Warga Translok di Manggarai Timur: Lebih dari Satu Dekade Alami Krisis Air Bersih

Sejak pindah ke wilayah transmigrasi lokal itu pada 2005, mereka hanya menikmati air bersih yang disediakan pemerintah hingga 2012. Hingga kini mereka merana, meski beberapa kali ada pengerjaan proyek air bersih.

Baca Juga

Floresa – Avelina Ifan baru saja pulang bekerja dari sawah pada Sabtu siang, 30 September. Tiba di rumahnya, ia langsung menggoyang satu per satu jerigen berukuran lima liter yang berderet di salah satu sisi dapur. Tak ada satupun yang terisi air.

Perempuan 36 tahun itu mengambil lima dari sekitar belasan jerigen itu. Ia kemudian memasukan selembar kain di antara celah gagang tiga jerigen yang diambilnya. Kedua ujung kain itu diikatnya dengan kuat. 

“Setiap musim kemarau kami sengsara untuk ambil air. Harus jalan jauh,” kata Avelina sembari mengangkat kain yang menghubungkan tiga jerigen tersebut, meletakkannya di kepala. Kedua tangannya segera menjinjing dua jerigen lain, lalu beranjak menuju sumber air. 

Siang itu, Avelina mengambil air di sebuah sumur yang berjarak sekitar 700 meter arah utara rumahnya di Kampung Translok [transmigrasi lokal] di Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. 

“Tadi pagi tidak sempat pergi timba air karena buru-buru ke sawah,” ceritanya kepada Floresa yang ikut ke sumber air itu. 

Sekitar 30 meter dari rumahnya, Avelina memanggil dan mengajak rekannya, Marlinda Siti untuk sama-sama mengambil air. 

Tak butuh waktu lama, Marlinda pun keluar dari dapurnya, memikul beberapa jerigen seperti yang dilakukan Avelina. 

Mereka kemudian berjalan berdampingan di jalan yang membelah pemukiman itu, ke arah utara. 

Sekitar 10 menit kemudian, keduanya tiba di sumur yang berada persis di samping salah satu rumah warga itu. 

Mereka pun bergantian mengambil air hingga jerigen-jerigen penuh. 

“Ini sumur milik pribadi warga di sini. Tadi kita sudah minta izin untuk ambil air di sini, ” kata Avelina. 

Kalau pemilik sumur itu tidak memberi izin, lanjutnya, “kami terpaksa timba air di kali.”

Kali yang dimaksud Avelina adalah Sungai Wae Buntal yang berada sekitar dua kilometer arah utara Kampung Translok. 

Avelina dan Marlinda sedang mengisi air ke dalam jeriken-jeriken berukuran lima liter di sebuah sumur pribadi seorang warga di Translok.(Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Musim Hujan Konsumsi Air Selokan

Avelina, Marlinda dan 90-an keluarga lainnya mulai tinggal di Kampung Translok sejak 2005 saat Manggarai Timur belum dimekarkan dari Kabupaten Manggarai. 

Saat itu, mereka ikut dalam program transmigrasi lokal yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai, di mana selain mendapat rumah, juga mendapat lahan pertanian berupa sawah. 

Kampung Translok terbagi dalam dua bagian yakni Blok A dan B. Kedua blok itu dipisahkan oleh petak-petak sawah yang juga mengitari pemukiman. 

Di depan rumah-rumah warga, di sisi kiri-kanan jalan di dua blok itu, terdapat selokan. 

“Kalau musim hujan, kami ambil air di selokan ini untuk minum dan mandi, ” ujar Merlinda sembari menunjuk selokan tanpa air itu. 

Saat musim hujan, katanya, “kami minum ‘air kematian’ karena airnya keruh.”

Proyek Air yang Gagal

Merlinda mengatakan; “Saat kami datang dan tinggal pertama kali di sini, pemerintah sudah siapkan rumah dan juga air.”

Warga, kata dia, mulai mengalami kesulitan air sejak 2012, ketika pipa-pipa yang mengalirkan air dari wilayah pegunungan rusak karena berbagai faktor, termasuk kebakaran hutan.

“Sekarang, pipa-pipanya sudah hilang semua. Kami juga tidak tahu, siapa yang ambil,” tuturnya.

Robertus Gadur, 47 tahuh, salah satu warga lain, mengatakan, pada 2016 Pemerintah Desa Golo Lijun membangun bak penampung dan tonggak-tonggak air. 

Namun, proyek itu gagal karena tidak dilanjutkan.

“Sampai sekarang air tidak pernah keluar di tonggak-tonggak itu,” katanya.

“Mungkin karena tidak ada sumber airnya.”

Tonggak air yang dibangun Pemerintah Desa Golo Lijun pada 2016 tidak mengalirkan air sejak selesai dibangun. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Lalu, pada 2018, katanya, ada proyek air Pamsimas.

Pipa-pipa proyek itu, katanya, hanya mengalirkan air selama sekitar tiga bulan.

“Setelah air tidak mengalir, pipa-pipa [proyek Pamsimas] hilang,” ujarnya.

Ia mengatakan, warga telah berulang kali menyampaikan masalah krisis air kepada pemerintah, tetapi hingga kini belum ada tanggapan.

“Saat anggota DPRD datang reses juga kami selalu sampaikan, tetapi tidak pernah ada perhatian sampai sekarang,” katanya.

Di tengah kemarau yang masih terus berlangsung di wilayah Golo Lijun, Avelina, Merlinda, dan ibu-ibu lain di Kampung Translok mengharapkan pemerintah untuk memperhatikan mereka.

“Kami sudah lama menderita karena kesulitan air. Kami minta kebaikan hati pemerintah untuk memperhatikan kami di sini,” kata Avelina.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini