Seminar STFK Ledalero: Gereja Perlu Melayani Penderita HIV/AIDS

Maumere, Floresa.co – Dalam rangka menyongsong Wisuda Sarjana dan Pascasarjana pada akhir bulan ini, civitas akademika Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero-Maumere, Sikka-Flores mengadakan seminar nasional tentangHIV/ADIS pada Sabtu, 23 April 2016.

Seminar dengan tema, “HIV dan AIDS: Perspektif Medis dan Biblis” itu digelar di Aula Thomas Aquinas Ledalero. Para pembicara antara lain mantan Menteri Kesegatan Nafsiah Mboy, Pastor Lukas Jua SVD dengan moderator Pastor Yosef Keladu Koten SVD.

Hadir dalam seminar ini, Ketua STFK Ledalero, Pastor Bernard Raho SVD; Sekretaris KPH Provinsi NTT, dr. Hussein; sesepuh Sikka yang juga mantan bupati Sikka Dan Woda Palle; Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Pastor Kletus Hekong SVD; pimpinan konvik, para dosen, utusan dari Dinkes Sikka, para aktivis LSM, utusan mahasiswa dari Universitas Nusa Nipa dan segenap civitas akademika STFK Ledalero.

Pastor Bernard Raho SVD dalam sambutan pembua seminar ini mengatakan, HIV/AIDS merupakan masalah aktual yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Dalam konteks Indonesia, jelasnya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati rangking 17 jumlah penderita HIV/ADIS, di mana Kabupaten Sikka menempati peringkat ketiga di NTT.

Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa masyarakat Sikka pada khususnya dihadapkan dengan persolan yang sangat aktual.

Ia menambahkan, sebagai lembaga akademi ilmiah, STFK Ledalero mempunyai tanggung jawab untuk bersinergi dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi persolan ini.

“Berbagai stigmatisasi terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi kelompok ini. Penderitaan tersebut dialami baik secara fisik, psikis maupun sosial,” kata dosen sosiologi STFK ini.

ODHA juga, kata dia, mengalami penderitaan spiritual karena dianggap sebagai orang berdosa.

“Oleh karena itu, mereka diperlakukan seperti orang Yahudi pada zaman dahulu yang memperlakukan sesamanya yang menderita kusta.”

Sementara itu, Nafsiah Mboi, yang merupakan narasumber utama dalam seminar ini berterima kasih kepada STFK Ledalero yang telah berusaha melihat penyakit ini sebagai masalah aktual yang dihadapi negeri ini.

Dalam makalahnya yang berjudul “HIV dan AIDS di Indonesia, Apa Peran Tokoh Agama?”,  istri mantan Gubernur NTT, Ben Mboi ini menjelaskan, virus menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi.

Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun. HIV juga merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya.

Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.

Sistem kekebalan dianggap defisien, kata dia, ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-penyakit.

“Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan,” jelasnya.

“Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai ‘infeksi oportunistik karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah.

Sementara AIDS, kata dia, yang merupakan singkatan dari “Acquired Immunodeficiency Syndrome” atau“Acquired Immune Deficiency Syndrome” yang menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh.

“Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS. AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah tahap lanjutan dari infeksi virus HIV,” jelasnya.

Mantan Sekretaris Komisi Penanggulan AIDS pusat ini menambahkan, penularan virus HIV dapat terjadi melalui darah, air mani, hubungan seksual atau cairan vagina.

“AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker,” kata dia.

Stadium AIDS, demikian Nafsiah, membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali, mengatasi serbuan infeksi penyakit lain karena sistem kekebalan tubuhnya menurun terus secara dratis.

Lulusan fakultas kedokteran Universitas Indonesia tahun 1964 ini mengatakan AIDS bukan merupakan penyakit keturunan.

“Ia hampir sama dengan kusta, tidak mudah menular karena terbatas tetapi sekali ketularan untuk selamanya menularkan. Oleh karena itu, ODHA tidak perlu dikarantinakan dan distigmatisasi secara negatif tetapi seharusnya tetap diperlakukan sebagai manusia seperti kita semua yang lainnya,” kata dia.

Sebagai bagian dari tindakan pencegahan terhadap penyakit ini, kata dia, beberapa hal penting adalah puasa hubungan seks sebelum nikah, saling setia pada pasangan, menggunakan kondom secara konsisten dan benar serta menambah pendidikan dan pelatihan.

Peran Tokoh Agama

Nafsiah mengatakan, untuk mencegah penyebarluasan penyakit ini, tokoh agama mesti mengambil peran membantu para tenaga medis. Mereka juga bisa mengambil peran member kekuatan moral dan spitual serta merangkul kaum ODHA/

“Tokoh agama harus membantu mencegah penularan baru HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA dan mengurangi dampak sosial-ekonomi HIV/AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat”.

Karena itu, kata dia, tokoh agama perlu mengetahui HIV/AIDS serta dampak penyakit ini.

“Mencegah dan menghilangkan berbagai stigma dan diskriminasi dengan memanfaatkan kasih sayang sebagai dasar setiap agama. Membantu dalam konseling, pengobatan dan perawatan ODHA. Menggalang masyarakat untuk membantu keluarga terdampak seperti janda, yatim-piatu, ODHA pecandu yang dibuang keluarganya. Tokoh agama juga perlu mendukung program pemerintah dalam menanggulangi berbagai persoalan HIV dan AIDS,” kata Nafsiah.

Sementara itu, Pastor Lukas Jua SVD menyoroti masalah stigmatisasi masyarkat terhadap kaum ODHA.

“Bahkan penderitaan karena stigmatisasi jauh lebih berat dari pada karena penyakit itu sendiri, karena virus itu bisa dikendalikan dengan obat-obatan modern.

Dalam makalahnya yang berjudul “Perjuangan Melawan Stigmatisasi Terhadap Orang dengan HIV dan AIDS”, doktor Kitab Suci jebolan Universitas Gregoriana Roma ini mengatakan stigmatisasi dimengerti sebagai suatu penilaian moral bahwa ODHA telah melakukan dosa berat.

Padahal, kata dia, stigma yang berasal dari kata Yunani memiliki konotasi yang positif, terutama dalam konteks religius. Misalnya St. Paulus menggunakannya untuk melihat karya Yesus di dalam dirinya.

“Jadi, sebetulnya jika dianalisis secara mendalam, masalah stigmatisasi terhadap ODHA disebabkan oleh ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan yang memadai tentang HIV dan AIDS, baik dari segi medis maupun dari segi teologis”, kata dosen Kitab Suci pada STFK  Ledalero ini.

Lebih lanjut, wakil Provinsial SVD Ende ini mengatakan “ketidaktahuan tentang seluk beluk HIV dan AIDS serta penularannya membuat masyarakat enggan bergaul dengan ODHA karena takut kejangkitan dan ketakutan itu seringkali berlebihan. Akibatnya, ODHA diisolasikan dari masyarakat, bahkan dari keluarganya sendiri”.

Dari segi iman, “kurangnya pemahaman tentang ajaran iman Kristiani terutama injil-injil menyebabkan orang-orang Kristiani menghakimi para penderita HIV dan AIDS secara tidak adil”, lanjutnya.

Dengan berangkat dari latar belakang sejarah hukum kekudusan dan kenajisan yang melihat penyakit sebagai sebuah hukuman atas dosa yang diperbuat, mantan kordinator SVD sejagat ini menggarisbawahi peranan para imam yang mana selain merayakan kurban, juga mesti memainkan peranan penting sebagai penafsir hukum yang benar.

“Bahkan peranan para imam pada zaman Yesus bukan hanya sebagai penafsir hukum, melainkan juga sebagai pemimpin yang berpengaruh dalam hidup sehari-hari”, lanjutnya.

“Sebagai lembaga ilmiah, kita semua harus belajar meneladani sikap Yesus dari Nazaret yang membebaskan. Kita harus berani untuk menolak berbagai pandangan tradisional yang salah,” katanya.

Yesus, jelasnya, menolak dengan tegas pandangan tradisional bahwa penyakit diakibatkan oleh dosa.

“Dia menggunakan peristiwa kecelakaan dan penyakit sebagai kesempatan untuk mengungkapkan pandangan-Nya itu. Peristiwa penyembuhan orang lumpuh (Mrk. 2:1-12) meneguhkan iman orang sakit dan membebaskannya baik dari dosa maupun dari deritanya secara fisik, tandasnya.

Selain menolak berbagai stigmatisasi terhadap ODHA, ia juga mengajak untuk menjamah mereka.

“Hal ini merupakan sikap revolusioner yang membebaskan orang sakit pada umumnya dan ODHA pada khususnya.”

Ia menyatakan, “tindakan Yesus menjamah orang kusta menyatakan secara implisit bahwa yang membuat seseorang najis bukanlah keadaan fisik atau sesuatu yang datang dari luar.”

“Penyakit kusta, mayat, cairan dari tubuh, semuanya itu bukanlah sumber kenajisan. Sumber kenajisan ada dalam hati seseorang, karena ‘dari hatimu timbul segala pikiran jahat, sumpah palsu dan jahat’ (Mat. 15:19).

Mengakhiri makalahnya, pater Lukas menghimbau para agen dan calon agen pastoral, untuk memperhatikan beberapa poin penting sebagai kegiatan pastoral ke depan antara lain, memutuskan tali penghubung antara penyakit dan dosa dan panggilan untuk menjamah orang-orang buangan.

“ODHA merupakan orang-orang buangan dalam masyarakat di mana kita berada. Untuk mereka dan kepada mereka kita dipanggil khusus oleh Tuhan untuk melayani mereka yang menderita tersebut,” tandasnya.

Seminar sehari ini diselingi dengan STFK Voice dengan beberapa lagu daerah NTT. (Kontributor di Maumere, Dantho SVD/ARL/Floresa

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA