SASTRACERPENLelaki yang Mencuri Malam di Cepi Watu

Lelaki yang Mencuri Malam di Cepi Watu

Ketiga gadis kita melihat pada lelaki itu. Barangkali mereka rindu menyeduh kopi untuk kekasihnya yang entah dimana. Bukankah kopi ternikmat di jagat ini adalah kopi bikinan para kekasih? Yah, kopi bikinan pacar sendiri. Sekaligus gadis-gadis itu ingat pada jemarinya. Jemari yang tiap malam membuka botol bir dan menyuguhkannya untuk lelaki yang mengusir sepi dan menepis galau di tepian ini. Sesekali jemari itu mengusap wajah lelaki yang tak dikenal tetapi begitu haus belaian. Dasar jablai.

Ingin rasanya menyeduh kopi untuk lelaki itu. Menyesapnya dari tempurung yang sama sambil dua pasang mata memandang sunset. Namun lelaki itu hanya asyik dengan tempurung kopinya. Tak dihiraukannya tiga gadis kita. Tak ada suit-suitan. Ini lelaki yang lain dari laki-laki yang pernah dijumpai ketiga gadis kita di tepian itu. Lelaki itu bikin penasaran saja.

Lama mereka menatapnya hingga perut keroncongan. Isyarat lirih di antara desau ombak dan gaduh musik yang tak pernah jeda  sejak dibuka beberapa menit lalu. Tak mudah mengabaikan isyarat selirih itu. Gadis-gadis itu lapar. Mereka segera meninggalkan pantai dengan hati berpaut pada lelaki itu.

Hmmm ada saatnya mereka bosan dengan laki-laki anonim yang datang saban malam. Lelaki yang tak pernah membangkitkan rasa rindu. Lelaki yang mereknya sama saja. Menenggak alkohol, rokok, menggoda cewek, dan pulang jelang subuh. Lelaki yang tak membuat penasaran karena tingkahnya enteng ditebak.

Gelegar musik terus memamerkan koleksi lagu terbaik. Goyang dumang didengarkan berkali-kali. Belum juga ada pengunjung. Lampu remang-remang terus saja berkedip. Belum ada wajah tamu yang betah ditingkah cahaya remang-remang. Di sini orang menjadi tidak tahan cahaya. Di luar, gelap belum benar-benar turun.

Penghuni pub mulai santap sambil menunggu datangnya malam. Sulit menyebut ini makan malam. Mereka membincang hari yang aneh. Hari ketika senja menggantung. Malam tak juga benar-benar sempurna. Siang seperti enggan berlalu. Sinar jingga keemas-emasan menggantung di langit dan berkilau memantul pada permukaan laut.

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA