Bersihkan Kandang dengan ‘Rinso’ Hingga Obati Babi dengan Minyak ‘Nona Mas’; Cerita Kebingungan Warga NTT Hadapi Virus ASF

Pemerintah memang sudah mengeluarkan imbauan cara mencegah virus ASF namun itu tidak cukup untuk menghadapi masalah ini, apalagi ketika babi sudah terpapar.

Floresa.co – Virus African Swine Fever (ASF) yang menyerang babi dan beberapa hari belakangan mewabah di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur (NTT) menimbulkan kecemasan bagi warga.

Pemerintah memang sudah mengeluarkan imbauan cara mencegah virus ini, namun, sebagaimana penuturan warga, itu tidak cukup untuk menghadapi masalah ini, apalagi ketika babi mereka sudah terpapar.

Servasius Asak (28), yang sekarang tinggal di Wae Bo, Labuan Bajo mengatakan, mereka kalang kabut ketika pada tahun lalu virus itu menyebar hingga ke kampungnya di Ruis, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai.

Ia mengatakan, saat itu ia dan keluarganya bingung mencari solusi ketika belasan babi mereka terpapar.

“Kami coba bersihkan kandang dengan rinso,” katanya menyinggung nama salah satu merek sabun cuci pakaian.

“Kami juga coba gosok babi dengan minyak gosok Nona Mas, tapi tidak ada hasil,” ujarnya.

Minyak Nona Mas memang seharusnya untuk manusia. Keluarganya terpaksa memakainya, berharap ada mukjizat.

Namun, kata dia, semua itu tidak berhasil. Belasan babi mati dalam waktu hampir bersamaan.

Virus ASF mulai terdeteksi kembali di beberapa wilayah di NTT pada pekan ini.

Melky Angsar, Kepala Bidang Kesehatan Hewan di Dinas Peternakan Provinsi menyatakan dari hasil tes sampel babi yang dilaporkan mati di Kabupaten Kupang dan Flores Timur, dua kabupaten yang pertama kali memberi laporan, sudah terkonfirmasi bahwa pemicunya adalah ASF.

Di Kabupaten Kupang, 48 babi dilaporkan mati mendadak setelah demam tinggi dengan suhu tubuh di atas 39 derajat celcius, nafsu makan hilang, tubuh lemas, dan muncul bercak kemerahan di sekujur tubuh mereka.

Karena itu, kata Melky, mereka telah mengimbau pemerintah kabupaten untuk melakukan langkah-langkah pencegahan penyebaran.

Sejauh ini, beberapa pemerintah kabupaten telah mengeluarkan pengumuman kepada warga untuk mengambil langkah-langkah antisipatif.

Kendati pemerintah sudah memberikan imbauan, bagi masyarakat, soalnya adalah hanya sebatas imbauan.

Sebagaimana yang disampaikan Kementerian Pertanian di situs resmi, hingga saat ini memang belum ditemukan vaksin untuk virus ASF. Sementara tingkat kematian bagi babi yang terpapar adalah 100 persen.

Imelda Bai, Kepala Bidang Kesehatan Hewan di Dinas Peternakan Kabupaten Manggarai membenarkan hal itu.

“[Kalau] mau diobati infeksi bakterinya tidak akan bisa,” katanya kepada Floresa.

Imelda menjelaskan babi yang  terpapar virus ASF menunjukkan gejala-gejala berupa demam tinggi lalu muncul pendarahan di kulit perut telinga dan kaki, sianosis, lalu diikuti dengan diare dan tidak mau makan.

“Proses kematiannya cepat karena demamnya sampai 42 derajat celsius,” ujarnya.

Meski demikian, ia membantah kabar yang beredar bahwa virus asal Afrika itu bisa menular pada manusia.

“Dia tidak bersifat zoonosis, tidak membahayakan manusia, tapi memang merugikan secara ekonomi,” katanya.

Satu-satunya Cara adalah Mencegah

Karena belum adanya obat, cara satu-satunya adalah memperketat upaya pencegahan agar virus ini tidak menyebar kemana-mana.

Yohanes Simarmata, dokter di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana Kupang mengatakan kepada Floresa bahwa merupakan gelombang ketiga serangan virus ASF di NTT setelah pada 2020 dan 2021.

Data Pemerintah provinsi yang dipublikasi Juli tahun lalu menyebutkan 122.000 babi yang telah mati akibat serangan virus itu.

Imelda dari Dinas Peternakan Kabupaten Manggarai mengatakan, virus ASF menular melalui kontak langsung dengan ternak yang sudah terpapar, kontak dengan manusia yang sebelumnya kontak dengan ternak terpapar, serta melalui pakan yang terkontaminasi olahan daging yang terpapar ASF.

Untuk mencegah penyebarannya, kata dia, adalah dengan memperketat pengamanan area peternakan atau pemeliharaan babi agar tidak dimasuki oleh orang-orang luar.

“Kalau ada yang mau beli babi, tunjukkan saja foto atau videonya. Jangan izinkan mereka mendekati kandang. Jangan sampai mereka baru saja pulang dari kandang babi lain yang sudah terpapar ASF. Mereka bawa virus itu,” katanya.

Upaya pencegahan berikutnya adalah dengan menjaga kebersihan kandang dan melakukan desinfeksi secara berkala.

Selain itu, hindari kontak dengan babi lain dan jangan menggunakan pakan dari sisa makanan, terutama yang mengandung olahan daging babi.

“Sebelum ASF saja, tidak boleh air olahan daging babi diberikan ke babi. Itu akan terjadi strepto, babinya demam,” katanya.

Imelda juga mengingatkan agar warga seperti di Manggarai berhati-hati dengan tradisi julu atau menyembelih daging babi lalu membagi-baginya dengan tetangga atau warga sekitar.

Beberapa peternak yang babinya terpapar ASF tahun 2021, kata Imelda, bermula dari menerima daging babi dari kerabat yang berada di wilayah terpapar.

“Kita tidak tahu babi julu itu babi sehat atau sakit. Daging itu beredar ke mana-mana. Ya, penyebaran virusnya juga ke mana-mana,” katanya.

Dampak 

Dampak virus ini amat besar bagi warga di NTT yang umumnya mengandalkan beternak babi untuk mendapat penghasilan tambahan dari pekerjaan utama sebagai petani.

Menurut data 2021 dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, populasi babi di NTT mencapai 2.598.370 ekor, hampir setengah dari populasi babi di Indonesia yang mencapai 7.622.724 ekor.

Servasius mengatakan, dari hasil penjualan babi ia bisa membangun rumah dan menyekolahkan adik-adiknya.

Di samping itu, sebagai warga yang lekat dengan budaya, ia mengatakan, babi merupakan salah satu hewan yang selalu dibutuhkan dalam berbagai upacara adat.

“Setiap upacara adat di Manggarai selalu membutuhkan babi,” ujar Servasius yang kini memiliki dua ekor babi peliharaan di Wae Bo.

Meski memang tidak ada obatnya, ia berharap pemerintah giat mensosialisasikan tentang virus ini kepada seluruh lapisan masyarakat.

Tadeus Ndarung [26], warga asal Desa Pangga, Kecamatan  Kuwus, Manggarai Barat, mengatakan, ASF ini merupakan masalah serius yang harus dipikirkan bersama, baik pemerintah maupun masyarakat.

Selain itu, ia mengatakan, pemerintah harus meregistrasi penjual atau pengepul ternak babi.

“Penyebaran ASF ini sangat cepat, karena itu pemerintah harus segera mengambil sikap secara konkret untuk mengatasinya,” kata Tadeus.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA