Video Komodo di Flores yang Viral Saat Melintas di Pinggir Jalan; Bagaimana Menjaga Habitatnya dari Dampak Proyek Kawasan Bisnis Pariwisata?

Komodo itu hidup di Golo Mori, kawasan di bagian selatan Labuan Bajo yang sedang dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus [KEK]

Baca Juga

Floresa.co – Otoritas terkait telah mengkonfirmasi bahwa seekor Komodo yang melintasi badan jalan di Flores barat dalam video yang baru-baru ini viral adalah Komodo yang hidup liar di wilayah itu, bukan dari cagar alam atau dari Pulau Rinca, salah satu habit utama hewan langka itu.

Klaim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] NTT tentang asal usul Komodo itu sejalan dengan cerita dari warga setempat kepada Floresa.

Dalam video berdurasi 24 detik yang viral sejak Jumat, 4 Agustus, seekor komodo berukuran besar melintas pinggir jalan penghubung yang baru dibangun antara Labuan Bajo dengan wilayah selatan di Golo Mori, daerah yang sedang dikembangkan sebagai KEK.

Arief Mahmud, Kepala BBKSDA NTT menjelaskan, pihaknya telah menganalisis informasi serta video itu dan menyimpulkannya sebagai Komodo “berdasarkan identifikasi atas penampakan fisik.”

Ia menerangkan, lokasi komodo tersebut merupakan wilayah KEK dengan jarak kurang lebih 11 kilometer dari kawasan konservasi Cagar Alam Wae Wuul dan 3,7 kilometer dari Pulau RInca di kawasan Taman Nasional [TN] Komodo.

Arief menerangkan, jarak lokasi kemunculan komodo dengan kawasan Cagar Alam Wae Wuul cukup jauh untuk jelajah harian dan lebih tinggi dari nilai home-range Komodo, demikian juga dengan Pulau Rinca.

Ia mengatakan, berdasarkan monitoring dengan kamera penjebak pada ekspedisi komodo di Flores tahun 2015-2018, dari 346 kamera yang dipasang, terdapat 85 kamera yang memotret keberadaan Komodo, termasuk di Golo Mori.

Setidaknya, kata dia, 5-12 individu komodo yang tinggal di Golo Mori.

“Jadi kemungkinan terbesar komodo yang tertangkap kamera adalah komodo yang memang sejak awal tinggal di Golo Mori,” jelasnya.

Klaim Arief tentang keberadaan Komodo di Golo Mori diakui warga setempat.

Fransiskus Panis [63] warga Nggoer, Desa Golo Mori yang lahir dan besar di kawasan itu menjelaskan sejak kecil ia kerap melihat komodo berkeliaran di sekitar pemukiman warga.

Karena itu, ia tidak heran dengan Komodo dalam video viral itu.

Menurut Fransiskus, komodo-komodo di Golo Mori kerap dijumpai pada bulan September, karena “bulan itu biasanya mereka tidak punya makanan di hutan.”

“Karena musim kering, mereka [komodo] berkeliaran mencari makan sampai di kampung, mencari anak kerbau, sapi, ayam milik warga untuk dimakan,” katanya kepada Floresa.

Beberapa kali, kata dia, anak komodo bahkan berlindung di balkon sebuah bangunan Gereja Katolik di kampung itu agar terhindar dari induknya.

Kendati “ukurannya sama dengan komodo di Pulau Rinca”, kata dia, komodo di Golo Mori tampak liar ketika melihat manusia atau mendengar suara bising kendaraan.

Kesaksian serupa disampaikan Samailah [48], Kepala Desa Golo Mori.

Ia mengatakan, komodo yang viral itu “bukan dari Pulau Rinca” tetapi asli dari sini.”

Ia menjelaskan, ada gua batu sekitar Kampung Soknar, kampung pertama Desa Golo Mori dari arah Labuan Bajo, yang mereka anggap tempat komodo tinggal.

“Kalau kami ke hutan cari kayu bakar, kami sering melihat komodo,” tambahnya.

Sejauh pengamatannya, komodo-komodo ini tersebar di pesisir Kampung Warloka, Desa Warloka, Golo Mori, bahkan sampai di Kampung Nisar di sebelah  timur .

“Kalau mau lihat komodo, gantung saja bangkai. Setelah itu baru kita intai, komodo pasti datang,” katanya. Namun menurut dia, komodo di Golo Mori tidak seagresif komodo yang ada di kawasan TN Komodo.

“Komodo di sini kalau lihat manusia dia lari,” katanya.

Walaupun komodo berkeliaran di wilayah itu, namun, “belum pernah warga dimangsa komodo.”

“Hanya piaraan kami yang dimangsa,” jelasnya.

Ia berharap pihak balai konservasi yang pernah melakukan penelitian di tempat itu bisa “membuat tempat penangkaran untuk Komodo.”

Komodo merupakan salah satu satwa endemik yang hanya ada di Indonesia dan  di beberapa lokasi daratan Flores dan beberapa pulau di bagian barat.

Karena itu, kata Arief dari BBKSDA NTT, sesuai peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P106/ MENLHK/ SET JEN/ KUM.1/12/2018 komodo ditetapkan sebagai satwa dilindungi.

Ia menjelaskan, selain penetapan satwa dilindungi dan penetapan kawasan konservasi Komodo, upaya lain yang dilakukan adalah mendorong upaya perlindungan habitat  sebagai kawasan dilindungi dalam bentuk Kawasan Ekosistem Esensial [KEE].

“Melalui keputusan Nomor 238/KEP/HK/2020, Gubernur NTT menetapkan KEE di Pulau Flores seluas 132.402.37 hektar,” katanya.

Kawasan itu, kata dia, meliputi Bentang Alam Mbeliling, Nggorang Bowosie, dan Pulau Longos di Kabupaten Manggarai Barat; Todo Repok di Kabupaten Manggarai; dan Torong Padang di Kabupaten Ngada.

Di tengah laju pembangunan KEK di wilayah Golo Mori, Arief menjelaskan, pihaknya  akan berkoordinasi dengan Indonesia Tourism Development Corporation [ITDC] sebagai pengembang kawasan itu untuk “menyusun rencana mitigasi dampak pembangunan sarana yang berpotensi mengakibatkan fragmentasi habitat” komodo.

Selain itu, BBKSDA juga mendorong ITDC untuk “membatasi aktivitas yang berpotensi terjadinya konflik satwa dengan manusia.”

Beberapa aktivitas tersebut misalnya menghindari wisata tanpa pemandu wisata, menghindari aktivitas feeding yaitu menempatkan barang atau benda yang lazim menjadi makanan komodo.

BBKSDA juga meminta ITDC memasang rambu-rambu perlintasan satwa sehingga kendaraan yang melintas dapat mengurangi kecepatan untuk menghindari tertabraknya komodo.

ITDC sedang mengembangkan proyek di atas 20 hektar lahan yang merupakan bagian dari pengembangan kawasan KEK seluas 338 hektar.

Kawasan itu diklaim menyediakan fasilitas pertemuan dan akomodasi terintegrasi untuk mendukung peningkatan kunjungan wisatawan ke Destinasi Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini