Di Manggarai, Guru Juara Satu Pelaku Kekerasan Terhadap Anak

Anak sekolah di Manggarai (Foto: Ist)
Anak sekolah di Manggarai (Foto: Ist)

Ruteng, Floresa.co – Di sekolah-sekolah di Manggarai, para guru masih senang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik murid mereka.

Hal itu terungkap dari hasil penelitian oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STKIP St. Paulus Ruteng yang dirilis dalam sebuah diskusi di Ruteng pekan lalu.

Penelitian itu menemukan bahwa dari 674 responden, dalam rentang usia 20 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar di berbagai kecamatan di Manggarai, 16,4 persen mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah oleh guru.

Fransiska Widyawati, Ketua LPPM STKIP Ruteng mengatakan, ini menunjukkan bahwa hingga kini sekolah-sekolah di Manggarai belum menjadi tempat aman bagi anak dalam mengais ilmu.

Sementara di posisi kedua pelaku kekerasan adalah orangtua, yakni 10,3 persen, diikuti teman pergaulan anak-anak 2,7 persen.

Penelitian ini dirilis dalam seminar pada Selasa (23/6/2015) yang diadakan oleh LPPM STKIP, bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI). Seminar ini diikuti oleh LSM yang tersebar di Manggarai, aparat kepolisian, kejaksaan, dinas-dinas terkait, biarawan/ti, mahasiswa/i dan masyarakat umum.

Fransiska mengatakan, akibat tindak kekerasan itu, anak yang mengalami cedera fisik mencapai 4,05 persen di sekolah, 2,37 persen di rumah dan 1,48 persen di lingkungan tempat tinggal mereka.

Penelitian itu menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi karena rendahnya latar belakang pendidikan orang tua, kurangnya persiapan orangtua saat kehamilan dan pasca kelahiran, perkembangan teknologi yang tidak diawasi peruntukannya oleh orang tua, masalah dalam keluarga yang menyebabkan perceraian sehingga anak dibiarkan terlantar serta pengaruh adat yang kental dan salah dimengerti.

Rita Pranawati dari KPAI mengatakan, kekerasan terhadap anak juga dipicu karena anak selalu dijadikan obyek dan properti orang dewasa.

Ia juga menambahakan, norma perlindungan anak dan hak anak belum dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan berkeluarga.

Rita menegaskan, prinsip perlindungan dan pola asuh anak harus bersifat non diskriminatif, kepentingan anak terpenuhi, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan terpenuhi, serta bersedia mendengar pendapat anak.

Ia juga mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak Indonesia umumnya merupakan bentuk kekerasan secara fisik, sosial, psikologi dan seksual.

Dari hasil penelitian mereka, saat ini sekitar puluhan ribu anak telantar selama rentang tahun 2011-2015. Anak-anak ini mengalami kekerasan secara fisik, sosial, psikologi dan seksual.

Hasil seminar pekan lalu itu yang juga disertai dengan Focus Group Discussion (FGD) menyimpulkan bahwa Manggarai masih rawan terhadap perilaku kekerasan terhadap anak.

Hal ini juga yang memicu banyaknya kasus perdagangan manusia atau human trafficking.

Pemerintah, LSM, dan masyarakat umum pun diimbau agar memperhatikan pemenuhan kebutuhan anak-anak. (Tian Mbui/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA