Peternak di Manggarai Timur Mulai Mencemaskan Penyebaran Virus Babi, Pemerintah Klaim Kekurangan Staf Pengawas

Dinas Peternakan beralasan minimnya petugas lapangan dipicu kebijakan Pemkab pada 2021

Baca Juga

Floresa.co – Di tengah suatu kebun berbukit, Yanuarina Dahu sibuk mengaduk rebusan batang pisang, dedak dan keladi bagi empat babi yang bersahutan menguik. 

“Saya takut mereka mati seperti yang lalu,” kata Yanuarina ketika ditemui Floresa di kebunnya pada 7 Februari. 

Tahun silam seekor induk babi kepunyaannya mati akibat terserang demam babi Afrika [African Swine Fever] atau ASF, virus yang belakangan menyebar di Kabupaten Sikka.

Yanuarina tinggal di Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Manggarai Timur. Borong dan Maumere, ibu kota Sikka, berjarak sekitar 320 kilometer. 

Meski terpaut ratusan kilometer, tetap ia merasa khawatir bila virus ASF terbawa sampai ke desanya. 

Apalagi “banyak warga sini yang pelihara babi,” salah satu alasan yang membuatnya memindahkan keempat babi itu dari pekarangan ke kebun berbukit.

Tak satupun hunian berdiri di dekat kebun yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya itu.

Sumber pakan pun tersedia di sekitar kebun, yang meringankan bawaan Yanuarina dari rumah tiap hendak menengok babinya.

“Saya belum tahu cara ini [memindahkan babi] akan berhasil atau tidak [mencegah penularan virus ASF],” katanya, “sekarang cuma ini yang bisa saya lakukan.”

Ia lalu berjalan mendekati kandang, mengelus seekor babi yang sedari tadi melongok dari celah papan.

Peternak dan Penjual Daging Sama-Sama Resah

Memindahkan ternak babi lebih jauh dari kampung dilakukan Yanuarina karena “hingga kini belum ada sosialisasi dari pemerintah” soal pencegahan penularan virus ASF.

Padahal, “kami berharap mereka lakukan [sosialisasi] supaya kami tahu teknik pencegahannya.”

Selain memindahkan babi, ia juga berusaha dua kali dalam sepekan membersihkan kandang.

Secara terpisah Yanuarina menyemprotkan detergen ke sekitar tempat pembuangan kotoran babi, cara yang juga tak ia ketahui mempan atau tidaknya mencegah penularan virus ASF.

“Orang bilang virus ASF juga menular lewat lalat-lalat yang masuk ke kandang babi dan hinggap di kotoran mereka,” katanya.

Sistem Informasi Kesehatan Satwa Liar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjabarkan beberapa jalur penularan virus ASF. Salah satunya lewat caplak, seperti tercantum dalam situs resminya.

Yanuarina juga melarang siapapun mendekati kandang babi itu, kecuali dirinya. 

Untuk mengantisipasi orang lain mendekati keempat babi ketika dirinya berada di rumah, ia lalu membuat pagar pengitar dari papan kayu yang berjarak dua meter dari kandang.

“Kalau mau lihat babi, dari balik pagar saja,” katanya.

Kecemasan yang sama mulai tebersit dalam pikiran Hubertus Lendang, seorang penjual daging babi di Pasar Borong.

“Kalau sudah menyebar ke Manggarai Timur, terpaksa berhenti dagang,” katanya. 

Tanpa memerinci desa, Hubertus mengaku daging babi dagangannya “dibeli dari peternak di sekitar Manggarai Timur.” Ia mengklaim daging jualannya telah melalui pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan di Rumah Potong Hewan (RPH).

“Kalau aman, bisa potong dan jual dagingnya. Kalau tidak aman, dikembalikan ke pemiliknya,” katanya.

Hubertus Lendang, seorang penjual daging babi di Pasar Borong. (Gabrin Anggur)

Kebijakan Bupati Agas Turut Kurangi Staf

Kepala Bidang Pengendalian Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyaraaat Veteriner dan Perizinan Usaha Peternakan Dinas Peternakan Kabupaten Manggarai Timur, Rofinus Gurundu mengaku sudah mengeluarkan pengumuman resmi terkait pencegahan ASF.

Pengumuman diterbitkan pada 5 Februari, mengacu pada penyebaran virus ASF “yang situasinya darurat.”

Situasi darurat yang disebutkannya merujuk pada pertambahan jumlah kasus kematian babi akibat serangan virus ASF di Sikka.

Sejak Januari hingga 4 Februari, sebanyak 74 ekor babi mati akibat terserang penyakit ASF di empat kecamatan di Sikka. Masing-masing kecamatan Nita [64 ekor], Alok Barat [5], Alok Timur [2] dan Nelle [1].

Berdasarkan kedaruratan itu pula, “kami tak lebih dulu bersurat ke camat atau kepala desa karena prosesnya akan lama.”

Sebaliknya, “pengumuman disebarluaskan kepada peternak melalui petugas penyuluh lapangan di setiap kecamatan.”

Ia juga mengaku sudah mendistribusikan cairan disinfektan yang dibutuhkan dalam sterilisasi kandang babi “bila virusnya menyebar ke Manggarai Timur.”

Disinfektan “telah disalurkan ke beberapa kecamatan,” kata Rofinus tanpa menjabarkan nama-nama kecamatannya.

Merespons desakan peternak supaya pemerintah memperketat jalur distribusi babi antarkabupaten, Rofinus mengaku “kesulitan mengawasi masuknya babi dari luar Manggarai Timur.”

Kendala itu, katanya, mengacu pada “pengurangan tenaga lapangan akibat rasionalisasi Tenaga Harian Lepas.”

Diberlakukan pada 2021 di bawah kepemimpinan Bupati Andreas Agas, pemerintah Kabupaten Manggarai Timur beralasan rasionalisasi dipicu penurunan pagu Dana Alokasi Umum dibarengi kelebihan pegawai di kantor-kantor pemerintahan setempat.

Menurut Rofinus, pengawasan terhadap lalu-lintas ternak “jauh lebih ketat pada 2020” atau setahun sebelum pemberlakuan rasionalisasi.

Pengurangan petugas lapangan menyebabkan “kami kewalahan mengawasi ‘pedagang nakal’ yang menjual babi terinfeksi ASF.”

Ia menyebut Manggarai Timur sebagai “daerah endemi ASF,” mengacu pada kasus kematian per tahun pada babi dalam beberapa waktu belakangan.

Manggarai Timur mencatatkan kematian babi akibat ASF secara berturut-turut sebanyak 680 ekor [2020], 1.296 ekor [2021], 180 ekor [2022] dan 530 ekor [2023].

Jumlah ternak babi di Manggarai Timur pada 2022, atau yang terakhir tercatat oleh Badan Pusat Statistik setempat sebanyak 18.571 ekor.

Laporan kontributor di Manggarai Timur, Gabrin Anggur

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini