Floresa.co – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] menyebut kasus kematian seorang ibu di Kabupaten Manggarai Barat [Mabar] yang diduga dianiaya suaminya sebagai bagian dari femisida, salah satu bentuk kekerasan yang kian marak terjadi di Indonesia.
“Kasus femisida biasanya dilakukan oleh pasangan suami atau mantan suami” atau orang terdekat korban lainnya, kata Theresia Iswarini, komisioner Komnas Perempuan kepada Floresa pada 5 November.
Theresia merespons kasus kematian Sustiana Melci Elda, seorang ibu berusia 22 tahun di Kampung Nggilat, Kecamatan Macang Pacar pada 3 Oktober.
Semula, suaminya Eduardus Ungkang, 24 tahun melaporkan bahwa Elda bunuh diri. Namun investigasi oleh Polres Mabar menunjukkan bahwa ia dianiaya sebelum digantung di rumah mereka.
Theresia berkata, femisida merupakan “pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya.”
Femisida didasarkan pada “relasi kekuasaan yang timpang, didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan dan kepuasan sadistik.”
Dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur yang masih kuat menganut budaya patriarki, femisida menjadi mungkin terjadi “mengingat basisnya adalah relasi kuasa yang timpang, agresi, dan superioritas,” kata Theresia.
Komnas Perempuan mencatat 159 kasus dengan indikator femisida pada tahun lalu. Jumlah tertinggi adalah pembunuhan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi.
“Mayoritas perempuan korban femisida mengalami kekerasan berlapis sebelum dibunuh,” kata Theresia.
Ia menyebut femisida sebagai “kulminasi atau puncak tertinggi dari kekerasan berlapis dan berulang yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan.”
Ini merupakan bentuk kekerasan paling ekstrim dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, katanya.
Sayangnya, kata Theresia, femisida belum dikenali dalam hukum Indonesia yang terindikasi dari penyamaan definisi pembunuhan untuk semua orang.
“Akibatnya, aparat penegak hukum kerap kali tidak memberikan perhatian lebih pada pembunuhan berbasis gender,” katanya.
Bagaimana Dugaan Pembunuhan Terjadi?
Sebelum dilaporkan meninggal di rumahnya, Elda menelepon ayahnya, Ardianus Jehadun yang tinggal di Nggorang, Kecamatan Komodo, sekitar 15 kilometer arah timur Labuan Bajo.
Ia mengabari sedang membutuhkan uang segera.
Wakil Kapolres Manggarai Barat, Kompol Roberto M. Bolle yang mengumumkan penetapan tersangka kasus ini pada 24 Oktober menjelaskan, Elda menelepon ayahnya pada pukul 08.01 Wita sampai dengan 08.06.
Percakapan dilanjutkan pada pukul 08.34 sampai dengan 08.39, dilanjutkan lagi pada pukul 08.40 hingga 08.53.
Ayah korban mengaku sedang tidak ada uang, sehingga berusaha mencari pinjaman.
Pada pukul 09.00 sampai 09.08 ayah korban menelepon kembali, memberitahu bahwa ada orang yang bisa meminjamkan uang itu dengan bunga 10 persen.
Mendengar itu, tersangka keberatan sehingga terjadi pertengkaran dengan korban, lalu menganiayanya.
Pada pukul 09.27 dan 09.28, korban kembali menelpon ayahnya melalui panggilan video WhatsApp, namun tidak diangkat.
Pada pukul 09.29, ayah korban menghubungi balik korban melalui telepon WhatsApp, tetapi tidak dijawab.
Panggilan kembali dilakukan pada pukul 09.48 Wita, namun lagi-lagi tidak dijawab.
Pada pukul 09.56, ayah korban mendapatkan kabar bahwa putrinya sudah meninggal.
“Korban meninggal dalam waktu yang begitu cepat,” ujar Roberto.
Eduardus sempat melaporkan kematian Elda ke Polsek Mancang Pacar, mengklaim pemicunya karena bunuh diri.
Namun, ayah korban menduga ada penganiayaan, setelah menemukan sejumlah luka pada jenazah putrinya. Ia pun melapor kasus ini ke Polres Manggarai Barat pada 4 Oktober dini hari.
Setelah melalui proses penyelidikan selama tiga pekan, Polres Mabar menyimpulkan penyebab kematian diduga karena dianiaya, bukan karena bunuh.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Luthfi D. Aditya menyatakan, penetapan tersangka Eduardus merujuk pada sejumlah bukti.
Selain dari pemeriksaan Eduardus, sembilan saksi, kata dia, ada hasil visum dan autopsi dari dua sumber yang berbeda, yaitu visum bagian luar tubuh oleh RSUD Komodo pada 4 Oktober dan autopsi dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda NTT pada 15 Oktober.
Sebelum ditemukan meninggal, korban diketahui bertengkar dengan suaminya, lalu dianiaya dan digantung.
Dari hasil visum bagian luar tubuh, kata Luthfi, ditemukan luka-luka pada beberapa bagian tubuh korban yaitu pada bagian leher, dada, perut, punggung belakang, tangan kiri dan tungkai kiri karena tindak kekerasan dengan benda tumpul.
Sementara dari hasil autopsi jenazah oleh tim forensik bidang kedokteran dan kesehatan Polda NTT, kata dia, disimpulkan bahwa “penyebab pasti kematian korban adalah karena tertutupnya saluran nafas sehingga mati lemas.”
Kematian, katanya, “bukan karena bunuh diri, melainkan dicekik oleh suaminya.”
“Tanda-tanda yang ditemukan pada tubuh korban menunjukan bahwa dia telah meninggal sebelum digantung,” tambahnya.
Gelar Rekonstruksi
Polres Mabar telah menggelar rekonstruksi atau reka ulang adegan penganiayaan itu di Aula Kemala Bhayangkari pada 4 November.
Dalam rekonstruksi itu, penyidik menghadirkan tersangka dan dua orang saksi, masing-masing Hilarius Hence dan Edeltrudis Hartati.
Hilarius merupakan orang yang mendapati tersangka sedang berteriak meminta tolong sambil memeluk istrinya dalam keadaan tergantung. Ia juga merupakan orang yang bersama tersangka melepaskan korban dari gantungan tersebut dan meletakkannya di lantai.
Sementara itu, Edeltrudis merupakan orang yang mendatangi rumah tersangka dan korban setelah Hilarius, kendati ia hanya sampai di pintu. Setelah melihat korban tergantung, ia berteriak memanggil warga yang lain.
Pantauan Floresa, tersangka dan kedua saksi itu dipasangkan papan pada dada masing-masing disertai status mereka dalam perkara tersebut.
Rekonstruksi diawali dengan adegan korban yang menelpon ayahnya, Adrianus Jehadun – masing-masing diperagakan oleh pemeran pengganti.
Adegan selanjutnya diperagakan oleh tersangka dan kedua saksi – Hilarius dan Edeltrudis.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Mabar, AKP Luthfi D. Aditya berkata, seluruh adegan yang diperagakan “sudah sesuai dengan hasil pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka.”
Rekonstruksi tersebut bertujuan memberikan gambaran visual terkait tindak pidana penganiayaan tersebut.
Ia berkata, rekonstruksi tersebut juga bertujuan agar “tidak terjadi perspektif yang berbeda antara keluarga korban dan keluarga tersangka.”
Rekonstruksi juga untuk “kepentingan penyidikan yang kemudian akan dimasukkan dalam berkas perkara.”
“Tersangka telah mengakui bahwa ia menganiaya istrinya. Namun, mungkin ia tidak mengetahui efeknya sampai istrinya meninggal,” katanya.
“Dia menganiaya seperti apa, akan dibuka di pengadilan,” tambahnya.
Luthfi berkata, penanganan kasus tersebut “masih dalam tahap melengkapi berkas perkara dengan memeriksa saksi tambahan dalam waktu dekat.”
Pelimpahan berkas perkara tahap satu ke Kejaksaan Negeri Manggarai Barat akan dilakukan minggu depan.
Penyidik menjerat tersangka dengan pasal 351 ayat 3 KUHP, Pasal 351 ayat 2 KUHP lebih sup Pasal 351 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Berharap Tersangka Dihukum Lebih Berat
Kerabat Adrianus Jehadun yang berbicara kepada Floresa pada 5 November berkata, “keluarga mengapresiasi kinerja kepolisian dalam penyelesaian kasus pidana penganiayaan tersebut.”
Namun, kata dia, sejauh ini, “penyidik belum mengungkap motif tersangka menggantung korban setelah ia meninggal dunia.”
Ia berkata, penyidik mestinya mengungkapkan motif tindakan tersebut sehingga publik bisa melihat bahwa “tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tidak bisa hanya dijerat dengan pasal yang ada.”
Pidana penjara tujuh tahun “tidak memberikan keadilan bagi keluarga korban.”
“Tersangka sudah membunuh anak kami, lalu menggantungnya, kemudian mengklaim bunuh diri. Itu upaya rekayasa tindak pidana yang dia lakukan,” katanya.
Kerabat Adrianus berkata, dalam rekonstruksi “tersangka tidak melakukan adegan saat ia menganiaya istrinya menggunakan benda tumpul sebagai upaya membela diri.”
Ia juga berkata, “keluarga berharap bisa mendapatkan keadilan pada proses selanjutnya.”
Theresia Iswarini berkata, Komnas Perempuan mengapresiasi kinerja kepolisian “yang telah menyidik dan memastikan bahwa korban terbunuh akibat kekerasan oleh suami dan bukan bunuh diri.”
Ia juga berkata, hasil penyidikan itu menjadi pintu masuk bagi korban dan keluarganya untuk mendapatkan akses pada keadilan dan pemulihan di tingkat kejaksaan.
Karena itu Komnas Perempuan mendorong agar “kejaksaan melihat lebih jauh kasus ini sebagai bagian dari femisida.”
Editor: Herry Kabut