Floresa.co – Suatu hari pada Februari 2023, kami menyusuri jalan raya mulus dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, menuju Golo Mori.
Desa kecil di ujung barat Pulau Flores itu berjarak sekitar 25 kilometer ke arah selatan dari Labuan Bajo.
Jalan raya itu lebarnya 23 meter, melewati beberapa kampung dan sungai yang di atasnya sudah dibangun jembatan, bersamaan dengan proyek pembangunan jalan yang hampir rampung kala itu.
Sebulan sesudahnya, pada 14 Maret 2023, Presiden Joko Widodo meresmikan jalan itu, yang kemudian dilalui delegasi Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN atau ASEAN Summit dua bulan kemudian.
Pembangunan jalan itu menyisakan konflik lahan yang tak terselesaikan dengan warga hingga kini. Rumah dari setidaknya 17 warga, termasuk lahan pertanian milik 40 keluarga di tiga kampung yang digusur demi pembangunan jalan tersebut, belum mendapat ganti rugi.
Tak banyak orang yang tahu nama Golo Mori sebelum adanya jalan itu, juga kasak-kusuk penetapannya oleh pemerintah pusat sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, lengkap dengan desain pengembangannya yang disebut-sebut akan mirip seperti Nusa Dua di Bali.
Jalan raya Labuan Bajo-Golo Mori kemudian perlahan ramai, terutama oleh warga setempat yang seperti halnya warga lain di Flores, sudah sangat merindukan infrastruktur dasar, seperti jalan.
Hingga tahun lalu, warga Golo Mori dan dari kampung sekitar menggunakan jalur laut untuk mengakses wilayah luar, termasuk ke Labuan Bajo. Butuh dua setengah hingga tiga jam berlayar untuk tiba di kota pariwisata tersebut.
Pasca pembangunan jalan, keindahan hamparan bukit dengan pemandangan laut yang mempesona turut menarik wisatawan.
Setiap hari libur, warga dari Labuan Bajo dan sekitarnya serta wisatawan ramai berkunjung.
Selain untuk menikmati pemandangan sepanjang jalan raya, dengan rekor sebagai jalan paling lebar di wilayah Manggarai Barat, mereka juga menghabiskan waktu di Pantai Pasir Panjang yang terkenal di Golo Mori, yang berhadapan dengan ujung timur Pulau Rinca.
Tempat itu sekaligus jadi lokasi untuk menikmati keindahan panorama senja saat matahari terbenam atau sunset.
Komodo di Luar Taman Nasional Komodo?
Sayangnya, kendati jadi salah satu sasaran proyek infrastruktur di Labuan Bajo, bagian dari Proyek Strategis Nasional di bidang pariwisata, dan Golo Mori kini makin ramai, satu hal yang hampir terlupakan: wilayah itu adalah juga habitat bagi satwa langka komodo.
Nama Golo Mori, menurut warga setempat, berasal dari kata bahasa Manggarai; golo yang berarti bukit dan Mori, berarti Tuhan atau tuan, yang jika diterjemahkan adalah ‘bukit yang sudah bertuan.’
Wilayah itu berdampingan dengan Cagar Alam Wae Wuul dan hanya dipisahkan oleh Selat Molo sepanjang 3,7 kilometer dengan Pulau Rinca di kawasan Taman Nasional Komodo.
Memang, tidak banyak orang yang tahu bahwa Golo Mori dan sekitarnya adalah ruang hidup komodo, termasuk jalan Labuan Bajo-Golo Mori sebagai wilayah lalu-lalang satwa itu.
Yang lebih banyak dikenal sebagai habitatnya adalah wilayah dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Pembicaraan tentang komodo di Golo Mori baru jadi ramai saat beredarnya video seekor komodo yang melintas di pinggir jalan raya Labuan Bajo-Golo Mori pada Agustus 2023.
Dalam video yang menyebar luas di media sosial itu, seekor komodo merayap di lereng bekas penggusuran untuk pembuatan jalan itu.
Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam [BBKSDA] Provinsi Nusa Tenggara Timur kala itu mengakui bahwa komodo memang hidup liar di kawasan tersebut.
“Kemungkinan terbesar komodo yang tertangkap kamera adalah komodo yang memang sejak awal tinggal di Golo Mori,” kata Arief Mahmud, Kepala BBKSDA NTT.
Ia menjelaskan pemantauan dengan kamera penjebak pada ekspedisi komodo di Flores tahun 2015-2018 menemukan setidaknya 5-12 individu komodo yang hidup liar di Golo Mori.
Keberadaan komodo di kawasan Golo Mori diakui seorang warga, Fransiskus Panis, 64 tahun.
Ia menjelaskan sejak kecil ia kerap melihat komodo berkeliaran di sekitar permukiman.
Komodo-komodo di Golo Mori kerap dijumpai pada September, karena “bulan itu biasanya mereka tidak punya makanan di hutan.”
“Karena musim kering, mereka berkeliaran mencari makan sampai ke kampung, mencari anak kerbau, sapi dan ayam milik warga,” katanya kepada Floresa.
Beberapa kali, kata dia, anak komodo bahkan berlindung di balkon sebuah bangunan Gereja Katolik di kampung itu agar terhindar dari predator komodo dewasa.
Samailah, 49 tahun, Kepala Desa Golo Mori berkata, ada gua batu di sekitar Soknar, kampung pertama Desa Golo Mori dari arah Labuan Bajo, yang mereka identifikasi sebagai tempat komodo bersarang.
“Kalau kami ke hutan cari kayu bakar, sering melihat komodo,” katanya.
Sejauh pengamatannya, komodo-komodo ini tersebar di pesisir Kampung Warloka, Desa Warloka, bahkan sampai di Kampung Nisar, Desa Nanga Bere. Kedua desa itu ada di sebelah utara Golo Mori.
“Kalau mau lihat komodo, gantung saja bangkai. Setelah itu baru kita intai, komodo pasti datang,” katanya.
Walaupun komodo berkeliaran di wilayah itu, “belum pernah warga dimangsa komodo, hanya ternak piaraan kami yang dimangsa.”
Masa Depan Komodo di Flores Barat
Dengan pembangunan beragam infrastruktur di dekat habitat, ancaman terhadap masa depan komodo di Flores barat ada di depan mata.
Menurut Kepala Balai TN Komodo, Hendrikus Rani Siga, pada 2023, populasi komodo di Taman Nasional Komodo adalah 3.396 individu, meningkat dari 3.156 pada tahun sebelumnya.
Komodo tersebut tersebar di lima pulau, yakni Pulau Komodo 1.561 ekor, Pulau Rinca 1.427 ekor, Pulau Padar 31 ekor, Pulau Gili Motang 52 ekor dan Pulau Nusa Kode 85 ekor.
Sementara data BTNK menunjukkan tren peningkatan populasi, perkumpulan organisasi konservasi keanekaragaman hayati internasional atau International Union for Conservation of Nature [IUCN] memasukkan komodo dalam daftar merah dengan kategori “terancam punah atau “endangered.”
IUCN mencatat populasi komodo dewasa sebanyak 1.383 individu pada 2019, tahun terakhir pencatatan mereka, berbeda 2.013 dengan data BTNK pada 2023.
Saat mengubah status konservasi komodo dari “rentan” menjadi “terancam punah” pada 2021, IUCN menyatakan “perubahan tersebut tidak terkait populasinya yang menunjukkan tren stabil” melainkan “kerentanan komodo terhadap, salah satunya, dampak perubahan iklim.”
Status terbaru komodo yang ditetapkan IUCN mendorong pemerintah melakukan perlindungan dan pelestarian, di antaranya dengan patroli keamanan rutin untuk memantau perburuan liar di taman nasional dan hutan konservasi, kata Arif Mahmud dari BBKSDA NTT.
Pemerintah juga mengembangbiakkan komodo di luar habitatnya. Salah satunya di Taman Safari Bogor, yang pada tahun lalu enam individunya dilepasliarkan di Cagar Alam Wae Wuul. Dua di antaranya diberi nama Edi dan Viktor.
Arief Mahmud tak menampik ancaman yang dihadapi komodo di luar habitat yang dipatok sebagai taman nasional atau hutan konservasi seperti Cagar Alam Wae Wuul.
Dalam wawancara dengan Floresa pada 4 Desember, ia mengatakan “kebutuhan ruang untuk pembangunan wilayah, khususnya di Pulau Flores merupakan suatu tantangan” dalam upaya konservasi habitat satwa langka itu.
Ia menyebut spesifik Kawasan Ekonomi Khusus Golo Mori sebagai “habitat sebaran alami satwa Komodo.”
Pembangunan kawasan itu, kata dia, dapat menyebabkan terjadinya kompetisi atau perebutan ruang dan sumber daya alam yang terbatas, baik antara komodo dan warga, maupun dengan pembangunan fasilitas wisata skala besar.
“Keberadaan anjing liar di lokasi juga berpotensi mengancam satwa mangsa dan biawak komodo kecil,” katanya dalam surat balasan terhadap pertanyaan wawancara Floresa.
Terkait ancaman itu, ia berkata institusinya telah melakukan beberapa upaya, termasuk menyurati PT Pembangunan Pariwisata Indonesia atau Injourney Tourist Development Corporation [ITDC] yang mengelola Kawasan Ekonomi Khusus Golo Mori.
Surat itu, yang dibuat dalam koordinasi dengan Pemda Manggarai Barat dan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPOLBF] adalah Surat Edaran Nomor SE.05/K.5/BIDTEK/KSA.2/6/2022 tentang Upaya Pencegahan Dampak Pembangunan KEK Tana Mori di Desa Golo Mori, Kec. Komodo, Kab. Manggarai Barat terhadap Kelestarian Komodo.
Surat lainnya bernomor S.818/K.5/Bidtek/KSA.2/08/2023 tanggal 22 Agustus 2023 perihal Himbauan untuk Mitigasi Konflik Komodo di Ruas Jalan Menuju Golo Mori.
Arief berkata, berbagai upaya itu bertujuan agar pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus “perlu dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan upaya mitigasi akan potensi interaksi antara komodo dan manusia pada masa yang akan datang.”
Selain bersurat kepada ITDC, kata dia, kesepakatan untuk menjaga keutuhan kawasan hijau di Golo Mori juga dibahas dalam suatu rapat koordinasi yang diadakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Desember 2023.
Selain itu, perhatian terhadap nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value [OUV] komodo yang terancam punah juga dibahas dalam diskusi Penyampaian Hasil Laporan Kajian Lingkungan Hidup Strategis World Heritage Site Taman Nasional Komodo. Rapat itu diselenggarakan Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor.
Sementara itu, dalam rapat koordinasi BBKSDA NTT dengan Flores Prosperindo dan ITDC, lanjut Arief, pihak-pihak terkait bersepakat “bahwa pengembangan pariwisata dan konservasi harus dilakukan secara terpadu.”
Beberapa langkah untuk mencapai hal itu di antaranya sosialisasi kepada masyarakat sekitar dan “desain konstruksi atau arsitektur yang dapat mengakomodir pelestarian komodo di Kawasan Ekonomi Khusus Golo Mori.”
Kerusakan Bentang Alam Kian Mengancam
Cagar Alam Wae Wuul yang berdampingan dengan Golo Mori adalah satu dari setidaknya empat lokasi di luar Taman Nasional Komodo yang ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi komodo.
Lokasi lainnya adalah Cagar Alam Wolo Thado, Cagar Alam Riung dan Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau, yang semuanya berada di Riung, kawasan pantai utara Kabupaten Ngada.
Selain di Golo Mori, komodo juga ada di kawasan lain di ujung barat Flores itu, yang masih dalam bentang alam yang sama sekaligus berdekatan, yakni di Mburak, Desa Macang Tanggar hingga Tanjung Kerita Mese, Desa Nanga Bere, Kecamatan Lembor Selatan.
Pulau Longos di utara Kabupaten Manggarai Barat, yang berjarak 30 kilometer sebelah timur Labuan Bajo juga menjadi habitat komodo.
Komodo juga hidup berdampingan dengan warga adat di sepanjang pantai utara Kabupaten Manggarai Barat hingga Kabupaten Ngada.
Fadil Mubaraq, pemuda Desa Nanga Bere yang aktif dalam program konservasi satwa mengaku tak mengetahui secara pasti jumlah komodo di wilayah itu.
Kendati demikian, kata dia, “BBKSDA pernah pasang kamera [pemantau]. Dari tujuh kamera yang dipasang, semuanya menampakkan komodo.”
“Ada pula gua, tempat warga sering menemukan komodo. Saya hanya beberapa kali bertemu komodo di pinggir pantai di Lo’ok, Tanjung Kerita,” katanya kepada Floresa pada 3 Desember.
Komodo-komodo itu, yang dalam bahasa setempat disebut ‘ora,’ “tidak berkonflik dengan masyarakat.”
Cypri Jehan Paju Dale, peneliti dari Universitas Wisconsin Madison, Amerika Serikat yang salah satu kajiannya pada isu pariwisata dan konservasi di Flores barat menekankan pentingnya “menjaga keutuhan bentang alam sebagai ruang hidup sekaligus sistem pendukung keberlangsungan satwa langka yang terancam punah ini.”
“Keseluruhan alam Flores dan pulau-pulau kecil di sekitarnya adalah kesatuan bentang alam yang menjadi sistem pendukung komodo,” katanya kepada Floresa pada 4 Desember
“Ini perlu dilihat sebagai kesatuan bentang alam, apapun status kawasannya, mulai dari taman nasional, cagar alam, hutan lindung atau hutan produksi,” tambahnya.
Tak hanya itu, katanya, “bahkan kawasan darat dan pesisir yang dihuni dan dimanfaatkan warga juga adalah kesatuan bentang alam yang mendukung kelestarian komodo.”
Ia berkata proyek pembangunan pariwisata yang gencar dilakukan di Labuan Bajo, termasuk Kawasan Ekonomi Khusus Golo Mori, merupakan ancaman nyata bagi kesatuan bentang alam tersebut.
Sejauh ini, lanjutnya, perlakuan pemerintah terhadap komodo dan habitatnya di bentang alam Flores bagian barat, termasuk Golo Mori, menunjukkan “fakta kecerobohan.”
“Cagar alam dan kawasan hutan yang merupakan ruang hidup dan sistem pendukung komodo tidak lagi dijaga dengan baik,” katanya.
Ia juga menyoroti Cagar Alam Wae Wuul “yang sempat diperjualbelikan oleh mafia tanah” dan mengalami kebakaran.
Fakta lainnya, menurut Cypri, adalah pengembangan kawasan industri wisata, permukiman dan infrastruktur “yang membongkar keutuhan bentang alam dan memutus jalur ruang gerak satwa, termasuk komodo.”
“Proyek Strategis Nasional abal-abal di Golo Mori, termasuk jalan yang dibangun rezim Presiden Joko Widodo adalah contoh pengrusakan keutuhan Cagar Alam Wae Wuul, Pegunungan Mbeliling dan kawasan yang sekarang dikenal sebagai Taman Nasional Komodo,” katanya.
Alasannya, kata dia, proyek-proyek tersebut menyebabkan satwa terkurung di kawasan tertentu saja, sehingga Taman Nasional Komodo dan Cagar Alam Wae Wuul “hanya menjadi seperti kebun binatang, bukan lagi kesatuan bentang alam.”
“Desain pembangunan dan tata ruang di Flores, terutama Manggarai Barat harus secara prudent, penuh kehati-hatian, memperhitungkan keutuhan bentang alam ini. Tidak boleh serampangan,” kata Cypri.
Editor: Ryan Dagur