Floresa.co – Bersama istri dan tiga anaknya, Kamelus Muda, 44 tahun, sedang menginap di kebun saat Gunung Lewotobi Laki-laki erupsi pada malam pergantian tahun.
Mereka tinggal di Bawalatan C, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur.
Kebun mereka berada di Dusun Watobuko, Desa Waiula, Wulanggitang, berjarak sekitar empat kilometer dari rumah mereka.
Pada 31 Desember 2023 di kebun perbukitan itu, “sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh sangat kencang,” kata Kamelus mengisahkan erupsi pada malam pergantian tahun.
Suara yang mendesingkan telinga itu membuatnya “segera keluar dari pondok, lalu tampak abu membubung” dari rekahan kawah Lewotobi Laki-laki.
Yang ia bisa lakukan saat itu hanyalah bertahan di pondok.
Kebun mereka berada di perbukitan. Butuh waktu dua jam berjalan kaki dari kampung ke kebun.
Perjalanan pulang memang lebih singkat, tetapi saat itu dini hari dan mereka harus melewati suatu kali yang lebar demi mencapai kampung.
“Saya juga khawatir jika kami memaksa kembali ke kampung, ternyata di sana sudah terendam banjir dari gunung,” kata Kamelus.
Dini hari itu Kamelus sulit tidur. Terpikir kampung yang belum ketahuan nasibnya.
Menyusul ke Kebun
Pagi harinya, sekitar pukul 06.30 Wita, Kamelus kaget karena beberapa sanak keluarganya menyusul ke kebun.
Dari 28 orang yang menyusul, dua di diantaranya adalah sepasang kakek dan nenek berusia kira-kira 90 tahun.
Ignatius Tobi Hayon, 49 tahun, termasuk dalam rombongan tersebut.
Kepada Floresa, Ignatius bercerita kepanikan pada malam pergantian tahun di kampungnya.
Warga Bawalatan, kata dia, mulai panik saat terdengar gemuruh dari arah Lewotobi Laki-laki.
Sedang beribadat malam tutup tahun saat itu, membuat mereka “hilang konsentrasi.” Walaupun suasana terasa mencekam, “kami tetap menyelesaikan ibadat.”
Penutupan ibadat disambut suara petasan dan kembang api, yang sempat membuat warga melupakan suara gemuruh yang sebelumnya terdengar.
Tak lama kemudian, kata Ignatius, datang seorang petugas dari Pos Pengamatan Gunung Lewotobi Perempuan.
Lewotobi Laki-laki dan Lewotobi Perempuan berada pada suatu deretan gunung berapi. Puncak Lewotobi Perempuan berada pada ketinggian 1.703 meter di atas permukaan laut [mdpl], lebih tinggi ketimbang Lewotobi Laki-laki, 1.584 mdpl.
“Kita jangan terlalu ribut [pasang petasan]. Coba dengar itu, gemuruh dari arah gunung berapi,” kata petugas itu seperti dikisahkan kembali oleh Ignatius.
Seketika suara petasan tenggelam, berganti gemuruh bertalun-talun.
Warga kembali panik. “Saya bilang ke istri, selamatkan ijazah anak-anak dan surat-surat penting. Jangan bawa banyak pakaian, kita siap lari sudah,” kata Ignatius.
Namun, ia lalu bingung: “Kami harus lari ke mana?”
Tak ada petugas evakuasi yang terlihat memasuki kampung. Tak terdengar sirene di kejauhan. Tak ada arahan apapun.
Bersama warga lain, ia memutuskan bertahan di kampung hingga subuh sebelum berjalan kaki ke kebun di perbukitan.
Ia mengaku “tak nyaman sebetulnya mengungsi ke kebun. Apalagi jaraknya cukup dekat dengan [puncak] gunung [Lewotobi Laki-laki].”
Ditambah lagi, “kami bawa orang tua mengungsi. Kalau ada apa-apa, siapa harus lebih dulu diselamatkan?”
Ignatius sempat turun ke kampung untuk memberi pakan ternak serta mengecas senter dan ponsel. Ia juga berencana mendapatkan informasi, ke mana orang-orang pergi mengungsi.
Sesampai di sana, katanya, “Bawalatan seperti kampung mati. Tak seorang pun terlihat.”
Ia lalu memutuskan kembali ke kebun.
Ignatius sempat pula menerima kabar sejumlah warga mengungsi ke Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang.
“Saya sebetulnya sudah siap memboyong keluarga ke sana,” kata Ignatius ketika ditemui Floresa pada 9 Januari, “tapi tak tega meninggalkan para tetangga yang memilih bertahan di kebun.”
“Berat hati meninggalkan orang-orang sepuh di kebun,” katanya.
Ia lalu memberanikan diri turun ke kantor Kantor Kecamatan Wulanggitang, sekitar enam kilometer jauhnya.
Di sana ia memohon petugas dapat mengevakuasi lebih dari 30 orang di kebun perbukitan.
Meninggalkan Kebun
Setelah mendapatkan informasi, sebanyak 31 pengungsi terjebak di kebun sejak 1 Januari, tim Search and Rescue [SAR] Gabungan segera mengatur proses evakuasi.
Tim gabungan itu terdiri dari Satuan Brimob Kepolisian Daerah NTT, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan [Basarnas] Maumere, Korps Kepolisian Perairan dan Udara [Polairud] Polda NTT, Palang Merah Indonesia Kabupaten Sikka, dan Mahasiswa Pencinta Alam [Mapala] Universitas Nusa Nipa Maumere Sikka.
“Evakuasi dilakukan sesuai permintaan Kepala Desa Waiula,” kata Wakil Komandan Batalyon B Pelopor, Ajun Komisaris Agustinus Silvester seperti disitir dari Antara pada 9 Januari.
Agustinus menyebutkan puluhan orang itu terjebak di lokasi bernama Lewoduleng, Dusun Watobuko, Desa Waiula. Mereka yang terjebak di kebun terdiri dari 13 laki-laki, 12 perempuan dan enam anak-anak.
Tiga di antaranya menolak dievakuasi karena “harus menjaga ternak.”
“Mereka dalam keadaan sehat,” katanya.
Ignatius mengaku “bahagia setiba di posko pengungsian, karena bisa bertemu sanak keluarga.”
Dievakuasi setelah berhari-hari bertahan di kebun, Ignatius, Kamelus bersama keluarga mereka dibawa ke pos pengungsian di SMPN 1 Wulanggitang. Beberapa lainnya diungsikan ke SD Kemiri.
Jumlah pengungsi terdampak erupsi Lewotobi Laki-laki terus meningkat per 9 Januari 2023. Tercatat 5.057 jiwa kini menempati pos-pos pengungsian.
Aktivitas vulkanis Gunung Lewotobi Laki-laki menguat sejak pemerintah menetapkan status peringatan “Waspada” pada 12 Desember 2023. Usai erupsi pada 1 Januari, pemerintah menaikkan statusnya menjadi “Siaga.”
Pemerintah kembali menaikkan status Lewotobi Laki-laki menjadi “Awas” [Level IV atau tertinggi] pada 10 Januari. “Awas” merupakan level peringatan tertinggi terhadap suatu gunung berapi, yang mengacu pada potensi erupsi besar dalam kurun 24 jam sejak penetapan statusnya.