Floresa – Keluarga korban kasus pengeroyokan di Manggarai Barat menyatakan kekecewaan terhadap kinerja polisi yang dinilai lamban dan tidak serius memproses hukum terduga pelaku.
Pengeroyokan itu terjadi pada 3 Maret di Kampung Kedol, Desa Nangalili, Kecamatan Lembor Selatan yang membuat korban, Sulaiman, 29 tahun, mengalami luka di sejumlah bagian tubuh.
Meski sudah dilaporkan pada tanggal yang sama ke Kepolisian Sektor Lembor yang diterima Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu, Endro Suseno, kakak kandung korban, Fadlun, kesal dengan respons polisi, yang tidak segera menahan para terduga pelaku.
Padahal, kata dia, kepolisian sudah memeriksa salah satu terduga pelaku, yang kemudian mengakui perbuatannya.
“Menurut kami ini tidak adil, sementara korban mengalami luka-luka yang mengakibatkannya belum bisa kembali bekerja,” katanya.
Indikasi lain terkait ketidakseriusan polisi, kata Fadlun, adalah tidak segera mengambil hasil visum korban.
Ia mengatakan mendapat informasi itu dari Puskesmas Wae Nakeng pada 6 Maret, yang menyatakan “belum ada petugas kepolisian yang datang untuk mengambil hasil visum.”
Kronologi
Fadlun, 33 tahun, yang menghubungi Floresa pada 5 dan 6 Maret menjelaskan, pengeroyokan terjadi saat korban bersama ayah mereka sedang membereskan kursi di rumah seorang kerabat yang baru saja melangsungkan pesta pernikahan.
Acara itu selesai sekitar pukul 16:30 dan selang 30 menit kemudian korban tiba-tiba dipukul dari arah belakang oleh empat orang, katanya.
Pukulan itu, jelas Fadlun, membuat adiknya terjatuh.
Beberapa orang lain, kata dia, juga memukul dari arah depan saat korban dalam posisi tidak berdaya, tambahnya.
Para pelaku kemudian melarikan diri, yang sempat dikejar oleh ayahnya, meski tidak berhasil.
Ia menjelaskan, keluarga langsung melaporkan kejadian ini ke Polsek Lembor pada 3 Maret sekitar pukul 18.20 WIB.
Merespons laporan itu, kata dia, korban langsung dibawa ke Puskesmas Wae Nakeng untuk visum.
Berdasarkan foto-foto korban yang diterima Floresa, ia terlihat mengalami luka sobek di bawah mata kanan dan satu di alis mata kanan. Bagian dalam matanya juga tampak berwarna merah dan bengkak.
Fadlun mengatakan, akibat penganiayaan itu, adiknya belum kembali bekerja karena matanya mengalami gangguan penglihatan.
“Penglihatan kabur, matanya terasa perih,” ujarnya.
Kepala Desa Nangalili, Alvin Husen yang berbicara pada Floresa pada 6 Maret menyatakan mengetahui peristiwa itu, namun tidak menyaksikannya secara langsung.
Ia mengaku hadir dalam acara pesta pernikahan sebelum penganiayaan terjadi, tapi pulang setelah makan siang.
“Sore hari saya dikabari ada kejadian itu,” katanya.
Satu Pelaku Sudah Ditahan
Husen berkata, pada 4 Maret, ia meminta W, salah satu terduga pelaku yang sudah teridentifikasi, untuk kooperatif dengan mendatangi kantor polisi.
“Saat itu juga dia ke kantor polisi,” ujarnya.
Namun, Husen berkata W mengaku tak mengenal pelaku lainnya.
Penjelasan Husen senada dengan pengakuan Kepala Polsek Lembor, Yostan Alexanderia Loban yang berbicara dengan Floresa pada 5 Maret.
Yostan berkata, selain sudah menginterogasi korban dan saksi terlapor, juga menginterogasi W pada 4 Maret.
Yostan berkata W mengakui memukul korban sebanyak dua kali hingga luka.
Namun, kata dia, W mengklaim tidak mengenal pelaku lain yang datang bersamanya – sama seperti penjelasan Husen.
Pernyataan Polisi yang Berubah-ubah
Yostan sempat berkata pada 5 Maret belum bisa menahan terduga pelaku karena kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.
Hal yang sama juga ia sampaikan dalam percakapan telepon dengan Floresa pada 6 Maret.
Namun, setelah Floresa mendapatkan informasi dari salah satu sumber bahwa W sudah ditahan dan kembali menghubungi Yostan menanyakan kebenaran informasi itu, ia membenarkan W sudah ditahan pada 5 Maret.
Sementara perihal belum diambilnya hasil visum, seperti pengakuan Fadlun, ia berkata ada beberapa hal yang harus dilengkapi, meski tidak menjelaskan secara rinci.
Editor: Peter Dabu