Jaringan HAM Sikka Ungkap Sejumlah Dugaan Bukti Keterlibatan Caleg Terpilih dalam Kasus TPPO: dari Aktif Merekrut, Palsukan Dokumen Tiket, hingga Atur Perjalanan

Caleg DPRD Sikka terpilih Yuvinus Solo dan isterinya dilaporkan ikut memberangkatkan dan menemani warga Sikka sampai ke Kalimantan, sementara dari manifes keberangkatan ada yang menggunakan tiket atas nama orang lain

Floresa.co – Jaringan HAM Sikka, forum yang terdiri dari para imam Katolik, suster dan aktivis, mengungkap sejumlah bukti keterlibatan Caleg terpilih dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] yang menyebabkan seorang diantaranya meninggal.

Selain langsung mendampingi Maria Herlina Mbani, istri dari Yodimus Moan Kaka atau Jodi, korban yang meninggal pada akhir Maret di Kalimantan Timur karena kelaparan, jaringan ini juga turut berperan dalam memulangkan tujuh korban lain yang ditelantarkan dan mencari bukti-bukti dugaan keterlibatan calo perekrut.

Para korban dilaporkan direkrut dan diberangkatkan oleh Yuvinus Solo atau Joker dan jaringannya. Joker juga merupakan Caleg terpilih DPRD Sikka dari Partai Demokrat.

Jaringan HAM Sikka sempat mendatangi Polres Sikka pada 13 Mei, menanyakan perkembangan penanganan kasus ini yang dinilai lamban, meskipun menurut mereka bukti-bukti dugaan keterlibatan Joker kian terang.

Apa Saja Bukti yang Mereka Sampaikan?

Jodi berangkat melalui Pelabuhan Lorens Say Maumere pada 13 Maret, bagian dari rombongan 72 orang yang diduga direkrut Joker.

Dalam pernyataan pada 9 April, Joker mengklaim hanya merekrut 32 orang, tidak termasuk Jodi. Ia juga mengklaim bahwa 32 orang itu masih memiliki hubungan keluarganya dengannya dan mereka ke Kalimantan atas kemauan sendiri.

Joker (kedua dari kanan) hadir dalam konferensi pers bersama kuasa usai menjalani pemeriksaan di Polres Sikka pada 9 April 2024. (Tribun Flores)

Namun, Jaringan HAM Sikka mendapati sejumlah bukti yang berkebalikan dengan klaim Joker.

Mereka menyebut, Joker dan istrinya berperan memberangkatkan dan mendampingi para korban sejak mereka dari Kampung Likot, Desa Hoder, Kecamatan Waigete hingga tiba di PT BCPA Rayon D di Lendian Liang Nayuq, Kecamatan Siluq Ngurai,  Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.

Jaringan menyebut, “ada tangan-tangan yang berperan memberangkatkan” para korban, juga menerima mereka di Kalimantan.

Yuvinus Solo dan istrinya disebut berperan langsung membeli tiket kapal, dan membiayai transportasi Jodi dari Likot ke Pelabuhan Lorens Say.

Biaya perjalanan itu, kata Jaringan HAM Sikka, sejumlah Rp500.000 yang ditransfer ke rekening istri Jodi, Maria Herlina Mbani, pada 12 Maret.

Joker dan istrinya,juga mengatur perjalanan para korban hingga Kalimantan dan ke tempat mereka ditempatkan.

Mereka menyinggung kesaksian Petrus Arifin, salah satu korban yang selama di Kalimantan berada bersama Jodi bahwa Joker ikut mengantar mereka dari Balikpapan menuju Kota Bangun, hingga tiba di  Simpang Kalteng.

Joker dan istrinya, kata mereka membayar uang makan juga berkomunikasi dengan pihak perusahaan terkait korban, baik mengenai pekerjaan maupun urusan kesehatan dan kepulangan Jodi.

Selain Joker dan isterinya, nama Pilius disebut oleh para korban sebagai kaki tangan Joker yang bekerja secara langsung di lapangan untuk melakukan proses perekrutan yang terjadi pada awal Maret. 

Pilius dibantu oleh orang lain bernama Senut yang juga bertugas mengajak dan menghubungi serta mengumpulkan KTP untuk pembelian tiket para korban. 

“Korban Hendrikus Hendra diajak dan dikumpulkan KTPnya oleh Senut pada bulan Januari.”

Pilius dan Senut, juga “menyampaikan janji  dan informasi tentang keberangkatan, pekerjaan, upah, siapa yang membeli tiket dan menyerahkan tiket.”

Pilius adalah juga orang yang disebut istri Jodi, Maria Herlina Mbani,  merekrut Jodi dan menjanjikan pekerjaan di Kalimantan.

Maria berkata dalam wawancara dengan Floresa pada 5 April, Pilius memberitahu suaminya untuk kerja di Kalimantan, di mana “makan minum di sana akan dijamin.”

“Kamu ke sana tinggal kerja,” kata Pilius seperti diulang Maria, yang juga memberitahu bahwa Joker akan menanggung tiket kapal dan biaya lainnya.

Gunakan Tiket Atas Nama Orang Lain

Demi meloloskan para korban menuju Kalimantan, Jaringan HAM Sikka juga menemukan aksi perekrut yang memanipulasi tiket.

Jaringan menyebut dua korban, Heronimus Yan Yoli dan Heribertus Kos Gaubinto, didaftarkan menggunakan KTP orang lain saat membeli tiket.

“Tiket Heronimus Yan Yoli dan Heribertus Kos Gaubinto bukan tiket atas nama mereka, tetapi milik orang lain.”

Yoli diserahkan amplop berisi tiket dan KTP atas nama Novensius Yosef, sementara Gaubinto tiket dan KTP atas nama Yosef Arian Yoris. 

Nama Novensius Yosef dan Yosef Arian Yoris yang kemudian ada dalam data penumpang atau manifes keberangkatan dari Pelabuhan Lorens Say menuju Balikpapan pada 13 Maret.

Pihak Lain yang Juga Memfasilitasi

Selain Yuvinus dan istrinya, Jaringan HAM Sikka juga mengungkap peran Istanto alias Yanto sebagai penerima dan pengatur perjalanan para korban dari Simpang Kalteng menuju Kamp Baru, selanjutnya ke PT BCPA Rayon D.

“Dia mengajari korban kalau sampai di tempat yang namanya Kamp Baru dan ada yang bertanya, jawab saja, ‘Kami ini tersesat’”.

Selain itu, jaringan menyebut Yanto atas perintah Joker mengajak untuk mencarikan pekerjaan lain saat korban ada di pondok, tempat mereka tinggal. Di pondok inilah, menurut kesaksian korban, mereka tidak diberi makan beberapa hari, hingga Jodi menderita sakit.

Staf perusahaan PT BCPA  yaitu  Delvi Sembiring dan Danil, menurut Jaringan HAM Sikka, juga ikut berperan menerima korban di PT BCPA Rayon D.

Delvi dan Danil juga disebut membangun komunikasi dengan Joker, baik mengenai pekerjaan maupun urusan kesehatan dan kepulangan Jodi.

“Mereka turut menampung, menerima, menyiapkan akomodasi dan konsumsi untuk para korban dari tanggal 16 hingga 19 Maret serta merawat Jodi waktu sakit,” menurut Jaringan HAM Sikka.

Petrus Arifin (paling kanan) bersama beberapa pekerja lainnya berada di sebuah pondok, tempat mereka bekerja di Kalimantan Timur. (Dokumentasi Petrus Arifin)

Unsur TPPO Terpenuhi

Jaringan berkata, selain dari fakta-fakta tersebut, keterangan dan bukti surat berupa tiket, rekening milik isteri dari almarhum Jodi, tentu ada bukti lain yang telah dikantongi penyidik yang memperkuat dugaan bahwa dalam kasus ini telah terjadi TPPO.

Mereka menyatakan, ada “unsur perbuatan merekrut, memberangkatkan dan menerima sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan penjelasan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO.”

“Penjelasan pasal 2 ayat (1) menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat,” kata mereka.

Bukti ini, menurut Jaringan HAM Sikka, “sudah cukup berguna bagi penyidik menemukan tersangkanya.”

“Keterangan para korban tentang peran masing-masing orang dalam seluruh rangkaian perjalanan para korban dari kampung asalnya sampai terlantar di PT BCPA sudah membuat terang siapa-siapa yang patut dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini.”

Dinas: Perekrutan Orang-perorangan Jelas Ilegal

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sikka, Valerianus Samador Conterius berkata kepada Floresa, perekrutan tenaga kerja dalam kasus ini “jelas ilegal.”

Ia berkata, perekrutan calon tenaga kerja seharusnya melalui badan usaha resmi dan melalui beberapa proses untuk mendapatkan dokumen sebelum diberangkatkan.

“Dari kasus yang terjadi, kan perekrutannya secara orang perorangan. Dalam aturan, tidak ada seperti itu. Perekrutan harus melalui proses resmi. Jika perekrutan tenaga kerja orang perorangan, berarti illegal,” katanya.

Menurutnya, proses yang dilakukan oleh Joker tidak melalui aturan maupun tahapan-tahapan yang wajib diikuti oleh perusahaan yang merekrut, maupun para calon pekerja yang akan direkrut.

“Ini merupakan  TPPO karena identitas perekrutannya kita tidak tahu, perusahaan tempat tujuan pun tidak kita ketahui,” kata Conterius pada 13 Mei.

Ia menjelaskan, sesuai aturan, semua perusahaan perekrut tenaga kerja mengantongi ijin operasional dari Kementerian Tenaga Kerja. 

“Untuk merekrut di wilayah NTT, mereka harus mengantongi rekomendasi dari gubernur melalui kepala dinas yang membidangi tenaga kerja di NTT.”

“Dengan dasar itu mereka bawa ke kami dan kami bisa menerima mereka untuk merekrut tenaga kerja di Kabupaten Sikka.”

Setelah perekrutan, kata dia, “sebagai kepala dinas, tentu saya akan periksa surat perjanjian kerja dan saya ikut tanda tangan.”

“Saya periksa dokumen itu dan akan saya bacakan di hadapan mereka, apa hak dan kewajiban mereka. Upahnya berapa, hak cuti bagaimana. Hal-hal itu akan mereka dengar sebelum resmi berangkat ke tempat kerja.”

“Jadi sebelum berangkat dia sudah tahu gajinya berapa, fasilitasnya di sana seperti apa, tinggal di mana.”

Di samping itu, kata dia, calon tenaga kerja juga tidak serta merta berangkat karena perusahaan akan mengadakan sosialisasi untuk membekali mereka pengetahuan tentang pekerjaan apa yang akan dilakukan.

“Nah, kalau hal yang dilakukan oleh Joker ini kita bisa simpulkan sendiri. Apakah sesuai prosedur atau tidak?” katanya. 

Komnas HAM Dukung Tindakan Tegas

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM di Komnas HAM, Anis Hidayah berharap perlu tindakan tegas terhadap pelaku TPPO di wilayah NTT yang masuk daerah dengan kategori darurat perdagangan orang.

Ia berkata, kasus TPPO yang berulang dipicu oleh lemahnya penegakkan aturan di setiap level pemerintahan.

Dalam berbagai penanganan kasus TPPO di tingkat provinsi maupun kabupaten, sebenarnya terdapat beberapa kebijakan atau peraturan daerah yang mengaturnya sebagai upaya pencegahan agar tidak terulang, kata Anis.

“Kebijakan sudah tersedia tetapi implementasinya sangat minim, terutama dalam pencegahannya sehingga masyarakat tidak tersosialisasi dengan baik,” katanya kepada Floresa pada 13 Mei.

Di sisi  lain, ia menyoroti kendala dalam penanganan dan penyelesaian pelaku TPPO, terutama jika pelakunya merupakan aktor negara atau oknum pemerintahan.

Dalam kasus-kasus demikian, kata dia, “penyelesaian hukumnya seringkali divonis ringan.“

Padahal, dalam Undang-undang TPPO dinyatakan bahwa jika pelakunya adalah aktor negara “mestinya ada pemberatan, ditambah sepertiga dari hukuman yang diberikan.”

Belum Ada Tersangka

Dalam kasus dugaan TPPO di Sikka yang dilaporkan pada awal April, polisi belum menetapkan tersangka.

Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] cabang Maumere menggelar unjuk rasa pada 13 Mei di depan kantor Polres Sikka, mendesak Kapolres AKBP Hardi Dinata mundur jika tidak bisa menuntaskan kasus ini.

Aksi itu sempat diwarnai kericuhan dengan polisi.

PMKRI mendesak pencopotan Kapolres Sikka dalam aksi unjuk rasa pada 3 Mei 2024 karena dinilai gagal menuntaskan kasus dugaan TPPO. (Maria Margaretha Holo/Floresa)

Kepala Seksi Humas Polres Sikka, AKP Susanto berkata kepada Floresa, polisi telah memeriksa sejumlah saksi, baik saksi di Maumere maupun saksi yang tiba dari Kalimantan. 

“Termasuk dari saksi ahli pun sudah dilaksanakan pemeriksaan,” katanya kepada Floresa.

Ia berjanji polisi akan melakukan gelar perkara “untuk penanganan selanjutnya.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA