Balita di Manggarai Barat Jadi Saksi Kasus Kematian Ibunya, Penyidik Diingatkan Jangan Paksa Bila Masih Trauma

Dinas Sosial Manggarai Barat menghadirkan psikolog untuk mendampingi anak usia tiga tahun tersebut saat memberi keterangan kepada penyidik

Floresa.co – Seorang anak berusia di bawah lima tahun atau balita di Kabupaten Manggarai Barat dimintai keterangannya oleh penyidik terkait kasus kematian ibunya yang diduga dianiaya.

Sustiana Melci Elda, ibu anak berusia tiga tahun itu, meninggal pada 3 Oktober 2024, diduga karena dianiaya suaminya, Eduardus Ungkang.

Penyidik Polres Manggarai Barat melayangkan surat pemanggilan sebagai saksi kepada anak itu pada 14 Januari.

Pemeriksaannya dilakukan pada 16 Januari untuk melengkapi berkas perkara yang dikembalikan kejaksaan pada 28 November 2024 karena dinilai belum lengkap.

Tiba di Mapolres sekitar pukul 10.00 Wita, anak itu didampingi kakeknya Adrianus Jehadun dan tantanya Bergita Niman. 

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Manggarai Barat, Fatima Melani Rambung juga ikut mendampingi.

Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Aditya berkata, saat pemeriksaan, anak itu tidak memberikan keterangan apapun kepada penyidik.

“Anaknya belum mau ngomong,” katanya kepada Floresa pada 16 Januari.

Karena itu, penyidik akan mencari waktu dan situasi yang pas untuk meminta keterangannya. 

“Ia tampak bingung dan tidak bisa menjawab, kendati berkali-kali ditanyai penyidik,” kata tantanya, Bergita.

Fatima Melani Rambung berkata “pemeriksaan dilanjutkan pada Sabtu — merujuk pada 18 Januari — di rumah keluarga” di Desa Nggorang, Kecamatan Komodo.  

Ketentuan Hukum

Baik Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [KUHAP] maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membolehkan seorang anak menjadi saksi dalam perkara pidana.

Menurut Undang-Undang itu, anak yang menjadi saksi tindak pidana yang disebut Anak Saksi, adalah anak yang belum berumur 18 tahun. 

Anak Saksi dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Sesuai ketentuan pasal 171a KUHAP, anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin boleh memberikan keterangan tanpa sumpah.

Namun, keterangan yang tidak di bawah sumpah ini membuat kesaksiannya tidak memiliki kekuatan pembuktiaan. 

Hal ini merujuk pada pasal 185 ayat (7) KUHAP yang menyatakan keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti. 

Namun, apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. 

Karena itu, Siprianus Edi Hardum, dosen hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, berkata anak yang dihadirkan sebagai saksi oleh Polres Manggarai Barat itu keterangannya tidak bisa dijadikan alat bukti.

Keterangan anak itu, kata dia, hanya bisa dijadikan sebagai petunjuk untuk menemukan alat bukti sesungguhnya dari kasus tersebut sehingga menjadi terang.

Edi, yang juga Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya atau Famara,  mengingatkan “jika seorang anak masih dalam kondisi trauma, maka polisi tidak bisa meminta keterangannya”. 

Polisi, kata dia, bersalah secara hukum dan bisa dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan jika memaksa anak itu memberi keterangan karena hal itu dapat menimbulkan luka batin. 

“Polisi jelas mesti mencari cara lain untuk bisa mendapatkan petunjuk tersebut dengan cara healing, mengajak bercerita, membawa mainan atau boneka,” katanya pada 17 Januari.

Butuh Pendampingan Psikolog

Senada dengan Edi, Kepala Dinas Sosial Mabar, Marselinus Jebaru berkata, boleh saja penyidik meminta keterangan anak tersebut, tetapi perlu mempertimbangkan kondisi psikologisnya.

Dengan umurnya yang masih tiga tahun, kata dia, anak itu tidak sepenuhnya memahami dan mengingat peristiwa yang sudah terjadi.

Karena itu, kata Marsel, Dinas Sosial berkomitmen menghadirkan psikolog untuk mendampingi anak itu saat memberi keterangan kepada penyidik.   

“Kami berupaya mendatangkan seorang psikolog untuk membantu menangani anak kecil yang belum mengerti apa-apa tentang kasus ini” katanya. 

Sejak kasus tersebut dilaporkan ke Polres Mabar, unit PPA telah melakukan konseling secara psikologis terhadap anak itu dan pengasuhnya, yang merupakan orang tua Elda.

Pendampingan tersebut dilakukan dengan secara rutin mengunjungi anak itu dan pengasuhnya di Desa Nggorang.

Kronologi

Elda, 22 tahun, meninggal pada 3 Oktober. 

Semula suaminya, Eduardus Ungkang, 24 tahun, melaporkan bahwa Elda bunuh diri. 

Namun, investigasi polisi menunjukkan bahwa ia dianiaya sebelum digantung di rumah mereka.

Eduardus pun ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Oktober. 

Polisi telah menggelar reka ulang penganiayaan tersebut pada 4 November.

Dalam rekonstruksi itu, penyidik menghadirkan tersangka dan dua saksi, masing-masing Hilarius Hence dan Edeltrudis Hartati.

Dalam kronologi yang dipaparkan Wakil Kapolres, Kompol Roberto M. Bolle pada konferensi pers 24 Oktober, Elda sempat menelepon ayahnya antara pukul 08.01-08.06 Wita.

Percakapan dilanjutkan pada pukul 08.34-08.39, yang berlanjut pada pukul 08.40-08.53. 

Dalam percakapan itu, Elda berbicara tentang niat meminjam uang. Ayahnya mengaku sedang tidak ada uang, sehingga berusaha mencari pinjaman.

Menurut Roberto, pada pukul 09.00-09.08 ayah Elda menelepon kembali, memberi tahu ada orang yang bisa meminjamkan uang itu dengan bunga 10 persen.

Mendengar itu, Eduardus keberatan sehingga terjadi pertengkaran dengan Elda, lalu menganiayanya.

Pada pukul 09.27-09.28, korban kembali menelpon ayahnya melalui panggilan video WhatsApp, namun tidak diangkat.

Pada pukul 09.29, ayah korban menghubungi balik korban melalui telepon WhatsApp, tetapi tidak dijawab.  Panggilan kembali dilakukan pada pukul 09.48 Wita, namun lagi-lagi tidak dijawab.

Pada pukul 09.56, ayah korban mendapatkan kabar bahwa putrinya sudah meninggal.

“Korban meninggal dalam waktu yang begitu cepat,” ujar Roberto.

Ayah korban menduga ada penganiayaan, setelah menemukan sejumlah luka pada jenazah putrinya.

Ia pun melapor kasus ini ke Polres Manggarai Barat pada 4 Oktober dini hari.

Eduardus Ungkang membantah menganiaya Elda hingga meninggal.

 Melalui pengacaranya, Frido Sanir, ia mengakui adanya percekcokan terkait bunga pinjaman uang sejumlah Rp2 juta, di mana Eduardus “menempeleng Elda satu kali di pipi kiri.”

Korban, kata dia, kemudian mengambil pisau di dapur dan berusaha menyerang kliennya dalam jarak dekat. 

Percekcokan itu, jelasnya, disaksikan oleh anak mereka, sehingga kliennya lari ke rumah tetangga yang jaraknya sekitar 60 meter.

Sekitar dua jam setelahnya, kliennya kembali ke rumah mengajak korban “pergi petik mete di kebun”. 

Saat itu anak mereka sedang bermain di depan teras rumah. Karena pintu rumah bagian depan terkunci, kliennya masuk melalui pintu dapur.

Saat itulah, katanya, kliennya mendapati Elda sedang gantung diri di salah satu ruangan rumah. 

Editor: Hery Kabut dan Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA