Masa Depan Tanpa Kopi: Tanpa Pendampingan, Petani Kopi Colol Meraba Jalan Meningkatkan Produktivitas

Tujuh tahun belakangan produktivitas kopi Colol terus menurun. Minimnya pendampingan memperdalam kesulitan petani Colol, komunitas adat yang menggantungkan penghidupan dari hutan kopi.

Floresa.co – Anak-anak tangga dengan jalan setapak menanjak pada kedua sisinya diapit tanaman-tanaman kopi berpucuk menjulang. Setinggi hingga kira-kira dua meter, tampak helai-helai daun kopi berwarna keperakan berselimut debu.

Pada ketiak dahannya bergerombol bulir kopi memerah; menanti dipetik pada sela-sela musim kemarau panjang di Lembah Colol, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.

Tanjakan anak tangga berakhir pada suatu tanah tak terlalu lapang dengan dua percabangan: lurus—yang mengarah ke lereng—dan kanan.

Mengambil arah manapun, keduanya akan menuju ke lahan kopi warisan orang tua Aloysius Mensi Arsa.

 

Lahan Warisan

Mensi, panggilannya, putus sekolah selepas Sekolah Menengah Pertama. Sejak saat itu, ia mengolah ‘hutan kopi.’

Kini berusia 44 tahun, Mensi tidak mengetahui pasti luas lahannya. “Yang saya tahu, tanah ini adalah warisan orang tua saya,” katanya.

Lahan itu berada di Kawasan Agrowisata Colol, daerah wisata yang memanfaatkan potensi pertanian atau perkebunan sebagai daya tarik turisme.

 

Pengunjung berjalan kaki di dekat penanda Kawasan Agrowisata Lembah Colol. (Foto: Anastasia Ika/Floresa.co)

Itulah mengapa, salah satunya, terdapat anak-anak tangga bersemen, alih-alih jalan tanah di kampung-kampung yang tercakup dalam kawasan ini.

Kawasan ini merupakan bagian dari Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng, wilayah konservasi seluas 32.245,6 hektare yang membentang di dua kabupaten – Manggarai dan Manggarai Timur.

Secara administratif, Colol, dengan luas 4,11 kilometer persegi, masuk Kecamatan Lamba Leda Timur, menyumbang 0,6 persen dari keseluruhan wilayah kecamatan itu.

Topografinya berupa lembah perbukitan pada rentang ketinggian 1.000-1.450 meter di atas permukaan laut, seperti tercatat dalam laporan Badan Pusat Statistik [BPS], “Kecamatan Lamba Leda Timur dalam Angka, 2022”

Produktivitas Menurun

Petani kopi mengeringkan kopi di tengah-tengah cuaca terik di Lembah Colol. (Foto: Anastasia Ika/Floresa.co)

Warga—tak hanya Mensi–secara turun-temurun menyebut “hutan kopi” ketimbang “kebun kopi” bagi lahan yang berada di lembah kelahiran mereka.

Alasan utamanya terkait penanaman kopi tanpa menimbang jarak ideal yang umum diterapkan pekebun di wilayah sentra kopi lain di Indonesia.

Bisa dibilang, “jarak antartanaman kopi kami tak beraturan,” katanya.

Ketika menanam bibit kopi, orang tua Mensi tak lebih dulu membuat lubang-lubang tanam dengan jarak sepadan.

“Pokoknya tanam saja. Yang penting menghasilkan [buah].”

Ketika dewasa, hamparan tanaman kopi di lahannya membentuk tajuk yang rimbun. Sekilas mirip tajuk hutan hujan tropika nan subur, saking tinggi dan rapat pucuknya.

Mensi tak pernah menghitung seberapa banyak tanaman kopinya. Yang selalu ia hitung adalah bobot dan pendapatan dari panenan.

Tujuh tahun belakangan, “panenan kami menurun drastis.”

Mensi mengingat panen besar terakhir pada 2016, ketika  ia secara keseluruhan menjual 4 ton biji kopi kering tak bergabah (green beans).

Setelah itu panennya terus berkurang. Ia memprediksi hanya mampu menjual 0,5 ton biji kopi kering tak bergabah sejak awal Januari hingga akhir tahun ini.

Tren penurun produktivitas kopi Colol juga terekam data Badan Pusat Statistik [BPS] Manggarai Timur.

Dalam laporan “Kecamatan Lamba Leda Timur dalam Angka, 2022″ dengan produktivitas kopi jenis robusta sebesar 0,4 ton/ha dan arabika 0,5 ton/ha di Colol pada 2021, secara keseluruhan, pada tahun yang sama, petani kopi Colol menghasilkan 313,75 ton [313.750 kg] kopi jenis arabika dan 179 ton [179.000 kg] jenis robusta.

Pada 2022, terjadi penurunan produktivitas, di mana petani memanen total 219,625 ton kopi jenis arabika dan 214,8 ton kopi jenis robusta.

Produktivitas ini terbilang rendah dibandingkan rata-rata nasional. Data BPS pada 2021 menunjukkan produktivitas kopi perkebunan rakyat 610 kilogram green beans per hektare [kg gb/ha] dari total lahan seluas 1.257.791 ha.

Tosca Santoso, yang selama hampir satu dekade terakhir mendampingi petani kopi di Cianjur, Jawa Barat mengatakan, data ini “cenderung konsisten selama paling tidak lima tahun terakhir.”

Produktivitas kopi nasional, katanya, “hanya separuh dari produktivitas global. [Produktivitas kopi] NTT, separuh dari Indonesia.”

Dengan lahan perkebunan rakyat seluas 25.873 ha, produktivitas kopi di NTT tercatat 331 kg gb/ha pada 2021.

Floresa sebelumnya menanyakan ihwal data lahan dan produktivitas kopi setempat kepada Sabinus Firman, Sekretaris Desa Colol.

Ia mengaku “[kantor] desa tak punya lembar profil yang menunjukkan data luas lahan kopi serta produktivitas” di wilayah kerja mereka secara tahunan.

“Kami hanya punya catatan singkat dalam sebuah buku kecil,” katanya. Catatan itu “tak mengakomodasi seluruh kampung di Colol.”

Ijon Demi Biaya Sekolah Anak

Seorang anak perempuan membantu ibunya menumbuk biji kopi kering di Colol. (Foto: Anastasia Ika/Floresa.co)

Tak hanya Mensi, petani lain di Colol telah bertahun-tahun melepas biji-biji kopi kering ke tengkulak dengan sistem ijon.

Dalam praktik ijon, petani menjual buah kopi ketika masih hijau. Buah kopi belum matang itu dilepas ke tengkulak yang telah mereka kenal. Macam-macam penyebabnya.

Di Colol, satu-satunya penyebab terkait pembiayaan. Mensi misalnya menjual kopi dengan sistem ijon lantaran butuh uang untuk membayar sekolah anaknya.

Mereka tak pernah bisa menegosiasi harga jual. “Kami selalu terima harga [beli yang ditetapkan] tengkulak,” katanya.

Pada panen awal Juli 2023, Mensi melepas kopi kering seharga Rp22.000/kilogram [kg]. Angka jualnya turun dari kira-kira sebulan sebelumnya. Saat itu, tengkulak membeli kopi keringnya seharga Rp24.000/liter.

Setahun lalu, harga kopi kering panenan Mensi dijual hingga Rp35.000/kg. Meski harganya lebih tinggi dibanding tahun ini, tetap saja, pendapatannya tak jauh berbeda dalam setahun terakhir.

Dari tengkulak, ia mendapat cerita jika kopi dari Colol kerap dilepas ke pembeli yang bukan penduduk asli Flores. “Pernah juga tengkulak bilang, kopi kami dijual ke Eropa.”

Floresa sempat mengunjungi sebuah toko tani di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Toko tersebut acapkali menadah kopi dari tengkulak yang—menurut seorang kasirnya—membawa green beans asal Colol.

Green beans itu lalu dibeli kembali oleh orang-orang “yang tinggal di Surabaya, bahkan di Eropa.”

Kasir yang menolak untuk menyebutkan namanya itu tak memerinci negara-negara pembelinya di Eropa.

Sembari mengarahkan beberapa karyawan di toko, kasir itu hanya mengatakan, “setelah [karung-karung kopi] keluar dari toko ini, kami tidak tahu lagi prosesnya. Semua diurus agen pengiriman paket.”

Menebas Separuh Pangkal

Secara umum tanaman kopi di Colol tumbuh terhampar di pekarangan rumah warga, membentuk semacam pagar yang berselang-seling dengan tanaman dapur hidup dan umbi-umbian.

Beberapa batang utama tanaman kopi yang tumbuh di sisi jalan setapak utama kampung-kampung di Colol tampak menyamping. Nyaris tertidur bersentuhan dengan tanah.

Di atas batang-batang itu tegak sejumlah dahan yang lantaran posisinya tampak seperti batang-batang baru. Padahal, itu sebetulnya cabang.

Namun, hanya batang kopi jenis robusta yang tampak demikian. Batang utama kopi jenis arabica tetap tumbuh tegak.

Pertumbuhan tanaman kopi robusta hasil pemotongan batang. (Foto: Anastasia Ika/Floresa.co)

Kasmir Odor, 70 tahun, seorang petani kopi di Colol bercerita, ia menebas separuh pangkal batang kopi jenis robusta “supaya menghasilkan lebih banyak buah dari batang-batang baru.”

Praktik demikian,  kata Kasmir, “berlangsung sejak orang tua saya bertanam kopi di sini.”

Mereka tak mempraktikkan hal yang sama terhadap batang tanaman kopi jenis arabika karena dianggap lebih ringkih.

Kasmir pernah memotong separuh batang kopi arabika sebelum akhirnya mati.

Tetapi dampak pemotongan batang kopi jenis robusta juga tak selanggeng harapan petani Colol.

Seperti Mensi, Kasmir mengakui produktivitas kopinya menurun sejak 2016. Ia tak tahu alasannya.

Tosca mengatakan, praktik tersebut “membuat nutrisi yang dibutuhkan tanaman kopi lama-kelamaan habis lantaran harus dibagi-bagi antarcabang.

Cara termudah mengatasi kekurangan nutrisi pada tanaman kopi, kata Tosca yang memiliki rumah produksi kopi di Sarongge, kampung yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango di Cianjur, Jawa Barat, “dengan pemupukan yang teratur. “

Tosca menilai pucuk tanaman kopi di Colol terlalu tinggi, sehingga “kurang ideal untuk menghasilkan biji kopi berkuantitas dan berkualitas baik.”

Pucuk-pucuk yang terlalu menjulang turut berpengaruh pada kualitas penjualan kopi. Saking tinggi bulir-bulir kopi, petani mau tak mau menyengget semua buah, baik yang matang maupun yang mentah.

Ditambah lagi, “nyaris tak ada peremajaan,” kata Tosca.

Membiarkan tanaman kopi tumbuh hingga tua, katanya, “sama halnya menunggu waktu tanaman kopi itu akhirnya tak lagi mampu menghasilkan buah.”

Pada saat yang sama, di Lembah Colol, soal pemupukan tak bisa serta-merta jadi solusi bagi tanaman kopi produktif.

Petani Colol tak pernah memupuk tanaman-tanaman kopi.

“Kami sepenuhnya menggantungkan kesuburan tanaman kopi kami dari alam,” kata Mensi.

Dari alam, mereka berharap terus memperoleh pendapatan dari hutan kopi sekaligus ternak yang tak seberapa banyak.

Tak Paham Pengolahan Pupuk Kandang

Di perdesaan Manggarai Raya–wilayah yang mencakup Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur, warga kerap membiarkan ternak sapi mereka memamah biak di kebun.

Seringkali dilepas tanpa pengawasan, menunjukkan keyakinan mereka akan keamanan ternak di berhektare-hektare lahan yang minim kehadiran manusia.

Tak ubahnya siang itu di kawasan Hutan Lindung Bangga Rangga. Setidak-tidaknya, pada Agustus, Floresa melihat lima sapi tampak memamah biak di hutan kopi yang mengapit jalan utama hutan lindung tersebut.

Bangga Rangga menghubungkan Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai dan Lembah Colol. Bangga Rangga dan Colol berjarak sekitar 8,3 kilometer, atau 15 menit berkendara dengan mobil melewati punggungan perbukitan.

Pada leher sapi-sapi itu terkalung tali, tersambung dengan utas lain yang terulur hingga 20 meter. Ujungnya tersimpul pada sebuah batang tanaman kopi.

Selagi petani kopi mencabuti gulma, sapi-sapi itu dibiarkan mengudap rumput segar yang tumbuh di sekitar tanaman kopi.

Kotoran ternak, termasuk sapi, mengandung senyawa organik yang memperkuat nutrisi bagi tanaman kopi.

“Cara itu sebetulnya dapat membantu petani kopi memupuk kebun sekaligus mendiversifikasi pendapatan,” kata Andy Odang.

Oleh Dinas Pertanian Manggarai Timur, Andy ditugasi sebagai penyuluh pertanian yang khusus mendampingi petani kopi di Lembah Colol.

Di sana ia “mendampingi petani mengintegrasikan ternak dan kopi pada suatu lahan yang sama.” Kotoran ternak, misalnya sapi, kambing dan babi, dijadikan pupuk. Sementara “daun pangkasan pohon pelindung [kopi] dimanfaatkan sebagai pakan ternak.”

Program integrasi kopi dan ternak bermula pada 2016. Tahun ini sarana produksi pertanian [Saprodi] yang diberikan bagi petani berupa 129 kambing, 1.000 bibit kopi dan 2.000 penyambung pucuk kopi dalam metode okulasi [entres].

Pengadaannya “bersumber dari 20 persen dana desa untuk ketahanan pangan.”

Pendampingan Singkat, Apa Cukup?

Kasmir Odor dalam pondok peristirahatan di dekat batas TWA Ruteng. (Foto: Anastasia Ika/Floresa.co)

Kasmir Odor beternak ayam di samping pondok dekat batas hutan TWA Ruteng untuk menjaga “dapur tetap mengepul.”

Tetapi ia tak mengerti cara mengolah kotoran ayam menjadi pupuk. “Saya berharap ada orang Dinas Pertanian datang kemari, ajari saya cara mengolah pupuk ternak. Tapi tiada yang datang,” katanya.

Ia bingung ke mana harus mengadu. Pada saat yang sama, “tak ada pendampingan langsung dari Dinas Pertanian.”

Amandus Cahaya Tukeng [34], pendamping program kelompok pemberdayaan petani kopi “Komunitas Kopi Tuk Colol” menyatakan penyuluh pertanian yang bertugas di Colol sempat memberikan pendampingan bagi petani.

“Tetapi memang,” kata warga Colol itu, “pendampingan akan pengolahan pupuk kandang hanya dua hari” dalam setahun. Sisanya “saya tak tahu pendampingan apalagi yang mereka berikan [ke petani Colol].”

Pendampingan singkat itupun, katanya, “tak dilakukan di semua kampung Lembah Colol.”

Andy menyatakan bukannya waktu “melainkan programnya yang dibatasi sesuai anggaran.” Pendampingannya sendiri “dilakukan secara berkelanjutan.” Ia tak lebih jauh memerinci lamanya waktu dan yang ia sebut “berkelanjutan.”

Berbasis di Kampung Rajong di Lembah Colol, Komunitas Kopi Tuk Colol bekerja sama dengan kelompok petani setempat memproduksi kopi dari hutan mereka.

Kelompok dampingan merupakan petani dengan tanggungan anak, perempuan mengandung dan menyusui, lansia serta anak yang maksimal bersekolah setingkat Sekolah Menengah Atas.

Ikut menemani Floresa bertemu petani kopi Colol, Andus–panggilan Amandus–sempat bertanya kepada beberapa di antaranya soal ada tidaknya pendampingan dari Dinas Pertanian.

Oleh setidaknya dua petani kopi yang berkebun di sisi lereng yang sama, pertanyaan Andus dijawab dengan gelengan kepala.

Biji kopi yang dijemur di samping kandang ayam milik Kasmir Odor. (Foto: Anastasia Ika/Floresa.co)

Andy Odang tak menampik pernyataan Andus. Ia mengatakan “program tak menyasar seluruh petani Colol” yang, menurut data Dinas Pertanian Manggarai Timur, tahun ini berjumlah 1.335 orang.

Sebaliknya, Andy mengatakan program tersebut “menyasar kelompok petani yang menggarap total lima hektare lahan.” Satu hektare di antaranya dijadikan lahan percontohan integrasi.

Di Cianjur, Tosca kerap menyarankan petani kopi di lereng Gunung Gede-Pangrango mendiversifikasi pendapatan, salah satunya lewat beternak. Dengan begitu, petani kopi tak harus keluar uang guna membeli pupuk—itupun pupuk kimia.

Namun tak semua usaha sampingan beternak itu berumur panjang. “Ada yang cuma separuh tahun beternak di sela-sela merawat kebun kopi,” kata Tosca.

Mereka bergegas menjual ternak lantaran butuh biaya–baik untuk sehari-hari maupun perawatan kebun kopi. Sisanya digunakan untuk membeli bibit sayur-mayur yang lebih cepat panen ketimbang kopi.

Bagaimanapun, di lembah Gunung Gede-Pangrango, “dapur petani harus tetap mengepul. Setiap hari harus ada uang siap pakai untuk beli lauk.” Sementara, tak tentu setiap bulan petani bisa panen kopi.

“Ini masalah yang sama di berbagai sentra kopi Indonesia,” kata Tosca.

Meraba Cara Baru Selepas Siklon Seroja

Catatan Tosca turut menjadi perhatian Ayrton Wibowo, seorang produsen green beans yang bersumber dari perkebunan kopi di Beiposo, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Beiposo berjarak sekitar 121 kilometer dari Colol.

Bersama sang istri yang berasal dari Polandia, Ayrton mendirikan rumah produksi kopi Jara Mite—”kuda hitam”, dalam bahasa Ngada—untuk turut mempromosikan kopi petani Flores ke pasar internasional.

Di Polandia, pasangan tersebut membuka gerai kopi Podkawa Coffee Roastery dengan kopi Beiposo sebagai salah satu produk unggulannya.

Selain green beans, ia juga membeli buah kopi matang yang berwarna kemerahan [coffee cherry] dari petani Beiposo.

Menurut Ayrton, “metode tanam, pemupukan dan minimnya peremajaan kopi” turut memicu penurunan produktivitas, tak hanya di Colol dan Beiposo, melainkan juga sentra kopi lainnya di Pulau Flores.

Pelemahan produktivitas “kian drastis selepas siklon tropis Seroja.”

Siklon tropis Seroja terjadi pada April 2021, yang memicu hujan disertai angin kencang, gelombang tinggi dan banjir di beberapa pulau di NTT.

Bisa dibilang, kata Ayrton yang kini bermukim di Warsawa, Polandia, “hampir tak ada kopi berkualitas baik di Beiposo setelah siklon tropis Seroja.”

Sejumlah kajian menemukan intensitas siklon menguat, salah satu indikasi krisis iklim yang turut dipicu aktivitas antropogenik.

James P. Kossin et al.–para peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administration– menemukan penguatan intensitas siklon tropis mencapai 8-15 persen per dekade.

Siklon tropis umumnya terbentuk di zona tepi khatulistiwa. Perairan di zona tersebut bersuhu lebih hangat ketimbang perairan sekitarnya.

Berada pada 8-12 derajat Lintang Selatan, NTT tak berada di zona tepi ekuator [nol derajat Lintang]. Itulah mengapa sejumlah pakar, seperti disitir dari beberapa media nasional, menyebut siklon seroja merupakan anomali.

”Umumnya Indonesia hanya terimbas ekor siklon saja,” kata Edvin Aldrian, ahli iklim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi seperti disitir Kompas.

Hingga hari ini belum ada studi yang secara khusus mengkaji potensi pembentukan siklon lainnya di NTT. Yang jelas, siklon Seroja akhirnya berdampak pula pada perkebunan kopi Flores.

Selepas siklon tropis Seroja, “pernah 50 persen dari keseluruhan satu kali kiriman cherry dari seorang petani tampak mengambang ketika direndam,” kata Ayrton.

Cherry yang mengapung menandakan biji berkualitas rendah.

Tosca juga sering mendapati cherry antaran petani kopi Sarongge, Tunggilis dan Pakuwon–tiga kampung di lereng Gunung Gede-Pangrango–yang mengapung kala direndam.

Ketika itu terjadi, ia biasanya langsung turun tangan, menengok kebun petani terkait. Kepada petani tersebut, ia akan merekomendasikan beberapa cara yang memungkinkan perbaikan kuantitas dan kualitas pada musim panen berikutnya.

Tetapi, memang, “kita tak bisa menetapkan cara yang sama untuk setiap petani kopi,” kata Tosca.

Duduk dan Cari Solusi Bersama

Petani kopi Colol memanen tak hanya buah kemerahan atau coffee cherry, melainkan yang belum matang untuk kemudian dijemur. (Foto: Anastasia Ika/Floresa.co)

Pandangan serupa turut diungkapkan Patrice Christian Vallette, Chief Executive Officer [CEO] PT Visioncy Global Nusantara, produsen kopi berbasis di Kampung Mano, Mandosawu di Kecamatan Lamba Leda Selatan, Manggarai Timur.

Lelaki 54 tahun asal Prancis itu menilai “kita tak bisa ‘memukul rata’ petani kopi di, misalnya, Sumatra dengan Flores.”

Sebab, katanya kepada Floresa, “petani kopi Flores masih minim pengetahuan soal perawatan kopi, akses ke pasar dan mitigasi krisis iklim.” Sebaliknya, petani kopi di daratan Sumatra “mulai mapan dalam ketiga hal itu.”

Ia bolak-balik Prancis dan Indonesia pada sekurang-kurangnya 30 tahun terakhir untuk urusan bisnis. Patrice turut mendirikan Visioncy pada 2012, sebelum berposisi CEO pada Januari 2023.

Pada tahun silam perusahaannya membeli kopi dari “hutan kopi” Colol. Tahun ini ia memutuskan untuk menyetop pembelian dari sana lantaran “tak ingin berkompetisi dengan tengkulak.”

Menyebut perusahaannya sebagai “rumah produksi kopi”, ia mengatakan Visioncy membeli langsung kopi dari petani, memproduksi tetapi tak mengekspornya.

Visioncy, kata lelaki kelahiran Toulouse, Prancis itu, “memilih berfokus pada pemberdayaan petani ketimbang menargetkan kuantitas pembelian dari kebun-kebun kopi Manggarai Timur.”

Ia merekrut sejumlah warga Mano bekerja di perusahaannya. Membeli langsung panenan petani kopi di Mano, “kami berusaha memastikan petani mendapat kompensasi yang adil.”

Selain maraknya tengkulak, pemicu lain yang mendorong Visioncy memberdayakan petani adalah kesadaran bahwa “kita tak bisa lagi melakukan yang 10 tahun silam kita kerjakan. Iklim terus berubah.”

Petani Colol, katanya, “membutuhkan bantuan berupa solusi alih-alih didorong untuk terus memenuhi target penjualan kopi. Mereka [petani Colol] tak bisa sendirian menghadapi krisis iklim,” katanya.

Tosca, yang tujuh tahun silam memutuskan pindah dari Jakarta ke Cianjur juga berperspektif serupa. “Jangan biarkan mereka sendirian meraba-raba cara baru,” katanya.

Minimnya pendampingan “hanya akan menyulitkan petani kopi yang puluhan tahun menggantungkan penghidupan dari hutan.”

Aloysius Mensi Arsa memiliki tiga anak. Si sulung telah berkuliah. Anak tengahnya sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Sementara yang bungsu baru berusia dua tahun.

“Panen tahun ini tak akan cukup membayar biaya sekolah dua anak kami. Khususnya si sulung,” kata Teci Suldina Ayu [38] pada suatu sore yang beranjak dingin di Lembah Colol.

Setiap hari ia membantu Mensi, suaminya, merawat hutan kopi mereka. Ia membabat rumput yang mulai tinggi di sekitar tanaman kopi, sembari sesekali menggali tanah guna memperoleh talas hutan.

“Jika sedang tak punya beras, kami makan talas hutan,” kata Teci.

Hutan kopi merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga mereka.

“Entah bagaimana nanti membayar uang sekolah,” kata Teci melanjutkan, “sepertinya kami harus pinjam sana-sini.”

Editor: Ryan Dagur

Ini adalah laporan pertama dari dua artikel terkait petani kopi Colol, yang peliputan dan penulisannya didukung oleh Earth Journalism Network. Laporan kedua bisa dibaca di sini

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Floresa Hadiri Peluncuran ‘Journalism Trust Initiative’ untuk Penguatan Media Digital di Indonesia

Indonesia adalah satu dari 10 negara prioritas di Asia-Pasifik yang diharapkan bisa bergabung dalam proses sertifikasi media digital ini

Menteri Sandiaga Uno Tanam 1.000 Pohon di Golo Mori, Labuan Bajo, Tapi Dukung Pembabatan ‘Jutaan Pohon’ untuk Proyek Parapuar di Kawasan Hutan Bowosie

Penanaman pohon, kata Sandiaga, bagian dari upaya mendukung ‘green tourism’ di Labuan Bajo, namun dianggap sebagai aksi ‘tipu-tapu’

Maria Suryanti Jun: Menentang Geotermal karena Poco Leok Tanah Adat dan Warisan Leluhur Kami

Kelompok perempuan di Poco Leok terlibat aktif dalam gerakan perlawanan menolak proyek geotermal yang diyakini mengancam masa depan hidup dan lingkungan mereka

Abrasi Kian Parah, Pesisir Sikka Kian Terancam

Warga berjibaku mencari solusi di tengah abainya pemerintah

BRI Cabang Ruteng Beri Penjelasan terkait Kasus Nasabah yang Protes Soal Tunggakan Pinjaman

Nasabah tersebut mempersoalkan tunggakan lebih dari Rp29 juta