Floresa.co – Setelah melalui proses penyelidikan selama tiga pekan, polisi menyatakan penyebab kematian seorang ibu di Kabupaten Manggarai Barat diduga karena dianiaya, bukan karena bunuh diri seperti klaim suaminya.
Penyidik Polres pun telah menetapkan Eduardus Ungkang, 24 tahun, sebagai tersangka penganiayaan yang menewaskan istrinya, Sustiana Melci Elda, 22 tahun.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Luthfi D. Aditya menyatakan, penetapan tersangka Eduardus merujuk pada sejumlah bukti, baik dari pemeriksaan saksi maupun hasil visum.
Penyidik, terang Luthfi dalam konferensi pers pada 24 Oktober, telah memeriksa Eduardus dan sembilan saksi.
Selain itu, ada hasil visum dan autopsi dari dua sumber yang berbeda, yaitu visum bagian luar tubuh oleh RSUD Komodo pada 4 Oktober dan autopsi dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda NTT pada 15 Oktober.
Luthfi memaparkan, dari proses penyelidikan dan penyidikan, terungkap sejumlah fakta bahwa Eduardus dan Elda merupakan suami istri, namun belum menikah secara sah. Keduanya sudah mempunyai seorang anak berusia tiga tahun.
Ia menambahkan, sebelum ditemukan meninggal, korban diketahui bertengkar dengan suaminya, lalu dianiaya. Korban ditemukan meninggal dengan posisi tergantung pada kain di ruangan tengah dalam rumahnya.
Dari hasil visum bagian luar tubuh, kata Luthfi, ditemukan luka-luka pada beberapa bagian tubuh korban yaitu pada bagian leher, dada, perut, punggung belakang, tangan kiri dan tungkai kiri karena tindak kekerasan dengan benda tumpul.
Sementara dari hasil autopsi jenazah oleh tim forensik bidang kedokteran dan kesehatan Polda NTT, kata dia, disimpulkan bahwa “penyebab pasti kematian korban adalah karena tertutupnya saluran nafas sehingga mati lemas.”
Kematian, katanya, “bukan karena bunuh diri, melainkan dicekik oleh suaminya.”
“Tanda-tanda yang ditemukan pada tubuh korban menunjukan bahwa dia telah meninggal sebelum digantung,” tambahnya.
Suami Klaim Istrinya Bunuh Diri
Elda meninggal di rumahnya di Kampung Nggilat, Kecamatan Macang Pacar pada 3 Oktober.
Beberapa jam sebelum dikabarkan meninggal, Elda menelepon ayahnya, Ardianus Jehadun, yang tinggal di Nggorang, Kecamatan Komodo, sekitar 15 kilometer arah timur Labuan Bajo, untuk meminjam uang.
Menurut Wakil Kapolres Manggarai Barat, Kompol Roberto M. Bolle, yang memimpin konferensi pers pada 24 Oktober, Elda menelepon ayahnya pada pukul 08.01 Wita sampai dengan 08.06.
Percakapan dilanjutkan pada pukul 08.34 sampai dengan 08.39, dilanjutkan lagi pada pukul 08.40 hingga 08.53.
Dalam percakapan itu, korban berbicara tentang niat meminjam uang.
Sesuai kronologi yang dipublikasi Floresa sebelumnya, ayah korban mengaku sedang tidak ada uang, sehingga berusaha mencari pinjaman.
Menurut Roberto, pada pukul 09.00 sampai 09.08 ayah korban menelepon kembali, memberitahu bahwa ada orang yang bisa meminjamkan uang itu dengan bunga 10 persen.
Mendengar itu, tersangka keberatan sehingga terjadi pertengkaran dengan korban, lalu menganiayanya.
Pada pukul 09.27 dan 09.28, korban kembali menelpon ayahnya melalui panggilan video WhatsApp, namun tidak diangkat.
Pada pukul 09.29, ayah korban menghubungi balik korban melalui telepon WhatsApp, tetapi tidak dijawab.
Panggilan kembali dilakukan pada pukul 09.48 Wita, namun lagi-lagi tidak dijawab.
Pada pukul 09.56, ayah korban mendapatkan kabar bahwa putrinya sudah meninggal.
“Korban meninggal dalam waktu yang begitu cepat,” ujar Roberto.
Eduardus sempat melaporkan kematian istrinya ke Polsek Mancang Pacar, mengklaim pemicunya karena bunuh diri.
Namun, ayah korban menduga ada penganiayaan, setelah menemukan sejumlah luka pada jenazah putrinya.
Ia pun melapor kasus ini ke Polres Manggarai Barat pada 4 Oktober dini hari.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Luthfi D. Aditya menyatakan, tersangka dikenakan pasal 351 ayat 3 KUHP, Pasal 351 ayat 2 KUHP lebih sup Pasal 351 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Selanjutnya, kata dia, penyidik akan berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum, lalu melaksanakan rekonstruksi dan pemeriksaan tambahan saksi-saksi.
Kronologi Versi Pengacara Tersangka
Pasca penetapan tersangka Eduardus, Frido Sanir, kuasa hukumnya merilis kronologi kejadian versinya.
Ia mengakui adanya percekcokan antara korban dan tersangka terkait bunga pinjaman uang sejumlah Rp2 juta, di mana Eduardus “menempeleng Elda satu kali di pipi kiri.”
Korban, kata dia, kemudian mengambil pisau di dapur dan berusaha menyerang kliennya dalam jarak dekat.
Percekcokan itu, jelasnya, disaksikan oleh anak mereka, sehingga kliennya lari ke rumah tetangga yang jaraknya sekitar 60 meter.
Sekitar dua jam setelahnya, kliennya kembali ke rumah mengajak korban “pergi petik mete di kebun”.
Saat itu anak mereka sedang bermain di depan teras rumah. Karena pintu rumah bagian depan terkunci, kliennya masuk melalui pintu dapur.
Saat itulah, katanya, kliennya mendapati Elda sedang gantung diri di salah satu ruangan rumah.
Kliennya langsung teriak dan menangis, lalu memeluk Elda yang masih dalam posisi menggantung. Hal itu membuat dua saksi, Hilarius Hence dan Edeltrudis Hartati ke lokasi kejadian.
Atas inisiatif sendiri, kliennya bersama Hilarius menurunkan korban, disaksikan oleh Edeltrudis. Kliennya menopang korban, kemudian Hilarius melepaskan gantungan kain, menurunkan dan merebahkannya di lantai.
“Setelah kami wawancara klien kami tanggal 23 Oktober 2024 di Unit Pidum Polres Manggarai Barat, ia berkata, saat dibaringkan terlihat ada luka jahitan di bagian kaki, tangan dan di bagian perut,” kata Frido.
“Lalu, dia menutupnya pakai kain dan dia bingung kenapa sampai ada luka,” katanya.
Sekitar pukul 11.00, kata dia, Levi Yohanes Juang dan Eri Fatima Nur, keduanya orang tua kliennya, pulang dari kebun menuju lokasi kejadian.
Saat bersamaan, jelasnya, Ardianus Jehadun, ayah korban, mengevakuasinya ke Nggorang, Kecamatan Komodo.
Berdasarkan kronologi itu, ia pun mempertanyakan pernyataan polisi bahwa “korban kehilangan nafas karena dicekik,” menyebutnya sebagai kesimpulan ambigu dan dapat diperdebatkan.
Ia menyatakan, hal itu tidak sesuai dengan kesaksian kliennya dan dua saksi, Hilarius Hence dan Edeltrudis Hartati.
“Kami menganjurkan kepada Penyidik Polres Manggarai Barat agar mendalami betul, apakah korban kehilangan nafas karena dicekik ataukah kehilangan nafas karena gantung diri,” ujarnya.
Soal dugaan kliennya melakukan penganiayaan terhadap korban, katanya, “iya, tapi tidak serta merta korban kehilangan nyawa karena dianiaya.”
Belum Penuhi Rasa Keadilan
Lambertus Sedus, pengacara keluarga korban yang berbicara dengan Floresa pada 24 Oktober mengapresiasi polisi karena telah bekerja keras mengungkapkan tersangka kasus ini.
Ia berharap, proses selanjutnya bisa memberikan keadilan bagi keluarga korban sekaligus efek jera bagi pelaku sehingga kasus seperti ini tidak terulang lagi.
Sementara itu, merespons ancaman hukuman tujuh tahun penjara terhadap tersangka, salah satu kerabat korban berkata kepada Floresa: “kami merasa tidak adil.”
“Kami belum bisa menerima itu. Ini kekerasan yang luar biasa. Nyawa anak kami hilang di tangan tersangka, lalu ia [terancam] dihukum ringan,” katanya.
Editor: Ryan Dagur