Floresa.co – Kejaksaan Negeri Manggarai tengah mendalami keterlibatan aktor lain dalam skandal proyek pengadaan tong sampah yang dibiayai PT Manggarai Multi Investasi [PT MMI], BUMD Kabupaten Manggarai.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Manggarai Zaenal Abidin Simarmata mengatakan Edward Sonny Kurniady Darung, Kontraktor CV Patrada merupakan salah satu pihak yang sudah diperiksa dan “kemungkinan akan ditetapkan sebagai tersangka.”
CV Patrada adalah badan usaha yang dipercaya Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk mengerjakan proyek pengadaan instalasi Pengolahan Sampah Non-organik pada 2019. Pihak yang menyediakan 762 unit tong sampah untuk CV Patrada adalah PT MMI.
Satu unit barang tersebut terdiri atas dua tong, sehingga totalnya menjadi 1.524 tong sampah.
Selain Edward, kata Zaenal, “ada staf lain [PT MMI] yang akan kita tetapkan sebagai tersangka.”
“Sudah banyak yang kita periksa dalam kasus ini,” kata Zaenal kepada Floresa pada 7 Januari.
Zaenal juga mengatakan Maksimus Man, eks Direktur Keuangan BUMD itu juga seharusnya diperiksa dan ditetapkan tersangka.
“Tetapi beliau sudah meninggal,” katanya.
Sebelumnya, dua eks direktur PT MMI telah ditahan di Rutan Carep, sisi timur kota Ruteng.
Mereka adalah Yustinus Mahu sebagai direktur utama, dan Maksimilianus Haryatman sebagai direktur operasional.
Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai, Fauzi berkata, Yustinus dan Maksimilianus “diduga kuat terlibat dalam skandal belanja instalasi Pengolahan Sampah Non-organik yang dibiayai oleh PT MMI.”
“Barang yang dibelanjakan ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi teknis pengadaan sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara,” jelas Fauzi dalam keterangan tertulis.
Sempat Diproses Hukum
Kasus terkait pengadaan tong sampah oleh CV Patrada sempat diproses hukum pada 2021, di mana perusahaan tersebut mengajukan gugatan wanprestasi terhadap Kristianus Dominggo [tergugat I] selaku Pejabat Pembuat Komitmen [PPK] dan Bupati Manggarai, khususnya Camat Kecamatan Langke Rembong [tergugat II].
Sonny Darung selaku penggugat menyatakan tergugat melakukan wanprestasi atau cidera janji setelah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja [PHK] pada 16 Desember 2019, tatkala pengerjaan proyek tong sampah itu hampir rampung.
Keputusan PPK menerbitkan PHK terjadi karena CV Patrada gagal menuntaskan proyek itu hingga 120 hari yang ditentukan, sejak 18 Juni 2019 hingga 16 Oktober 2019.
Penerbitan surat PHK itu juga menyusul langkah Polres Manggarai yang melakukan penyelidikan pada awal Desember, dengan memeriksa CV Patrada, PPK dan beberapa orang lainnya.
Tak hanya melakukan PHK, PPK juga meminta CV Patrada “mengembalikan uang muka ke kas negara.” Uang muka senilai Rp 499.800.000 atau 30 persen dari total proyek setelah dipotong pajak itu diterima CV Pradata usai penandatangan kontrak pada Juni 2021.
Dengan penerbitan surat PHK, CV Patrada juga masuk dalam daftar hitam atau blacklist yang tidak mempunyai hak untuk mengikuti pelelangan selama dua tahun.
Walaupun keberatan dengan PHK itu, CV Patrada mengklaim, demi untuk menghindari proses pidana, mereka mengembalikan uang muka.
Setelah pengembalian uang itu, penyelidikan oleh Polres Manggarai dihentikan.
Selain mengembalikan uang muka proyek, dengan PHK itu, PPK juga tidak membayar kewajiban ke CV Patrada sesuai kontrak.
Padahal, menurut CV Patrada, realisasi proyek sudah mencapai 95,01% atau senilai Rp1.767.764.610.
Sementara itu, dalam jawabannya atas gugatan CV Patrada, PPK menyatakan sudah memberikan surat peringatan tiga kali sebelum surat PHK.
Alasannya, pembuatan tong sampah dan umpak itu dilakukan di luar masa kontrak selama 120 hari kalender.
“Lagipula pengadaan barang-barang tersebut tidak memenuhi syarat/spesifikasi yang diperjanjikan sehingga tidak dapat diterima atau tidak dapat dilakukan serah terima barang,” tulis PPK dalam jawaban pada 3 Maret 2021.
Di Pengadilan Negeri Ruteng, gugatan perdata ini dimenangkan oleh CV Patrada.
Dalam penilaiannya, majelis hakim berpendapat, seharusnya 14 hari kalender sebelum melakukan PHK, PPK menyampaikan pemberitahuan rencana pemutusan kontrak secara tertulis kepada CV Patrada.
Majelis hakim menyatakan, tidak ada satu pun bukti surat maupun saksi yang menunjukkan PPK telah melakukan pemberitahuan rencana pemutusan kontrak itu.
Majelis hakim menghukum tergugat membayar kepada penggugat sebesar Rp988.906.358. Nilai ini berasal dari 405 unit tong sampah yang sudah dipasang CV Patrada sebelum adanya surat PHK pada 16 Desember 2019. Sebanyak 405 unit tong sampah ini berdasarkan pemeriksaan setempat yang dilakukan majelis hakim.
Nilai hukuman ini lebih kecil dari tuntutan CV Patrada yaitu Rp2.767.764.610 yang terdiri atas Rp1.767.764.610 nilai pekerjaan yang sudah selesai atau 95,01% dari nilai kontrak dan kerugian immateril sebesar Rp1 miliar. CV Patrada mengklaim, jumlah unit tong sampah yang sudah terpasang 724 unit.
Tergugat kemudian melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor 2/Pdt.G/2021/PN Rtg tersebut.
Hasilnya, majelis hakim pengadilan tinggi Kupang dalam putusan Nomor 135/PDT/2021/PT KPG yang dibacakan pada 20 September 2021, “menerima permohonan banding dari Para Pembanding” atau PPK.
Dengan demikian, Pengadilan Tinggi Kupang “membatalkan putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor 2/Pdt.G/2021/PN.Rtg yang diucapkan pada tanggal 23 Juni 2021.”
Pintu Masuk Usut PT MMI
Total dana yang dikeluarkan oleh PT MMI untuk pengadaan 1.524 tong sampah itu mencapai Rp1,3 miliar.
Penggelontoran dana tersebut berdasarkan Surat Perjanjian Nomor: 009/MMI/Juli/2019 antara PT MMI dan CV Patrada yang dibuat pada 2 Juli 2019.
Masalahnya, modal untuk pembelian 1.524 tong sampah itu tak dibayar oleh CV Patrada, setelah PPK menjatuhkan sanksi PHK kepada perusahaan itu.
Zaenal Simarmata mengatakan proyek tong sampah tersebut merupakan salah satu unit persoalan dari PT MMI yang kerugiannya terbilang paling besar yaitu lebih dari Rp1,3 Milyar.
“Memang ada unit-unit lainnya, tetapi kita akan gali lebih dalam setelah dua direktur ini kita tetapkan sebagai tersangka,” katanya.
Sementara itu, Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara I Gede Hady Sunantara berkata pihaknya berkomitmen mengusut skandal tong sampah tersebut secara serius.
“Ini juga sebagai pengingat untuk semua yang berutang ke PT MMI supaya segera dilunasi,” katanya.
Kejaksaan Negeri Manggarai, kata Hady, telah melakukan pengecekan secara mendalam terhadap PT MMI, menemukan bahwa “memang piutang dagang dalam perusahaan ini tidak pernah ditagih.”
“Hanya buat laporan saja setiap akhir tahun, jumlah utang piutangnya seperti itu, tetapi tak pernah ditagih,” katanya.
Hady juga berkata pengusutan kasus tong sampah tersebut melalui proses pidana khusus, yakni tindak pidana korupsi karena PT MMI yang membiayai pembelian tong sampah adalah BUMD yang “penyertaan modalnya dari khas daerah, dan itu uang negara.”
“Kerugiannya itu ya kerugian negara,” katanya.
“Terlepas itu dibelanjakan atas permintaan CV Patrada, tetapi PT MMI seharusnya sejak awal mempertimbangkan penetapan CV Patrada ini sebagai kontraktornya,” lanjutnya.
Dalam catatan Floresa PT MMI kini didera piutang macet yang sulit ditagih sebesar Rp6,97 miliar.
Debitur ‘nakal’ yang tak membayar kewajibannya itu terdiri atas direksi dan komisaris PT MMI sendiri, anggota DPRD, sekretaris daerah, dan kontraktor.
CV Patrada, kontraktor proyek tong sampah, juga tercatat sebagai salah satu debitur.
Bahkan nilai piutang MMI ke perusahaan yang dipimpin Edward Sonny Kurniady Darung mencapai Rp1.419.777.328. Jumlah ini setara dengan 20,3 persen dari total piutang macet PT MMI.
Tak hanya CV Patrada, Edward Sonny Kurniady Darung sendiri juga namanya tercatat dalam daftar 107 debitur nakal itu.
Berdasarkan dokumen hasil audit, Sonny memiliki kewajiban ke PT MMI sebesar Rp137.673.136 per 31 Desember 2022.
Floresa menyambangi Kantor PT MMI di Jalan Sukarno, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong pada 7 Januari.
Seorang karyawan yang menolak namanya ditulis memberi saran agar langsung menemui Pelaksana Tugas direktur BUMD tersebut Fansy Aldus Jahang.
“Kami juga takut untuk memberikan informasi, trauma karena semua kami di sini diperiksa kejaksaan,” kata karyawan itu.
Floresa juga dua kali menyambangi Kantor Bupati Manggarai untuk menemui Jahang, tetapi resepsionis di kantor itu berkata dia sedang keluar.
Saat dihubungi melalui Whatsapp, Jahang menjawab singkat, “sedang dalam perjalanan keluar kota.”
“Terkait CV Patrada, saya dalami dulu duduk soalnya bersama staf,” katanya.
Jahang juga merupakan salah satu dari 107 debitur PT MMI yang “membandel”. Orang kepercayaan Bupati Manggarai Herybertus Nabit itu tercatat memiliki kewajiban sebesar Rp222 juta per akhir 2022. Jumlah tersebut meningkat dari Rp122 juta pada akhir 2021.
Kepada Floresa pada 9 Juli 2024, Jahang mengatakan kewajiban tersebut “dalam proses penyelesaian.”
Namun, mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai Timur itu tak menjelaskan kapan dirinya meminjam di PT MMI.
Ia juga tak menjabarkan apakah pinjaman itu dalam bentuk uang tunai atau pembelian barang.
Editor: Herry Kabut