Floresa – Floresa, media yang berbasis di Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur mulai menggelar kegiatan lokakarya tentang korupsi dan menghadirkan pembicara dari Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] dan Indonesia Corruption Watch [ICW].
Kegiatan yang digelar secara daring dan diikuti oleh 27 jurnalis terpilih dari sejumlah kabupaten di Pulau Flores ini, resmi dibuka pada Senin, 28 Agustus, pukul 15.00 Wita.
Nisrina Nadhifah yang berbicara mewakili panitia saat acara pembukaan mengatakan bahwa program ini berangkat dari keresahan atas isu korupsi, kerusakan lingkungan, pembangunan yang tidak memperhatikan warga lokal, juga “kurang terkonsolidasi-nya gerakan masyarakat sipil dengan jurnalis di wilayah-wilayah non kota besar.”
Lokakarya dengan tema “Memperkuat Peran Jurnalis di Flores dalam Mendorong Tata Pemerintahan yang Baik dan Memerangi Korupsi,” lanjutnya, diharapkan menjadi ruang untuk membangkitkan kembali idealisme di tengah kurangnya dukungan bagi jurnalis lokal untuk mendalami liputan-liputan yang punya dampak untuk publik.
“Jurnalis di daerah masih minim dukungan dan bekerja di situasi yang ‘berbahaya’ karena menjaga independensi dan kritisismenya dalam meliput berita-berita dan isu lokal yang perlu disuarakan,” katanya.
Kegiatan ini, katanya, “tidak hanya berhenti di lokakarya daring,’ tetapi juga “nanti yang paling menarik ketika teman-teman mulai berdiskusi soal rencana proyek liputan investigatif.”
“10 peserta terpilih akan mendapatkan beasiswa liputan investigatif,” ujarnya.
Ia berharap lokakarya itu juga menjadi forum yang bisa menghubungkan para jurnalis di Flores dalam rangka membangun kekuatan bersama untuk bertumbuh, mengawal proses-proses pembangunan demi mendorong demokratisasi dan pembangunan berkeadilan lewat kerja-kerja jurnalistik yang mengedepankan isu-isu yang selama ini terpinggirkan.
Pembicara dalam lokakarya hari pertama ini di antaranya Dian Patria dari KPK, Tibiko Zabar dari ICW dan Cypri Jehan Paju Dale dari Litbang Floresa.
Dian menyatakan bahwa NTT adalah salah satu provinsi yang rentan terhadap korupsi di Indonesia di tengah kemampuan keuangan daerah yang sangat tergantung pada dana dari pemerintah pusat.
Oleh karena itu, kata dia, perlu akselerasi untuk mencegah tindak pidana tersebut agar NTT bisa keluar dari kategori provinsi miskin.
Ia berharap semua pihak termasuk media, menyuarakan ketimpangan-ketimpangan dalam tata kelola pemerintahan di NTT sehingga “kemandirian fiskalnya bisa lebih meningkat, aparatur lebih berkualitas, lebih profesional, dan APBD sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.”
Sementara Tibiko dalam materi bertajuk ‘Mencermati Pola Korupsi dan Peran Media dalam Pencegahannya’ menjelaskan bahwa peran jurnalis sangat urgen dalam membongkar praktik-praktik korupsi.
Media, kata dia, punya peran memberikan informasi yang edukatif agar masyarakat punya pengetahuan terkait kebijakan, “dengan harapan mereka [masyarakat] bisa berdaya dan mampu melakukan advokasi secara mandiri.”
Selain itu, katanya, media melakukan tugas pengawasan terhadap penegakan hukum.
“Lewat pemberitaan media, penegak hukum bisa tergerak untuk mengungkap skandal kejahatan publik, khususnya terkait isu korupsi,” katanya.
Berikutnya, kata dia, pemberitaan media bisa mengubah kebijakan yang tidak pro kepentingan masyarakat.
“Makanya dalam negara demokrasi ada istilah media sebagai anjing penjaga,” ujarnya.
Peran media, kata dia, memastikan tata kelola pemerintahan usemakin akuntabel dan transparan, terjadi peningkatan kualitas pelayanan hingga berujung pada kesejahteraan publik.
Sementara itu, Cypri dalam materi berjudul ‘Korupsi Kebijakan’ menjelaskan bahwa proses pembangunan sering dipercaya sebagai cara pemerintah untuk mewujudkan kebaikan umum, misalnya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan.
Tetapi, katanya, “dalam perspektif kritis, pembangunan juga bisa menjadi mekanisme pencaplokan sumber daya dan penguasaan kesempatan ekonomi yang yang tercipta lewat proyek-proyek yang dibiayai dengan dana publik.”
“Korupsi kebijakan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri dan kelompok melalui orkestrasi kebijakan di dalam konteks tata kelola pemerintahan dan tata kelola pembangunan,” ujarnya.
Korupsi kebijakan, kata dia, sebagai cara pemerintahan dijalankan ketimbang sebuah penyimpangan.
“Jadi, dia belum tentu seperti penyelewengan APBN, tetapi dia lebih struktural sifatnya karena tertanam di dalam cara penyelenggaran pemerintahan,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, dalam melakukan investigasi jurnalistik atas kasus korupsi kebijakan, jurnalis harus membaca rezim sebagai kesatuan antara penguasa dan pengusaha, “bukan hanya analisis tentang figur pemimpin atau kelompok politik yang sedang berkuasa, tetapi kelompok ekonomi yang diuntungkan atau berkuasa pada periode tertentu.”
“Karena itu, penting melakukan pemetaan aktor dan membaca relasi mereka dalam jangka panjang,” ujarnya.
Lokakarya akan lanjut ke hari kedua, Selasa, 29 Agustus di mana pembicaranya adalah sejumlah jurnalis yang berpengalaman dalam liputan investigasi.
Mereka adalah Avid Hidayat dari Tempo, Evi Mariani dari Project Multatuli dan Ika Ningtyas dari Aliansi Jurnalis Independen.
Program ini didukung oleh dana hibah melalui Alumni Thematic International Exchange Seminar [TIES] dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.