Mantan Camat Boleng Masuk Tahanan Lagi Usai Kalah Kasasi dalam Kasus Pemalsuan Dokumen

Penahanan ini menjadi yang ketiga bagi mantan camat itu, yang mengklaim sebagai Tu’a Adat dan Tu’a Gendang Ulayat Mbehal.

Baca Juga

Floresa.co – Seorang mantan camat di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, kembali ditahan oleh pihak Kejaksaan terkait kasus pemalsuan dokumen tanah adat setelah lima bulan sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri di kabupaten itu.

Bonaventura Abunawan, Mantan Camat Boleng, ditahan oleh Kejaksaan Negeri Manggarai Barat pada Senin, 11 September, setelah lembaga Adhyaksa itu menang kasasi atas Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo.

Melalui Putusan Nomor: 865 K/Pid/2023 tanggal 24 Agustus 2023, Mahkama Agung [MA] menyatakan Bonaventura “telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘dengan sengaja memakai atau menggunakan surat palsu jika pemakaian atau penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.'”

MA menjatuhkan vonis penjara selama 1 tahun 6 bulan kepada Bonaventura.

Ini merupakan penahanan ketiga terhadap Bonaventura dalam kasus yang sama setelah dilaporkan ke penegak hukum pada 2018 saat ia masih menjadi camat.

Ia dilaporkan terkait Surat Pernyataan Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng tertanggal 29 Agustus 2018, yang ditandatangani oleh perwakilan dari tujuh gendang [kampung adat] di wilayah Boleng.

Surat itu berisi klaim bahwa Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng, dengan koordinator adalah Tu’a Adat Mbehal, menguasai ulayat di Boleng.

Dalam surat itu yang ditandatangani oleh 23 tua adat itu, juga dinyatakan bahwa Johanes Usuk –  ayah Bonaventura – “merupakan Tu’a Adat dan Tu’a Gendang dari Ulayat Mbehal, sesuai silsilah keluarga dan struktur adat.” 

Di dalamnya, diklaim bahwa wilayah ulayat Gendang Mbehal mencapai wilayah Laut Flores di bagian utara; Wae Nuwa (wilayah Kempo Kecamatan Mbeliling) di bagian selatan; Laing Bakok Torong Boleng, Golo Tado, Golo Rungkam, Bungki Em Rampas, Lekes Kira, Golo Ruteng, Tonggong Sita, Boa de Ada, Mata Wae Bobok, Mata Wae Bola, Golo Ngkiong, Golo Ketak, Golo Pau, Mata Bajak Nini, Wae Nuwa di bagian timur dan dengan wilayah Kecamatan Komodo yaitu Wae Nuwa, Sunga Sipi, Lojeng wae Sipi, Mata Wae Wangga, Wase Kimpur, Liang Mbako, Watu Katur di bagian barat.

Selain itu, wilayah lain yang diklaim berada di bawah hak ulayat Mbehal adalah Rangko.

Kuasa Hukum Belum Bisa Mengambil Sikap 

Paskalis Baut, kuasa hukum Bonaventura mengatakan pihaknya belum bisa mengambil langkah selanjutnya dalam perkara ini karena “kami belum menerima salinan resmi putusan MA itu.”

“Saat ini kami selaku kuasa hukum baru menerima petikan putusan pada 5  September dan dalam salinan petikan ini tidak mencantumkan terkait pertimbangan MA,” katanya kepada Floresa.

Dalam petikan itu, lanjut Paskalis, hanya berisi amar putusan “yang isinya apakah BA [Bonaventura Aburaman] terlibat atau tidak dan lamanya hukuman.”

“Kami kuasa hukum tidak tahu atas dasar apa MA memberikan putusan itu, sementara sebelumnya di PN tidak terbukti bersalah,” ujarnya.

“Setelah kami menerima salinan putusan nanti, kemudian kami akan mengambil sikap,” tambahnya.

Meski belum menyatakan langkah hukum atas putusan MA tersebut, Paskalis mengatakan, secara tata cara hukum, kliennya memiliki hak untuk melakukan Peninjauan Kembali [PK] atas putusan tersebut.

“Sampai hari ini kami masih menunggu salinan putusan untuk dasar kami selanjutnya,” lanjutnya.

Tentang Kasus 

Kasus ini bermula dari laporan Bonefasius Bola, Tu’a Golo Kampung Terlaing, salah satu tua adat yang menandatangani dokumen tanah adat tersebut pada 2018.

Ia menuding Bonaventura memanipulasi dan memaksa sejumlah tetua adat untuk menandatangani dokumen tersebut.

Beberapa bulan setelah dilaporkan, Bonaventura kemudian ditahan di Polda NTT. Namun, ia mengajukan praperadilan dan gugatannya dikabulkan pada Januari 2020, lalu dibebaskan.

Putusan praperadilan hanya menyangkut prosedur penyitaan dokumen yang dilakukan Polda NTT dan bukan terkait materi pokok perkara tindak pidana membuat dan menggunakan surat palsu. Dengan demikian penyelidikan kasus ini diteruskan.

Pada 10 Januari 2023, Bonaventura kembali ditahan untuk kedua kalinya, terkait materi pokok perkara.

Penahanan itu sempat  direspons dengan aksi unjuk rasa oleh kelompok masyarakat dari Kampung Mbehal. Mereka mendatangi sejumlah instansi pemerintah, termasuk kantor pemerintah kabupaten, Polres, Badan Pertanahan dan DPRD.

Mereka menyatakan bahwa kasus yang dialami Bonaventura “banyak rekayasa” dan mengklaim aparat “memanfaatkan beberapa orang yang bersedia dijadikan boneka mafia tanah.”

Bonaventura kemudian bebas setelah dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Labuan Bajo melalui Putusan Nomor: 2/Pid.B/2023/PN Lbj tanggal 13 April 2023.

Konflik Lahan yang Pelik

Konflik lahan di wilayah Boleng, yang merupakan pinggiran kota Labuan Bajo, merupakan salah satu dari konflik yang kompleks, yang dalam beberapa waktu terakhir terus mencuat di wilayah itu di tengah proses pembangunan yang masif.

Konflik lahan terus muncul di Labuan Bajo dan sekitarnya yang ditetapkan pemerintah sebagai kota pariwisata super premium. 

Penjualan tanah oleh warga setempat tidak hanya kepada warga Indonesia, tetapi juga warga asing.

Informasi yang dihimpun Floresa.co, banyak dari lahan-lahan yang kini dipersoalkan warga di wilayah Boleng sudah dijual kepada pihak lain, sebagiannya untuk pembangunan berbagai fasilitas milik pemerintah.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini