Mandailing Natal, Sumatera Utara tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat keracunan gas beracun dari sumur panas bumi milik PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP). Rumah mereka hanya berjarak ratusan meter dari lokasi pengeboran.
Namun tragedi ini bukan yang pertama. Pada September 2022, kebocoran gas H2S kembali terjadi di lokasi yang sama, membuat belasan warga harus dilarikan ke rumah sakit.
Bahaya serupa juga terjadi di proyek geotermal lain, seperti di Dieng, Jawa Tengah dan di Sarulla, Tapanuli yang terus mengalami kerusakan teknis dan sosial.
Di Dieng, emisi gas beracun menyebabkan warga kerap mengalami pusing, mual, gangguan pernapasan, hingga peningkatan kasus kanker.
Pada Maret 2022, seorang pekerja tewas dan delapan lainnya dirawat akibat kebocoran gas dari sumur PAD28 milik PT Geo Dipa Energy yang mengerjakan proyek itu.
Penolakan warga atas proyek ini tak hanya diabaikan, tapi juga dibalas dengan kekerasan oleh aparat dan pekerja perusahaan.
Di Sarulla, warga Desa Pahae Julu dan Pahae Jae menghadapi pencemaran air, kerusakan lingkungan, dan gangguan kesehatan yang terus-menerus disangkal oleh perusahaan.
Pada Desember 2006, gas kembali bocor dari proyek PLTP Sarulla, disusul rangkaian ledakan yang membuat warga ketakutan.
Ledakan serupa pada Maret 2019 juga menewaskan seorang pekerja dan melukai lainnya.
Ketika mereka memprotes, negara kembali berpihak pada korporasi. Aksi damai warga Pahae Jae pada Oktober 2022 dibalas dengan penangkapan massal. Polres Tapanuli Utara menahan 37 orang hanya karena mereka mempertanyakan keselamatan hidup.
Kisah tragis lainnya datang dari Kampung Cibitung di Pangalengan, Jawa Barat, yang lenyap dalam sekejap.
Eneng, salah satu penyintas, mengenang suara ledakan keras yang belakangan diketahui berasal dari pipa panas bumi milik PLTP Wayang Windu yang meledak akibat longsor. Hingga kini, Eneng masih trauma. “Apalagi kalau ada gempa kecil, suka takut, gemetar,” tuturnya.
Setelah kampung mereka hancur, Eneng dan keluarga harus berpindah-pindah, tinggal di aula desa, menumpang di rumah saudara, hingga akhirnya mampu membeli sepetak tanah dan membangun rumah sendiri.
Di Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores, proyek geotermal bahkan sejak awal menunjukkan tanda-tanda kehancuran.
Alih-alih menghasilkan listrik, pengeboran awal justru memicu semburan lumpur panas yang tak pernah berhenti hingga kini. Sawah-sawah terendam, tanah ambles, air tercemar, dan penyakit-penyakit baru bermunculan.
Hal serupa juga terjadi di Sokoria, Kabupaten Ende. Selain mata air di dekat lokasi proyek yang tercemar, proses pengadaan tanah oleh PT Sokoria Geothermal Indonesia juga sarat manipulasi, dengan dugaan pelibatan tentara untuk menekan tokoh adat atau mosalaki agar menyerahkan lahan.
Terhadap semua ini, pemerintah maupun korporasi menolak mengakuinya sebagai soal, sebagai kegagalan industri, justru mengalihkannya menjadi “bencana alam.”
Semua kisah ini menegaskan satu hal: proyek geotermal tidak bebas risiko. Ia bukan sekadar cerita tentang uap dan listrik, tapi juga tentang racun, ledakan, hilangnya kampung dan trauma kolektif.
Ia adalah eksploitasi energi berisiko tinggi terhadap keselamatan manusia dan keseimbangan ekologis.
Tragisnya, lagi-lagi, semua ini terus disamarkan oleh negara dan akademisi lewat narasi “energi bersih” yang diulang seperti mantra, tanpa pernah benar-benar mendengar suara dari mereka yang terdampak langsung.
Legitimasi Akademik: Pengetahuan yang Dikerangkeng Kepentingan
Karena itu, ketika dalam rangka mendukung proyek-proyek di Flores, para akademisi dari UGM dan ITB berbicara tentang “dukungan masyarakat,” “kearifan lokal,” dan “geotermal sebagai energi masa depan,” mereka tidak sedang membela kebenaran, melainkan mengafirmasi proyek-proyek yang sejak awal penuh masalah.
Ini bukan sekadar kekeliruan, melainkan bagian dari pola historis keterlibatan perguruan tinggi dalam menopang proyek pembangunan skala besar yang merusak.
ITB, misalnya, kerap menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan industri ekstraktif. Dua di antaranya adalah Star Energy geotermal (Wayang Windu) Ltd—yang proyeknya memicu hilangnya kampung warga di Pangalengan—dan Chevron geotermal Salak, Ltd.
Kasus lain yang mengemuka adalah keterlibatan akademisi UGM dalam studi lingkungan untuk pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang. Proyek itu ditentang keras oleh para petani Kendeng yang datang langsung ke kampus untuk memprotes. Mereka menilai UGM telah menjadi “stempel akademik” yang membenarkan perampasan tanah.
Protes itu bukan soal metodologi semata, tapi menyentuh inti etika akademik: mengapa pengetahuan ilmiah dipakai untuk menutupi konflik dan melegitimasi ketidakadilan?
Jejak pelibatan kampus dan akademisi dalam melegitimasi proyek-proyek ini, juga terjadi di Flores.
Dalam kasus proyek geotermal Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat, pemerintah dan perusahaan pernah melibatkan Yando Zakaria, antropolog dari UGM yang mengaku hadir sebagai utusan dari Kantor Staf Presiden dan mengklaim “ditugaskan untuk menyelesaikan persoalan penolakan.”
Di Poco Leok, Lembaga Afiliasi Peneliti dan Industri di ITB juga dilibatkan dalam riset soal dampak PLTP Ulumbu yang kemudian menyimpulkan hasil kajian yang berbeda dengan pengakuan warga.
Dalam riset pada 2022 itu yang kemudian dipakai PT PLN dalam acara-acara sosialisasi, ITB juga melibatkan salah satu dosen dari Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng – kendati kemudian kampus itu membantah bahwa keterlibatan dosen itu atas sepengetahuan mereka.
Cara kerja seperti ini menegaskan bahwa pengetahuan yang seharusnya bersifat kritis dan berpihak pada keadilan, justru dijadikan alat persuasi dan pembungkaman.
Ketika kampus-kampus seperti UGM dan ITB mendukung proyek geotermal yang telah menimbulkan konflik sosial dan ancaman ekologis, tanpa mengungkap secara terbuka metodologi, data, maupun proses konsultasi publik yang valid, mereka sedang memperkuat regime of knowledge—struktur produksi pengetahuan yang melayani negara dan pasar, alih-alih keberpihakan pada rakyat.
Kolaborasi ini menunjukkan bahwa relasi kampus dan korporasi tidak netral, melainkan saling mengukuhkan kepentingan. Jelas bahwa di sini akademisi tidak hadir sebagai pendengar atau pembela warga, tetapi sebagai bagian dari mesin promosi proyek.
Inilah bentuk baru kolonialisme pengetahuan—di mana narasi keberlanjutan dibentuk dari balik meja institusi, jauh dari denyut kehidupan dan penderitaan di lokasi konflik.
Kekuasaan Ekstraktif: Dari Izin hingga Represi
Ekstraktivisme geotermal di Flores menunjukkan bahwa yang diperebutkan bukan hanya panas bumi, tetapi juga ruang sosial, politik dan epistemik.
Negara memberi izin tanpa partisipasi sejati; aparat menindas atas nama ketertiban; kampus memberi stempel ilmiah untuk memperkuat legitimasi; dan korporasi tinggal masuk dengan modal dan alat berat.
Di Poco Leok, intimidasi terhadap warga berlangsung sejak 2022. Penutupan jalan oleh warga dibalas dengan pengerahan polisi dan tentara.
Di Wae Sano, warga mengalami tekanan untuk menyetujui proyek Bank Dunia, hingga akhirnya proyek dibatalkan setelah Inspection Panel menemukan pelanggaran berat.
Di Sokoria dan Mataloko, pertanyaan kritis tentang pencemaran air dan risiko kesehatan dibungkam dengan retorika “kebodohan” dan “penolakan kemajuan.”
Pendekatan semacam ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari ekosistem kekerasan yang menopang ekstraktivisme.
Kekuasaan bekerja tidak hanya dengan senjata dan undang-undang, tetapi juga dengan statistik yang dimanipulasi, riset yang bias, dan narasi dari media-media yang diduga dibayar.
Bukan Transisi, Tapi Alih Kekuasaan
Proyek geotermal, dalam banyak hal, bukan tentang transisi dari energi kotor ke energi bersih, melainkan tentang alih bentuk penguasaan dari satu bentuk kapitalisme ke bentuk lainnya; dari batu bara ke geotermal, dari minyak ke nikel, dari eksploitasi tenaga kerja ke eksploitasi legitimasi sosial.
Listrik dari geotermal di Flores tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin, tetapi untuk menopang pertumbuhan kawasan industri dan pariwisata eksklusif, bahkan bisa interkoneksi Jawa Bali-Nusa Tenggara.
PLTP berdiri di tengah kampung, tapi rumah-rumah warga masih dalam gelap. Ini adalah transisi tanpa transformasi, perubahan bentuk tanpa perubahan arah.
Narasi “transisi energi” yang diusung pemerintah dan akademisi gagal menjawab pertanyaan paling mendasar: energi untuk siapa? Siapa yang berhak menentukan bentuk dan arah pembangunan? Dan siapa yang harus menanggung beban dari risiko dan kerusakan?
Penolakan warga Flores bukan lahir dari ketakutan buta atau ketidaktahuan teknologi. Ia lahir dari pengalaman panjang menjaga air, hutan, dan tanah. Ia tumbuh dari kesadaran kolektif bahwa tanah adalah ibu, bukan komoditas.
Ketika negara dan kampus tak mampu menghormati nilai-nilai ini, maka yang dilukai bukan hanya hak, tetapi harga diri.
Maka, membicarakan keadilan energi tanpa mendengar warga adalah bentuk kekerasan.
Mengutip Paulo Freire, “mereka yang bicara tentang revolusi tapi gagal mendengarkan rakyat, sedang membuat monumen bagi dirinya sendiri.”
Dalam konfigurasi seperti ini, kasus Flores sesungguhnya bukan penyimpangan. Ia adalah gejala dari cara kerja ekstraktivisme baru yang memakai wajah hijau untuk menyembunyikan luka lama.
Ia memperlihatkan bahwa perubahan iklim bisa menjadi justifikasi baru bagi kolonialisme domestik—di mana pulau-pulau dijadikan ladang energi, dan rakyat dijadikan objek pembangunan yang tak pernah mereka minta.
Dengan demikian, Flores hari ini, bukan hanya pulau di pinggir peta. Tapi telah menjadi panggung utama dari pertarungan masa depan kita: apakah kita ingin masa depan yang adil, atau masa depan yang hijau di atas kuburan?
Melky Nahar adalah Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang
Editor: Ryan Dagur