Floresa.co – Adrianus Jehalut bangun subuh, lalu bersiap-siap ke kebun yang berjarak dua kilometer dari rumahnya di Ntaur, kampung pada lereng Pegunungan Watu Galang, Kabupaten Manggarai Timur.
Pada 3 November itu, ia hendak menyuling sopi, minuman keras lokal hasil penyulingan nira atau tuak bakok dalam bahasa setempat dari pohon aren.
Ntaur, yang tercakup dalam Desa Sano Lokom, Kecamatan Rana Mese dikenal sebagai salah satu kampung penghasil sopi di Manggarai Timur karena banyaknya keluarga yang memproduksi minuman ini.
Pagi itu, Adrianus, 51 tahun, mempersiapkan peralatan kerja, seperti jeriken dan pante, pisau kecil dan tajam untuk mengiris mayang pohon aren.
Menaruh pante di dalam sarung lalu mengalungkannya di leher, ia menenteng jeriken di tangan kanan.
“Ini wadah untuk menadah sopi,” katanya, sembari sedikit mengangkat jeriken jumbo berukuran 40 liter itu.
Butuh 30 menit untuk tiba di kebunnya.
Sementara pada hari lain Adrianus ke kebun pada pukul 07.00 Wita, pagi itu ia berangkat dua jam lebih awal agar cukup waktu untuk menyuling sopi yang butuh berjam-jam.
Sebelum beranjak dari rumah, ia berpesan agar kedua anak perempuannya ke kebun pada siang hari untuk membantunya mengangkut sopi.
“Saya sudah tidak mampu membawa sopi satu jeriken jumbo seperti waktu muda,” kata ayah lima anak itu.
Rosalia Natil, istrinya menyusul ke kebun pada pukul 08.00 Wita, lalu kedua anaknya pada siang hari, seturut permintaannya.
Floresa ikut ke kebun itu bersama dua anak perempuannya.
Perjalanan ke sana melewati jalan naik turun dan berkelok-kelok, melintasi Bucak, nama salah satu lahan ulayat warga Ntaur.
Mencium wangi sopi di Bucak, Ista, salah satu anak Adrianus berkata, ada warga lain yang juga “masak sopi hari ini.”
Adrianus memiliki sebuah pondok berukuran tiga kali empat meter di kebunnya. Dinding dan atap pondok terbuat dari bambu.
Di luar pondok, terdapat kayu bakar yang telah disiapkan sehari sebelumnya untuk memasak sopi.
“Saya biasa menggunakan kayu kopi, akasia, gamal dan beberapa jenis kayu lain dari hutan,” katanya.
Di dalam pondok, tampak sebuah drum besar yang ditempatkan di atas tungku dengan api yang masih menyala.
“Apinya harus stabil, apalagi pada dua jam pertama penyulingan. Butuh waktu dua jam agar tuak bakok mendidih lalu menguap, baru menghasilkan sopi,” katanya.
Ia harus selalu memperhatikan api “karena nyalanya berpengaruh terhadap sopi yang dihasilkan.”
“Semakin kecil apinya, semakin lama proses penyulingan.”
Namun, api juga tidak boleh terlalu besar karena hanya akan menghasilkan uwang, sopi yang masih berwarna putih seperti nira.
Butuh enam sampai tujuh jeriken nira untuk menghasilkan satu jerigen sopi, dengan proses penyulingan antara enam sampai tujuh jam.
“Tidak bisa kerja lain saat hari penyulingan,” kata Adrianus.
Tumpuan Ekonomi
Tidak diketahui secara pasti jumlah kandungan alkohol pada sopi yang dihasilkan Adrianus dan warga lain di Ntaur. Mereka tidak pernah mengukurnya.
Minuman ini memang tidak hanya diproduksi warga di Manggarai. Di daerah lain di Flores, terdapat jenis minuman serupa, dengan nama berbeda, seperti moke dan arak.
Di Flores barat, terdapat beberapa daerah penghasil sopi. Salah satunya di Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Varian sopi bisanya mengikuti nama kampung tempat produksinya, seperti Sopi Ntaur dan Sopi Poco Leok.
Sopi biasa dikonsumsi setiap upacara adat, juga dalam suasana santai. Pengemasan saat dijual ke konsumen umumnya menggunakan botol bekas air mineral maupun botol kaca.
Seperti minuman beralkohol pada umumnya, sopi bisa membuat mabuk jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.
Karena dampaknya yang dianggap bisa memicu tindakan kriminal, terutama dengan kebiasaan sebagian orang yang mabuk-mabukan setelah minum sopi, kontrol aparat keamanan terhadap peredaran sopi masih kerap terjadi.
Kendati begitu, sopi masih bisa dengan mudah ditemukan di warung-warung.
Bagi penghasil sopi seperti warga di Ntaur, lebih dari sekedar minuman keras, sopi menjadi sandaran utama ekonomi, apalagi di tengah situasi hasil tanaman komoditi di kebun yang tidak menentu dan produktivitasnya menurun.
Adrianus mengolah dua kebun warisan keluarga yang ditumbuhi kopi, kakao, cengkih, pisang, bambu dan sejumlah tanaman berkayu.
Pada masa yang ia tak ingat lagi tahunnya, “kami sempat menggantungkan pendapatan utama dari kopi.”
Ntaur memang berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, elevasi yang sepadan untuk menopang pertumbuhan tanaman kopi robusta.
“Tetapi entah kenapa,” katanya, “panen kopi kami terus menurun.”
Seperti sebagian besar petani kopi lain di Manggarai Timur, ia tak pernah secara berkala memupuk dan memangkas dahan kopi.
“Saya tunggu saja sampai mereka menghasilkan buah,” katanya berkeyakinan “biarkan alam yang menyuburkan.”
Keyakinan demikian serupa yang dihayati petani kopi Lembah Colol, wilayah perkebunan yang bersisian dengan sempadan Taman Wisata Alam Ruteng. Semenjak 2016, produktivitas kopi Colol terus menurun.
Lantaran tanaman kopi “tak lagi bisa diharapkan, akhirnya sopi yang jadi penghidupan kami,” kata Adrianus.
Pada beberapa tahun silam, sebetulnya tidak banyak warga Ntaur yang melihat pembuatan sopi “sebagai suatu pekerjaan yang serius.”
Setelah harga sopi cukup menjanjikan, pekerjaan ini kemudian hampir dilakoni setiap warga Ntaur yang memiliki pohon aren di kebun.
Adrianus tak pernah menghitung jumlah pohon aren yang tumbuh di kedua kebunnya.
“Pokoknya ada belasan. Atau mungkin lebih dari 20 [pohon]?,” katanya mereka-reka.
Berbeda dengan kopi, kakao, pisang, mahoni dan bambu yang ditanam orang tuanya, Adrianus tak pernah dengan sengaja menanam aren.
“Semua pohon aren tumbuh liar di kebun kami,” katanya, pernyataan yang sejalan dengan rangkaian data perkebunan Manggarai Timur yang diterbitkan Badan Pusat Statistik.
Kecuali kopi, cengkih, mete dan jenis tanaman perkebunan lain, Badan Pusat Statistik selalu menolkan data terkait aren; baik luas lahan maupun produktivitasnya.
Adrianus berkata, tidak semua mayang pohon aren menghasilkan nira. Pada enam tahun lalu, kondisi demikian terjadi di kebunnya. Hal itu membuat ia gagal melanjutkan sekolah anak sulungnya ke perguruan tinggi.
“Tentu saya sedih, tapi mau bagaimana lagi? Kami tidak bisa atur pohon ini,” katanya.
Pada 2012, angin ribut juga yang menumbangkan banyak pohon aren di Ntaur. Adrianus dan beberapa warga lain pun memilih merantau ke Malaysia. Ia balik ke kampung pada 2014 dan tiga tahun kemudian baru mulai aktif lagi menyuling sopi.
Pada empat tahun lalu, hampir semua pohon aren di kebunnya menghasilkan nira. Ia pun bisa rutin memproduksi sopi. Hasil penjualannya membuat ia bisa menyekolahkan anak kedua ke Universitas Nusa Cendana Kupang yang tamat tahun ini.
Pelanggan
Warga Ntaur memiliki pelanggan sopi masing-masing yang tersebar di berbagai wilayah.
Pelanggan tetap Adrianus berdomisili di Satar Mese, Kabupaten Manggarai. Ia biasa menjual satu jeriken sopi berukuran 40 liter seharga Rp850 ribu ke pelanggan itu.
Untuk sampai ke tangan pelanggan, ia menitipkannya ke sopir mobil travel rute Ntaur-Ruteng dengan ongkos Rp50 ribu per jeriken.
“Sampai di Ruteng, sopir travel membawa sopi ke rumah milik keluarga dari pelanggan itu. Dari sana, pelanggan itu membawa sopi itu ke kampungnya,” katanya.
Rosalia Natil, istri Adrianus berkata, hasil penjualan satu jerigen sopi “setara dengan 50 kilogram beras,” seraya “berharap sopi terus dapat menghidupi kami.
Sementara Kordianus Nadur, seorang penyadap nira lainnya di Ntaur menjual sopi seharga Rp800 ribu ke seorang penadah tetap di Tenda, Ruteng.
Seperti Adrianus, ia juga menitipkan sopi itu kepada sopir mobil travel dengan ongkos yang sama.
Kordianus mengaku “tak secara pasti mengetahui nasib sopi kami kemudian.” Namun, “kemungkinan besar sopi kami dijual eceran oleh penadah.”
Sebelum kini dijual ke penadah tetap, Adrianus sempat memasarkan sopinya di Borong, ibu kota Manggarai Timur pada hari pasar, Senin dan Selasa.
Ia tak punya penadah tetap di pasar itu yang ditempuh 1,5 jam perjalanan menumpang bus kayu dari Ntaur dengan ongkos Rp25 ribu sekali jalan.
“Kepada penadah yang mau membeli dengan harga paling cocok-lah saya akan melepaskan jerigen sopi saya,” katanya.
Tak Sekadar untuk Menghasilkan Uang
Bagi Adrianus, pembuatan sopi tak sekadar cara menghasilkan uang. Ia menyebut membuat sopi “sudah menjadi bagian dari hidup kami,” yang diteruskan dari “dari zaman nenek moyang.”
Penyadapan hingga penyulingan sopi “melibatkan anak-anak saya,” proses yang membuatnya “merasa bangga terhadap mereka.”
Seiring usia yang menua, ia kerap merasa cepat kelelahan. Namun, tanpa disuruh, “anak-anak perempuan saya mengangkut jeriken sopi” dari kebun ke rumah.
Bagi Magdalena Wasung, salah satu ibu di Ntaur, tidak hanya untuk dijual, “sopi juga dibuat untuk dinikmati sendiri.”
Penikmat sopi “tidak hanya bapak-bapak, tetapi juga para ibu dan anak muda.”
Kalau tidak bisa tidur malam entah karena kepikiran, atau hal lain, “minum sopi menjadi pilihan saya untuk bisa cepat tidur lelap.”
“Kalau siang hari, saya minum sopi agar badan jadi ringan, lebih segar dan semangat untuk bekerja,” kata Magdalena.
Editor: Ryan Dagur dan Herry Kabut