Floresa.co – Sejumlah aktivis kemanusiaan mendesak Polres Sikka di Flores mengusut tuntas kasus dugaan perdagangan orang yang memicu tewasnya satu warga karena kelaparan saat sedang bekerja di perusahan sawit di Kalimantan.
Kepala Seksi Humas Polres Sikka, AKP Susanto berkata kepada Floresa kasus ini telah naik ke tingkat penyidikan, usai mereka memeriksa enam orang.
Kasus ini ramai dibicarakan usai Yodimus Moan Kaka atau Jodi, 40 tahun, warga Desa Hoder, Kecamatan Waigete meninggal dunia karena kelaparan di tempatnya bekerja di Provinsi Provinsi Kalimantan Timur.
Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit pada 28 Maret. Karena ketiadaan biaya untuk membawa jenazahnya ke kampung halaman, keluarga bersepakat menguburkannya di Kalimantan sehari setelahnya.
Yuvinus Solo [YS] yang juga dikenal dengan nama Joker diduga menjadi calo yang merekrut dan mengirim tenaga kerja tersebut, termasuk Jodi, sebagaimana pengakuan keluarga Jodi. Joker merupakan caleg DPRD Sikka terpilih dari Partai Demokrat.
Berbicara kepada Floresa pada 10 April, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Maumere, Kornelius Wuli, berharap Polres Sikka segera menahan terduga pelaku atau “calo kematian” dalam kasus dugaan sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] ini.
“Polres Sikka, dalam menjalankan proses penegakan hukum, harus bekerja secara maksimal sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan memberi keadilan bagi para korban,” katanya.
Ia berkata, sejak mendapat laporan kasus ini, “kami sudah beberapa kali bertemu keluarga korban.”
“Ada fakta yang kami temukan di sana [terkait dugaan TPPO] dan kami minta kasus ini diusut sampai tuntas,” katanya.
Ia menyatakan, dalam kasus ini Pemerintah Kabupaten Sikka telah gagal menjalankan amanat Perpres No 49 Tahun 2023 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Karena itu, katanya, pemerintah wajib memperhatikan keselamatan para korban lainnya yang saat ini masih berada di Kalimantan.
“Kami berdiri bersama korban dan menuntut keadilan bagi mereka,” kata Kornelius.
Sementara Gabriel Goa Sola, Ketua Tim Lobi dan Advokasi Zero Human Trafficking Network dan Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang berkata, “miris dan sedih” dengan kasus ini.
Karena itu, ia mendesak Kapolres Sikka yang merupakan Ketua Harian Gugus Tugas Penanganan TPPO di tingkat kabupaten memproses kasus ini “tanpa pandang bulu.”
Selain itu, Gabriel, yang juga Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian [Padma], mendesak pimpinan partai politik – tempat bernaung Caleg yang diduga terlibat – untuk menghormati dan menjunjung tinggi penegakan hukum, tanpa intervensi atau intimidasi.
“Kalau memang terbukti, segera diberhentikan tidak dengan hormat,” katanya.
“Kami juga mengajak seluruh masyarakat pegiat anti perdagangan orang di manapun berada untuk mengawal proses ini bersama pers.”
Gabriel juga berharap anggota DPR-RI dari Dapil NTT 1 agar punya sense of emergency terhadap rakyat yang mengalami TPPO dan mendesak mereka ikut menyokong pembentukan balai latihan kerja profesional di wilayah NTT.
“Mereka jangan hanya jadi orang-orang yang datang, duduk, dengar, diam dan tidak berbuat apa-apa untuk rakyatnya di NTT. Karena NTT darurat human trafficking, maka anggota DPR dan DPD terpilih dari NTT proaktif atasi dan cari solusi,” katanya.
Gabriel juga mendesak Pemerintah Kabupaten Sikka segera menerbitkan Peraturan Bupati tentang Gugus Tugas Pencegahan Penanganan TPPO dan Migrasi Aman, mengingat layanan terpadu satu atap sudah terbentuk di daratan Flores-Lembata.
“Layanan tersebut hanya ada di Maumere dan harus segera diberdayakan, bukan dibiarkan terlantar.”
Ia menyatakan, dengan kasus yang terus berulang, penanganan human trafficking di NTT masih dalam wacana, tanpa ada aksi nyata.
“Fakta membuktikan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, lalai, bahkan melakukan pembiaran yang masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Pemerintah, kata dia, seharusnya bekerja maksimal menyiapkan sarana prasarana prasyarat yang mendukung persiapan pencari kerja, terutama memastikan mereka memiliki kompetensi dan keterampilan khusus.
Dikirim ke Kalimantan Secara Ilegal
Jodi meninggalkan isteri dan dua anaknya di Sikka pada 12 Maret. Ia membawa serta anak laki-lakinya, Aloysius Engkis Kurniawan, 19 tahun.
Mereka meninggalkan Pelabuhan Lorens Say, Maumere pada 13 Maret bersama rombongan berjumlah puluhan orang, semuanya warga Sikka.
Maria Herlina Mbani, 41 tahun, istri Jodi, mengakui “hidup kami susah sekali,” alasan yang membuat suami dan anaknya merantau.
“Saya akan terlebih dahulu kirim uang untuk beli beras supaya kamu dan anak-anak jangan lapar,” kata Maria, menirukan ungkapan Jodi, sebelum berangkat.
Maria berkata, kurang lebih dua minggu sebelum Jodi dan anaknya pergi, seseorang bernama Pilius membujuk mereka. Pilius mengaku bekerja untuk Joker, katanya.
Maria berkata, Pilius memberitahu suami dan anaknya untuk kerja di Kalimantan, di mana “makan minum di sana akan dijamin.”
“Kamu ke sana tinggal kerja,” kata Pilius, yang juga memberitahu mereka bahwa Joker akan menanggung tiket kapal dan biaya lainnya.
Maria mengaku tak pernah bertanya di perusahaan mana suami dan anaknya akan bekerja dan apakah perjalanan mereka mengantongi izin resmi atau tidak.
“Kami tidak berpikir sampai di situ. Kami hanya tahu kalau kerja ke Kalimantan berarti kerja di perusahaan sawit,” kata Maria.
Nong, warga Desa Hoder berkata ia sempat bertanya kepada Jodi dan rombongan, apakah mereka mengenal Joker.
“Saya tanya, ‘Siapa yang rekrut kamu? Mereka jawab, ‘Joker yang rekrut.’ ‘Kamu tahu kah Joker itu siapa?’ Mereka bilang, ‘Joker itu Pak Yuvinus, [anggota] DPRD yang terpilih baru-baru ini,” kata Nong.
Ia berkata, meskipun mengetahui nama Joker maupun Yuvinus, mereka mengakui tidak pernah bertemu dengannya.
Petrus Arifin atau Ari, 38 tahun, warga Kampung Galit, Desa Habi, Kecamatan Mapitara yang ikut dalam rombongan bersama Jodi dan masih berada di Kalimantan sempat berbicara dengan Floresa via sambungan telepon pada 6 April.
Ia mengakui “terjadi beberapa hal janggal dalam proses perekrutan hingga perjalanan kami dari Maumere ke Kalimantan.”
“Awalnya mereka [perekrut] datang dan beritahu kalau mereka cari tenaga kerja untuk perusahan sawit di Kalimantan, atas nama Joker,” kata Ari.
Ia berkata, ketika berada di Pelabuhan Lorens Say Maumere, mereka yang tergabung dalam rekrutan Joker berjumlah puluhan orang.
Saat hendak naik ke kapal KM Lambelu, kata Ari “kami disuruh tidak boleh kerumunan, jalan harus pisah-pisah karena nanti ketahuan.”
Joker, kata dia, juga tidak ikut naik kapal itu. Joker memberitahu mereka bahwa “banyak yang mengincar dirinya, sehingga ia memutuskan untuk naik kapal di Pelabuhan Larantuka.”
Joker kemudian bercerita kepada beberapa korban termasuk Ari bahwa “ia harus membayar polisi lima juta,” agar keberangkatan mereka sebagai tenaga kerja ilegal tidak ketahuan.
“Polisinya bilang, ‘Bapak naik kapal di Larantuka saja, jangan di sini,’” kata Ari menirukan ucapan Joker.
Akhirnya, kata dia, Joker pun naik kapal lewat Larantuka.
Tiba di Pelabuhan Kota Balikpapan, kata Ari, mereka melanjutkan perjalanan hingga ke daerah yang ia sebut ‘Simpang Kalteng,” dan dipisahkan dalam dua kelompok.
“Kami yang satu bus kemudian diberangkatkan dari Simpang Kalteng menuju satu tempat yang mereka sebut Kamp Baru,” kata Ari.
“Kami malah dititipkan lagi kepada orang lain yang tidak kami kenal, namanya Yanto.”
Yanto berkata kepada rombongan tersebut, “sampai di Kamp Baru, kalau ada orang tanya, bilang saja ‘kami ini nyasar.””
Tiba di Kamp Baru, kata Ari, rombongan yang terdiri dari sembilan orang, termasuk Jodi, dipindahkan ke beberapa tempat dan tinggal di pondok.
Berada di pondok tersebut, mereka tidak dibekali peralatan dapur maupun bahan makanan. Lampu dan peralatan tidur pun tidak disediakan. Ari dan teman-temannya hanya diberi peralatan untuk kerja.
Ia berkata, “hari-hari pertama kami masih dapat makan, tetapi beberapa hari kemudian kami diberi makan nasi basi.”
“Kami makan hanya pagi hari, makan siangnya jam setengah sepuluh malam. Setelah itu kami tidak dapat jatah makanan lagi,” katanya.
Karena kelaparan itulah, kata dia, membuat Jodi sakit, lalu meninggal.
Dalam wawancara pada 5 April dengan Floresa, Didimus Rusman, salah satu perwakilan keluarga Joker mengakui Joker yang merekrut para korban dan menyampaikan ada upaya damai dengan keluarga korban, usai kasus ini mencuat.
“Kasus ini terjadi di dalam lingkaran keluarga saja. Baik saya, YS dan Jodi masih memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat,” katanya.
Jadi, kata dia, “YS meminta saya untuk memediasi,” yang dilakukan saat anak Jodi sudah kembali ke Sikka.
Didimus berkata tidak memiliki hak untuk memaksa berdamai, tetapi hadir untuk mempertemukan pihak keluarga korban dan Joker.
Joker Bantah Terlibat
Polres Sikka telah memeriksa Joker atau YS pada 9 April.
Dalam keterangan pers sebelum pemeriksaan, kuasa hukumnya, Dominikus Tukan dan Alfons Hilarius Ase, membantah keterlibatan kliennya.
Dominikus mengklaim sembilan tenaga kerja yang terlantar di Kalimantan Timur, termasuk Jodi, bukan merupakan rekrutan YS.
Dominikus berkata YS hanya mengirim 32 tenaga kerja, kendati mengakui tidak melalui prosedur legal pengiriman tenaga kerja keluar daerah atau tidak berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sikka.
“Urusan prosedural atau non prosedural itu harus dari pihak yang mempunyai kewenangan untuk menilai, tidak bisa kami menilai itu,” katanya.
Menurutnya, 32 orang itu berasal dari Kecamatan Mapitara dan mereka yang meminta kepada YS untuk dibawa untuk bekerja di Kalimantan.
Kebetulan, katanya, YS mempunyai kenalan di sebuah perusahan perkebunan sawit PT. PCPA, dimana YS pernah bekerja selama 18 tahun.
Dominikus berkata, pernyataan keterlibatan kliennya dalam kasus ini sepihak dan banyak hal yang secara hukum tidak benar, yang patut dipertanggungjawabkan.
“Ada penggiringan opini yang begitu luas terkait kasus ini,” katanya, “tapi selaku kuasa hukum, kami nyatakan bahwa Polres Sikka belum menetapkan klien kami melakukan pelanggaran dalam pasal apapun dan belum menetapkan tersangka dalam kasus ini.”
Kata Dominikus, “klien kami tidak pernah merekrut siapapun untuk ke manapun.”
Ia menekankan YS sebatas diminta “mencari pekerjaan dengan jumlah [pekerja yang direkrut] tidak sebagaimana pernyataan-pernyataan pers sebelumnya.”
“Atas berbagai pernyataan itu klien kami akan segera menentukan langkah hukum,” katanya.
Dominikus menambah, 32 orang yang dikirim YS sebagian besar adalah keluarga dan sebagiannya lagi tim yang bekerja meloloskan YS sebagai anggota DPRD Sikka terpilih.
Dominikus juga membantah bahwa alasan YS yang tidak ikut naik kapal di Maumere bersama rombongan karena ada yang mengincar pergerakannya.
“Sebenarnya naik kapalnya di Maumere, tetapi karena ada urusan keluarga di rumah, makanya mereka terlambat sampai ke Pelabuhan Lorens Say, sehingga mereka mengejar untuk naik kapal di Larantuka.”
Ia juga berkata YS menanggung tiket untuk 32 orang itu sebesar Rp 20an juta.
Kuasa hukum YS lainnya, Alfons Hilarius Ase berkata, merujuk pada UU Nomor 21 Tahun 2007, TPPO harus memenuhi tiga unsur, yakni proses, cara dan eksploitasi.
“Proses berarti bagaimana menawarkan. Klien kami tidak pernah menawarkan atau menjanjikan apapun, sehingga dari fakta dan hukum, sesungguhnya tidak ada TPPO.”
Alfonsus menambahkan bahwa berbagai pemberitaan yang tidak didasari dengan fakta dan tidak didukung bukti hukum adalah “bentuk pembunuhan karakter terhadap klien kami sesungguhnya.”
“Jadi, kami tegaskan bahwa keberadaan Jodi dan seorang anak yang berusia 17 tahun di Kalimantan tanpa sepengetahuan klien kami,” katanya, merujuk salah satu tenaga kerja, Yohanes Ranolius Dulo yang berusia 17 tahun dan ikut dalam rombongan.
Ia berkata, Joker hanya mengurus keluarganya “yang meminta bekerja di sana.”
“Kalau mereka meminta, berarti tidak ada proses perekrutan dan tidak ada proses untuk menawarkan,” katanya.
TRUK-F Meyakini Ada ‘TPPO’
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan – Flores [TRUK-F], lembaga kemanusiaan milik Gereja Katolik berbasis di Maumere sedang mengadvokasi kasus ini.
Menanggapi klaim pengacara Joker, TRUK-F menyebut bahwa mereka tetap menduga kuat ada keterlibatannya.
Ketua Tim Hukum TRUK-F sekaligus Kuasa Hukum Maria Herlina Mbani, istri Jodi, Falentinus Pogon berkata pernyataan pengacara Joker yang hendak memproses secara hukum pihak-pihak yang memberi keterangan ke media merupakan “gertak sambal.”
Jika yang dimaksud pengacara Joker adalah TRUK-F, kata dia, silahkan memprosesnya “karena pernyataan dia itu untuk kepentingan klien dia.”
“Kita berbicara dari keterangan yang diberikan korban dan untuk kepentingan korban,” kata Falentinus.
Ia menjelaskan, TRUK-F meyakini ada keterlibatan Joker, merujuk pada tiga fakta yang sedang diselidiki Polres Sikka.
Salah satunya, kata dia, adalah soal Joker yang berangkat bersamaan dengan korban.
“Walaupun dia naik di Larantuka, tetapi menurut manifes, tercatat dirinya naik di Maumere,” katanya.
Perbedaan data manifes ini terkonfirmasi dari data keberangkatan KM Lambelu dari Pelabuhan Lorens Say Maumere per 13 Maret, yang mencatat nama Joker dan beberapa nama lainnya yang diduga dibiayai Joker.
Sementara manifes keberangkatan penumpang KM Lambelu dari Pelabuhan Larantuka tidak tertera nama Joker.
Falentinus mempertanyakan alasan perbedaan antara manifes dan keterangan tempat keberangkatan Joker.
Seharusnya, kata dia, jika manifes tercatat di Maumere, dia naiknya di Maumere, bukan di tempat lain.
“Kenapa naiknya di Larantuka?” katanya.
Falentinus juga menyoroti besaran dana yang dikeluarkan Joker untuk membiayai perjalanan para pekerja ke Kalimantan Timur.
Ia mempertanyakan “niat baik” Joker tersebut karena “mengapa hanya sebatas membelikan tiket, tapi tidak bertanya bahkan mengurus secara benar, secara prosedur.”
“Kenapa niat baik ini hanya sepotong, hanya membelikan tiket, tetapi mengatur prosedurnya tidak dibuat,” katanya.
“Ini menjadi tanda tanya, apalagi dia seorang wakil rakyat terpilih,” tambah Falentinus.
Ia mempertahankan argumen soal dugaan keterlibatan Joker, menyebutnya “bukan fitnah.”
“Fakta ini tidak bisa digoyang lagi. Mau diputar, mau dibolak-balik, tidak bisa digoyang, karena mereka sendiri yang omong,” kata Falentinus.
Ia juga menyoroti upaya damai dari pihak Joker yang ia sebut sebagai salah satu fakta dugaan keterlibatannya.
Demi Kemanusiaan
Falentinus berkata keterlibatan TRUK-F dalam kasus ini didasari rasa kemanusiaan dan bagian dari upaya menjalankan kuasa yang dijalankan oleh negara berdasarkan pasal 60 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
UU itu, kata dia, mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanganan korban TPPO.
“Begitu pun peran serta kami sejauh mana diatur di situ. Pasal 60 ayat 22 [mengatur tentang] memberikan informasi, melaporkan, juga turut serta untuk menangani korban,” kata Falentinus.
Ia berharap, aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat juga punya sikap yang sama dalam upaya pemberantasan TPPO.
TRUK-F, katanya, akan terus mengawal kasus ini, baik dari sisi penanganan korban, maupun dari proses hukum dugaan TPPO.
“Siapa yang menghalangi, kita lawan. Kita tidak tanggung-tanggung lagi,” katanya.
Editor: Ryan Dagur