Floresa.co – Perusahan pertambangan mulai masuk lagi ke sejumlah lokasi di wilayah Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur.
Selama beberapa pekan terakhir, perwakilan perusahan mendatangi wilayah-wilayah yang pernah menjadi lahan operasi mereka sebelumnya.
Valens Dulmin, sekertaris eksekutif Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation – Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) mengatakan, informasi terkait kedatangan perusahan-perusahan ini didapat dari sejumlah tokoh adat di kampung-kampung yang berdekatan dengan lokasi tambang.
“Mereka mulai dengan membuka kembali akses ke lokasi tambang,” kata Valens kepada Floresa.co.
Sejumlah perusahan memang aktif beroperasi di wilayah Manggarai sejak tahun 1980-an. Namun perlawanan yang intens, yang disponsori oleh Gereja Katolik dan para aktivis memaksa mereka gulung tikar, hingga 2014-2015 mereka memutuskan berhenti beroperasi.
Kehadiran mereka saat ini, kata Valens, menjadi sinyal bahwa perlawanan belum benar-benar berakhir.
“Ini memang perusahan-perusahan lama, yang izinnya masih aktif,” katanya.
Catatan Floresa.co, di Manggarai setidaknya terdapat 15 izin tambang yang diterbitkan dalam kurun waktu 2009-2012, di mana sebagiannya masih aktif, sehingga kapan saja mereka bisa beroperasi kembali.
Heribertus Fendi, seorang warga desa Timbang, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai mengatakan kepada floresa.co, pekan lalu beberapa warga di kampung mereka diperkejakan oleh pihak perusahan
yang ia sebut dari PT Global Commodity Asia untuk membersihkan jalan ke salah satu tanah ulayat, yang pernah menjadi lokasi pertambangan.
Tanah yang disebut lingko itu, kata dia, hanya berjarak kurang dari dua kilometer dari kampung mereka.
“Mereka membersihkan jalan dan dibayar pihak perusahan,” katanya.
Ia menjelaskan, karena menolak kehadiran tambang, pada Rabu pekan lalu, ia dan beberapa warga lain memutuskan memagari jalan yang menjadi akses ke lokasi tambang.
“Kami yang terlibat aksi itu sepakat, pokoknya tambang tidak boleh masuk lagi,” ungkapnya.
Ia mengatakan, kehadiran tambang menyisahkan pengalaman kelam di kampung mereka, sebelum perusahan angkat kaki pada 2015.
“Saat itu, perusahan mendekati sekelompok warga yang kemudian mendukung tambang. Kami pun bertengkar satu sama lain. Harmoni hilang, orang saling bermusuhan,” katanya.
Mereka, lanjutnya, juga sudah merasakan dampak lingkungan tambang.
“Akibat limbah, air di salah satu mata air menjadi hitam. Ada juga lahan sawah yang tertimbun limbah,” katanya.
Heribertus tidak bisa memastikan luas area tambang di kampung mereka, yang berdekatan dengan wilayah tambang lain di Kampung Gumbang.
“Ada satu lingko, tapi kami tidak tahu persis luasnya,” katanya.
Gereja Merespon
Menyikapi perkembangan terbaru ini, Keuskupan Ruteng dan Tarekat OFM sudah mengorganisasi masyarakat setempat.
Pada awal bulan ini, mereka mengumpulkan 11 tokoh adat dari kampung-kampung di lokasi lingkar tambang dan membentuk organisasi Ikatan Masyarakat Adat Manggarai Anti Tambang (Imamat).
Pastor Peter C Aman OFM, direktur JPIC OFM ikut memfasilitasi kegiatan itu bersama Romo Marthen Jenarut, ketua Komisi JPIC Keuskupan Ruteng.
Kata Valens, mereka juga sudah berkordinasi dengan Pater Simon Suban Tukan SVD, Ketua JPIC SVD.
Tiga kelompok JPIC ini sebelumnya bergandengan tangan melakukan advokasi melawan tambang.
Rm Marthen mengatakan, mereka sepakat melihat tambang sebagai ancaman bagi warga Manggarai yang mayoritas petani.
“Dampaknya tidak signifikan bagi masyarakat. Kalau argumentasinya bahwa itu akan menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah), itu juga sebenarnya tidak benar,” kata Rm Marthen.
Pada 2012, misalnya kontribusi dari sektor pertambangan hanya Rp 132 juta dari total Rp 38,2 Miliar PAD Kabupaten Manggarai.
Dengan membentuk Imamat, kata Romo Marthen, Gereja ingin menegaskan posisi berdiri bersama masyarakat.
“Kami sadar bahwa kami memiliki kewajiban mengingatkan masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk menolak pertambangan yang merusak lingkungan,” katanya.
“Gereja memiliki prinsip bahwa masalah ekologis adalah masalah kemanusiaan,” tegasnya.
Valens menambahkan, kekuatan masyarakat sangat penting.
“Kami selalu menemui kesulitan untuk mendesak pemerintah agar tidak menerbitkan izin tambang di pulau-pulau kecil, seperti Flores atau untuk mencabut izin yang masih aktif,” katanya.
“Oleh karena itu, satu-satunya harapan kami untuk melawannya adalah melalui penguatan masyarakat,” tambahnya.
Heribertus pun berharap banyak pada Imamat untuk membela kepentingan mereka.
“Kami tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan Gereja,” katanya.
Ia menambahkan bahwa mereka berkomitmen untuk melakukan yang terbaik demi tanah kelahiran mereka.
Perlawanan Bisa Makin Sulit
Valens mengatakan, upaya perlawanan tambang sekarang, bisa jadi akan lebih sulit.
“Kalau dahulu kan izinnya diterbitkan kabupaten, tapi dengan undang-undang yang baru, sekarang wewenang ada di provinsi,” katanya merujuk pada Undang Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang berlaku mulai Oktober tahun lalu.
Kekuatiran Valens beralasan, mengingat dalam salah satu wawancara dengan floresa.co sebelum Pilkada Manggarai 2015, Bupati Manggarai, Deno Kamelus memanfaatkan undang-undang itu untuk mencuci tangan terkait polemik tambang.
“Bagi saya, ke depan isu tambang menjadi kewenangan provinsi,” ujar Deno kala itu.
Terkait IUP yang masih aktif, Deno juga mengatakan, ”kita menunggu saja aturan masa transisi dan revisi UU Minerba. Ke depan kita berpedomaan saja pada regulasi yang ditetapkan DPR RI dan pemerintah pusat.”
Sikap Deno dan wakilnya Victor Madur, juga tampak memberi sinyal membuka ruang lebar bagi tambang, setelah pada Januari lalu, mereka memfasilitasi sejumlah pertemuan dengan PT Masterlong Mining Resources (MMR), salah satu perusahan yang hendak beroperasi di Kecamatan Reok Barat untuk pengurusan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Deno, yang sebelumnya menjadi petinggi di Manggarai sebagai wakil bupati selama 10 tahun mendampingi Bupati Christian Rotok dikenal sebagai pemimpin yang royal menerbitkan izin tambang.
Valens dari JPIC-OFM mengatakan, di tengah situasi ini mereka berkomitmen merapatkan barisan bersama tokoh masyarakat yang mereka advokasi.
“Proses-proses pendampingan akan terus dilakukan ke depan,” katanya. (ARL/Floresa)