Floresa.co – Meski sempat sesumbar tidak akan mengambil langkah mundur dalam kasus pencemaran nama baik yang dilapor oleh Dwi Jaya, pemilik CV Wijaya Mandiri, namun, Jefry Teping, Kepala Seksi Bangunan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Manggarai pada akhirnya memilih jalan damai.
Pada hari ini, Sabtu (20/6/2015), mereka bertemu di Kantor Bupati Manggarai, Christian Rotok.
Sebelumnya, pada awal bulaN ini, Dwi melapor Jefry yang juga pemilik akun Arka Dewa karena menulis status dan mengunggah gambar di Facebook yang mengungkap sejumlah kejanggalan dalam pembangunan ruko CV Wijaya Mandiri yang beralamat di Jalan Ranaka/Samping STM, Kelurahan Carep, Kecamatan Langke Rembong.
Dalam gambar yang diposting tersebut Jefry menyebut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) empat buah ruko tersebut ilegal.
Atas postingan itu, pihak Dwi menuding Jefry telah melakukan pencemaran nama baik karena dinilai telah melanggar pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman penjara maksimal 6 tahun dan denda satu miliar rupiah.
Pada hari ini, keduanya sepakat untuk berdamai.
BACA JUGA: Syarat Perdamaian: Dwi Cabut Laporan, Jefry Bayar Rp 5 Juta dan ‘Ela Wase Lima’
Peristiwa hari ini merupakan tindak lanjut darI upaya Jefry yang pada Sabtu pekan lalu mendatangi Wakil Bupati Kamelus Deno Kamelus meminta untuk menjadi mediator.
Jefry saat itu didampingi Romo Marten Jenarut Pr, Yani Rewos dan Yance Janggat.
Mengambil jalan untuk berdamai, bahkan menjadi pihak yang menginisiasi proses damai itu sesungguhnya sangat paradoks dengan pernyaaan Jefry ketika kasusnya mencuat.
Saat berbincang dengan Floresa.co, Rabu (5/6/2015), Jefry dengan tegas mengatakan, ia tidak akan takut, karena yakin, yang ia perjuangkan adalah kebenaran.
“Saya rela meletakkan jabatan karena kasus ini. Masuk penjara sekalipun saya bersedia, jika memang saya salah. Saya yakin, saya memperjuangkan kebenaran, karena itu saya tidak akan mundur,” katanya.
Jefry mengatakan, dirinya sangat yakin, itu bukan fitnah, tapi fakta, kebenaran yang tidak bisa ia tutup-tutupi.
Ia mengakui, IMB yang didapat CV Wijaya Mandiri memang tidak sesuai prosedur dan melabrak aturan yang ada.
Jefry menjelaskan, prosedur penerbitan IMB sudah diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Selain itu, kata dia, rujukan lain sudah diatur dalam Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
Dalam aturan tersebut, demikian Jefry, penerbitan IMB oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) harus mendapatkan rekomendasi dari instasi teknis, yang dalam hal ini merupakan kewenangannya di Dinas PU.
Namun, IMB yang dikeluarkan KPPTSP dengan Nomor 503/KPPTSP/026/IMB/IV/ 2015 pada 4 April 2015 tanpa pengesahan gambar rencana yang disahkan oleh Dinas PU.
Selain itu, bangunan ruko itu melanggar peraturan tentang garis sempadan bangunan (GSB). Aturan GSB pada kelas jalan negara/nasional adalah 20 meter diukur dari as jalan. Akan tetapi hasil survei lapangan menunjukkan bangunan tersebut hanya berjarak 14 meter dari as jalan raya Trans Flores.
Jefry mengaku bingung bagaimana bisa IMB ruko itu terbit, padahal melanggar sejumlah ketentuan itu.
Sejak awal, ia sendiri, karena sadar ada sejumlah aturan yang dilanggar, memilih tidak menandatangani pengesahan gambar rencana ruko itu.
Dengan mengangkat masalah ini, dirinya ingin merombak birokrasi dari dalam, dengan mengingatkan sesama birokrat untuk menaati aturan yang telah ditetapkan.
“Untuk apa kita memiliki undang-undang dan Perda, kalau kemudian itu tidak diaati. Apalagi dalam kasus ini, pelanggarannya jelas, tapi kok malah dibiarkan,” kata Jefry.
Ia menegaskan, pilihannya mengungkap masalah ini ke media sosial, karena bingung mau bicara ke siapa lagi. (Ardy Abba/Satria/Petrus D/ARL)