Demonstrasi Peringatan May Day di Labuan Bajo, Manggarai Barat; Organisasi Buruh Desak Pemerintah Daerah Tetapkan UMK dan Jamin Keselamatan Para Pekerja

Buruh menilai upah yang diterima saat ini tidak setimpal dengan beban kerja

Floresa.co – Organisasi buruh di Labuan Bajo, Manggarai Barat mendesak pemerintah daerah agar menetapkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) secara otonom dan menjamin perlindungan hak pekerja di kota pariwisata itu.

Tuntutan tersebut disampaikan Federasi Serikat Buruh Demokrasi Seluruh Indonesia Cabang Manggarai Barat dalam demonstrasi peringatan May Day — sebutan untuk Hari Buruh Internasional yang digelar pada 1 Mei. 

Demonstrasi tersebut berlangsung di beberapa titik mulai dari Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Koperasi dan UMKM, Kantor DPRD dan Kantor Bupati.

Federasi menegaskan UU Dasar 1945 maupun UU Ketenagakerjaan menjamin setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Kendati tak merinci, federasi mengklaim menemukan berbagai ketimpangan dan pelanggaran hak pekerja di Labuan Bajo.

Para pekerja, kata federasi, belum menerima upah yang layak dari pemberi kerja sesuai ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT.

Penetapan UMP baru di NTT diumumkan pada 11 Desember 2024 melalui Keputusan Penjabat Gubernur, Andriko Noto Susanto nomor 430/KEP/HK/2024. 

Dalam keputusan itu, pemerintah menaikkan upah 6,5% atau sebesar Rp 142.143,69 yang berlaku pada tahun ini, dari Rp2.186.826 menjadi Rp2.328.969,69.

“Banyak pekerja di wilayah Manggarai Barat ini masih menerima upah di bawah standar,” kata salah satu orator dalam aksi tersebut. 

“Kami melakukan aksi agar keberadaan buruh benar-benar diperhatikan kesejahteraannya,” tambahnya. 

Upah Tak Setimpal Beban Kerja

Dalam demonstrasi itu, federasi juga menyinggung soal jaminan perlindungan hak pekerja. 

Federasi menyebut, banyak pemberi kerja menetapkan jam kerja yang tidak sesuai dengan aturan.

Merujuk UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jam kerja buruh adalah 40 jam per minggu. 

Ketentuan ini dapat diimplementasikan dengan “enam hari kerja dalam seminggu dengan durasi kerja tujuh jam per hari atau lima hari kerja dalam seminggu dengan durasi kerja delapan jam per hari.” 

UU tersebut mengatur “jika buruh bekerja melebihi jam kerja tersebut, maka akan dianggap sebagai kerja lembur dan berhak atas upah lembur.” 

Namun, menurut federasi, para pekerja di Labuan Bajo tetap saja menerima upah murah kendati kerja lembur. 

Seorang pemandu wisata, yang meminta Floresa tak menyebut namanya mengaku “upah yang saya terima tidak sesuai dengan beban kerja.”

Selain melayani wisatawan, kata dia, “kami juga diminta untuk mengurus hal-hal teknis yang menguras tenaga.”

“Kami diminta untuk bisa mengurus segala hal. Padahal, sejak awal saya direkrut hanya untuk menjadi pemandu wisata,” katanya.

Pemandu wisata itu mengaku “pekerjaan yang paling berat terjadi saat high season” — periode waktu di mana terjadi peningkatan signifikan jumlah pengunjung.

Saat memasuki periode itu, kata dia, “saya melayani ratusan tamu hingga tengah hari.” 

Kendati demikian, katanya, “saya juga diminta untuk mengurusi hal lain yang sangat teknis.”

“Kalau ada komunitas yang mau buat kegiatan di tempat kami, saya juga harus ikut menyiapkan tempat dan membersihkan ruangan untuk mereka,” katanya.

“Itu sangat tidak adil karena saya bekerja di luar tupoksi saya. Yang paling parah, tidak ada upah kalau lembur,” tambahnya.

Pemandu wisata itu mengaku menerima upah per bulan Rp2.750.000, tetapi itu tidak cukup karena “biaya kos saya per bulan Rp850.000.”

Selain itu, kata dia, kantornya juga mewajibkan semua staf agar memotong Rp300.000 dari total upah itu untuk biaya makan siang selama sebulan.

“Itu belum dihitung dengan pengeluaran untuk kebutuhan pribadi selama sebulan. Misalnya untuk makan malam dan beli bensin pergi-pulang kantor,” katanya.

“Sebagian sisa upah itu saya kirim ke orang tua. Jadi, upah bersih yang saya terima mungkin hanya sekitar Rp1 juta,” tambahnya. 

Pemandu wisata itu mengaku manajemen sempat “menjanjikan kenaikan upah,” tetap “sampai saat ini tidak ada realisasi.”

Manajemen, kata dia, juga tidak pernah memberikan apresiasi, kendati “kami telah mengerjakan tugas dengan baik.”

“Kami hampir tidak pernah diberi bonus. Bonus hanya diberikan saat Natal atau akhir tahun,” katanya.

Seorang staf lain yang juga bekerja di tempat yang sama dengan pemandu wisata itu mengaku mendapat upah per bulan Rp2.500.000.

Kendati tinggal di mess yang disiapkan kantor, ia mengaku upah itu tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Ia juga mengaku kerap merogoh koceknya sendiri ketika berkegiatan di luar mewakili kantornya.

“Saya tidak dibekali dana operasional ketika berkegiatan di luar. Untuk makan dan minum selama di luar kantor, saya keluarkan uang pribadi,” katanya.

“Upah yang saya terima tidak cukup. Apalagi sebentar lagi adik saya mau masuk kuliah. Saya juga mesti membantu biaya kuliah dia,” tambahnya. 

Upah Tidak Sesuai Standar Hidup Layak

Dua tahun sebelumnya, Serikat Pekerja Mandiri Pariwisata (SPM Par) Labuan Bajo sempat mengkritisi UMP yang ditetapkan melalui Keputusan Penjabat Gubernur nomor 355/Kep/HK/2023 pada 20 November 2023.

Frumensius Surianto, Ketua SPM Par mengatakan, “tidak puas dengan penetapan UMP karena tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari buruh.”

“Apalagi kami hidup di Labuan Bajo yang semuanya serba mahal,” katanya.

Menurutnya, “rumus yang digunakan pemerintah dalam perhitungan upah tidak mencerminkan niat untuk mensejahterakan para buruh.”

Sebelum penetapan UMP baru itu dipublikasi, SPM Par merilis pernyataan pada 20 November yang menyinggung persoalan upah pekerja di Labuan Bajo.

Bahkan dengan UMP yang berlaku selama ini, kata Frumensius dalam pernyataan itu, tidak sedikit buruh yang diupah di bawah ketentuan UMP itu.

Mereka “diupah sangat murah, bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”

Padahal, kata dia, berdasarkan temuan SPM Par, biaya hidup di Labuan Bajo kian mahal.

Ia menyatakan telah melakukan survei dan menemukan rata-rata harga sewa kos-kosan per bulan di Labuan Bajo adalah Rp750 ribu.

Sementara untuk beras, per bulan buruh mengeluarkan Rp150.000 dengan perhitungan rata-rata kebutuhan 10 kilogram dan harga beras Rp15.000 per kilogram.

Untuk dua variabel pengeluaran primer itu saja, kata Frumensius, mereka harus mengeluarkan Rp900 ribu per bulan, yang sudah nyaris separuh dari upah yang berlaku saat ini.

Ia menjelaskan, pada 1-12 November, SPM Par telah melakukan survei terkait 64 komponen Kebutuhan Hidup Layak di Pasar Batu Cermin dan Pasar Baru, Labuan Bajo.

Dari hasil survei itu, kata dia, idealnya upah layak buruh di Labuan Bajo adalah Rp3.113.336.

Komponen yang disurvei, katanya, sejalan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020.

Karena itu, kata Frumensius, SPM Par mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menerbitkan kebijakan Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang tak melekat pada UMP. 

Sebab, kata dia, variabel biaya hidup di Labuan Bajo berbeda dengan kabupaten lain di NTT.

Para pekerja saat deklarasi pembentukan Serikat Pekerja Mandiri Pariwisata Labuan Bajo (SPM Par) pada Mei 2023. Mereka menuntut penetapan Upah Minimum Kabupaten di Manggarai Barat agar bisa memenuhi standar hidup layak. (Dokumentasi SPM Par)

Lindungi Pekerja

Federasi menilai para pekerja di Labuan Bajo belum memperoleh hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

Federasi juga menilai pemberi kerja belum menerapkan standar kerja berbasis “keselamatan kesehatan kerja serta lingkungan hidup.” 

“Banyak perusahaan pemberi kerja yang belum mengurus BPJS Kesehatan, khususnya para pekerja di pelabuhan, toko, serta pengemudi roda dua dan roda empat,” kata federasi. 

Federasi juga menyebut ketiadaan Lembaga Pemutusan Hubungan Industri (LPHI) di Manggarai Barat. 

LPHI merupakan pengadilan khusus yang bertugas menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan hak, kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Akibatnya, kata federasi, beberapa kasus perselisihan buruh tak kunjung diselesaikan.

Dalam catatan Floresa, salah satu kasus perselisihan buruh yang belum terselesaikan adalah pembangunan Tembok Penahan Tanah di persimpangan Tuke Tai Kaba, Desa Golo Bilas — pintu masuk menuju kawasan bisnis pariwisata Parapuar.

Pembangunan itu masih menyisakan persoalan karena PT Cipta Jaya Piranti, kontraktor pelaksana proyek itu belum membayar upah subkontraktor dan pekerja lokal. Subkontraktor yang mengerjakan tembok itu sempat berujar, “kalau tidak ditindaklanjuti kami akan bongkar bangunan itu.” 

Karena itu, federasi mendesak pemerintah agar membentuk LPHI yang terdiri dari pemerintah, federasi buruh, organisasi pemberi kerja. 

Federasi mendesak pemerintah agar menetapkan UMK secara otonom yang “nilainya harus lebih besar dari UMP berdasarkan perhitungan kehidupan layak.”

Federasi Serikat Buruh Demokrasi Seluruh Indonesia Cabang Manggarai Barat mendesak pemerintah daerah menetapkan Upah Minimum Kabupaten secara otonom. (Dokumentasi Floresa)

Dalam sebuah pernyataan kepada Floresa, Theresia Primadona Asmon, Kepala Dinas Ketenagakerjaan, Transmigrasi, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manggarai Barat mengatakan, saat ini penentuan upah buruh masih tetap mengikuti UMP.

Ia berkata Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat belum bisa menetapkan UMK karena “hingga saat ini belum ada penghitungan tingkat inflasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS).”

Meski begitu, ia mengklaim kantornya sudah berkoordinasi dengan BPS dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah setempat terkait rencana penetapan UMK.

Priska Heldiani Harum, Statistisi Pelaksana BPS Manggarai Barat berkata pihaknya belum menghitung tingkat inflasi karena “Kabupaten Manggarai Barat tidak masuk dalam kota sampel inflasi.”

Terdapat tiga kota/kabupaten yang menjadi sampel BPS dalam penghitungan inflasi NTT, yakni Kupang, Maumere di Kabupaten Sikka dan Waingapu di Kabupaten Sumba Timur.

Kriteria penetapan kabupaten/kota sebagai daerah sampel inflasi mempertimbangkan pengeluaran konsumsi non-makanan, jumlah penduduk melampaui rata-rata jumlah penduduk provinsi serta kedekatan jarak terhadap ibu kota provinsi.

Federasi juga mendesak pemerintah daerah untuk memperkuat pengawasan ketenagakerjaan, perlindungan hak-hak buruh serta membentuk dewan pengupahan kabupaten. 

Selain itu, federasi menuntut pemerintah daerah agar menginstruksikan kepada pemberi kerja agar menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan yang baik bagi pekerja.

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA