BerandaREPORTASEMENDALAMKasus Dugaan Pemalsuan Dokumen...

Kasus Dugaan Pemalsuan Dokumen Tanah Adat di Manggarai Barat, NTT: Mantan Camat Kembali Ditahan, Muncul Tudingan Permainan Mafia 

Bonaventura Abunawan, mantan Camat Boleng di Kabupaten Manggarai Barat ditahan untuk kedua kalinya dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen tanah adat. Warga pendukungnya menduga ada permainan mafia tanah. Ini adalah salah satu dari sekian banyak konflik lahan yang terus meningkat di tengah perkembang pesat pariwisata di Labuan Bajo.

Floresa.co – Kejaksaan Negeri Manggarai Barat [Mabar], NTT menahan seorang mantan camat pada pekan ini terkait tudingan pemalsuan dokumen tanah yang juga melibatkan mantan bupati.

Sementara itu, pihak yang mendukung camat itu menuding adanya permainan mafia tanah dalam kasus ini.

Bonaventura Abunawan, mantan Camat Boleng, yang wilayahnya berbatasan dengan Labuan Bajo, ditahan pada Selasa, 10 Januari 2023 karena diduga melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen surat pernyataan tanah yang ditandatangani oleh beberapa tokoh adat di wilayahnya.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Mabar, Vendy Trilaksono mengklaim Bonaventura melanggar KUHP Pasal 263  ayat 1  tentang “membuat surat palsu atau memalsukan surat” dan ayat 2 tentang “dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.”

Ancaman hukuman, katanya, adalah lima tahun penjara.

Saat keluar dari ruangan Kejari Mabar menuju mobil tahanan, Bonaventura dikawal oleh beberapa petugas.

Ia memakai topi re’a – topi khas Manggarai dari daun pandan -, dipadukan dengan baju batik dan celana panjang coklat. 

Menenteng sebotol air mineral, ia sesekali menengok ke arah para jurnalis yang saat itu berdiri di depan kantor kejaksaan, namun tidak memberikan komentar.

Kasus yang Sudah Dimulai 2018

Ini merupakan penahanan yang kedua bagi Bonaventura dalam kasus yang sama yang dilaporkan ke penegak hukum sejak 2018 saat ia masih sebagai camat.

Ia dilaporkan terkait Surat Pernyataan Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng tertanggal 29 Agustus 2018, yang ditandatangani oleh perwakilan dari tujuh gendang (kampung adat) di wilayah Boleng.

Surat itu berisi klaim bahwa Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng, dengan koordinator adalah Tu’a Adat Mbehal, menguasai ulayat di Boleng.

Dalam surat itu yang ditandatangani oleh 23 tua adat, juga dinyatakan bahwa Johanes Usuk –  ayah Bonaventura – “merupakan Tu’a Adat dan Tu’a Gendang dari Ulayat Mbehal sesuai silsilah keluarga dan struktur adat.” 

Di dalamnya, diklaim bahwa wilayah ulayat Gendang Mbehal mencapai wilayah Laut Flores di bagian utara; Wae Nuwa (wilayah Kempo Kecamatan Mbeliling) di bagian selatan; Laing Bakok Torong Boleng, Golo Tado, Golo Rungkam, Bungki Em Rampas, Lekes Kira, Golo Ruteng, Tonggong Sita, Boa de Ada, Mata Wae Bobok, Mata Wae Bola, Golo Ngkiong, Golo Ketak, Golo Pau, Mata Bajak Nini, Wae Nuwa di bagian timur dan dengan wilayah Kecamatan Komodo yaitu Wae Nuwa, Sunga Sipi, Lojeng wae Sipi, Mata Wae Wangga, Wase Kimpur, Liang Mbako, Watu Katur di bagian barat.

Bonaventura Abunawan. (Foto: Floresa).

Selain itu, wilayah lain yang diklaim berada di bawah hak ulayat Mbehal adalah Rangko.

Belakangan, beberapa penandatangan surat itu mempersoalkannya, menuding Bonaventura melakukan manipulasi dan memaksa mereka menandatangani surat itu.

Tua Adat Golo Kondo, Thomas Sudin yang ikut menandatanganinya mengaku dipaksa oleh Bonaventura dan yang mereka ketahui bahwa surat itu hanya mengatur tentang batas-batas wilayah adat.

Thomas mengaku baru mengetahui kemudian bahwa dokumen yang ditandatangan itu berisi pengangkatan ayah Bonaventura sebagai Tu’a Adat dan Tu’a Gendang.

Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh Tua Adat Mberheleng, Kosmas Tie. Ia mengatakan sempat menolak menandatangani surat itu karena tidak mengetahui secara rinci batas-batas wilayah adat mereka. Namun, katanya, Bonaventura mengaku siap bertanggung jawab jika surat tersebut berurusan dengan aparat penegak hukum.

Tudingan pemalsuan ini membuat Bonefasius Bola, Tu’a Golo di Kampung Terlaing melapor Bonaventura ke polisi pada 2018.

Beberapa bulan kemudian, Bonaventura ditahan di Polda NTT. Namun, ia mengajukan praperadilan dan gugatannya dikabulkan pada Januari 2020, lalu dibebaskan.

Putusan praperadilan hanya menyangkut prosedur penyitaan dokumen yang dilakukan Polda NTT dan bukan terkait materi pokok perkara tindak pidana membuat dan menggunakan surat palsu. Dengan demikian penyelidikan kasus ini diteruskan.

Pasca bebas dari tahanan, Bonaventura bersama Pemkab Manggarai Barat mengambil langkah mencabut surat itu pada 4 Maret 2020.

Kabag Hukum Setda, Hilarius Madin kala itu mengundang Tu’a Golo dan Tu’a Gendang Tana Boleng dalam rapat di Aula Paroki Lando, di mana hadir 10 orang dari 23 pemangku adat.

Hilarius mengatakan, pihaknya harus mencabut surat tersebut karena cacat prosedur, di mana “penandatanganannya dilakukan di beberapa tempat, sehingga para penandatangan memberikan keterangan yang berbeda terhadap substansi yang diterbitkan.”

Upaya pencabutan kembali surat itu, kata penyidik Polda NTT kala itu, justru dianggap memperkuat dugaan bahwa surat itu memang palsu.

“Kalau memang betul kenapa dibatalkan,” kata Kanit 1 Subdit 3 Ditreskrimum Polda NTT, AKP Edy.

Ia menyebut, pencabutan surat itu hanya untuk menyelamatkan pihak tertentu, karena “perbuatan pidana sudah terlanjur terjadi.”

Upaya pencabutan surat itu dilakukan beberapa hari sebelum tim Polda NTT memeriksa Bupati Agustinus Ch Dula pada 7 Maret 2022.  Peran Dula adalah ikut mengesahkan surat yang dibuat Bonaventura itu, di mana dia ikut menandatanganinya, disertai dengan stempel resmi.

Babak Baru

Dengan penahanan kedua pada 10 Januari 2023, Trilaksono dari Kejari Mabar mengatakan, pihaknya memiliki wewenang untuk melakukan penahanan selama 20 hari ke depan.

Penahanan ini, katanya, untuk mempermudah pihak kejaksaan dalam menangani perkara ini sehingga pembuktian di pengadilan dapat lebih cepat.

“Benar atau salahnya nanti tentunya akan dibuktikan di pengadilan,” jelasnya.

Hendrikus Jempo, Tu’a Gendang atau kepala rumah adat di Kampung Terlaing mengklaim, surat pernyataan yang dibuat Bonaventura “meresahkan masyarakat adat Boleng.”

Ia mengatakan, selain Terlaing, dalam dokumen itu ada beberapa kampung adat lain yang dihilangkan yaitu Wangkung, Rai, sebagian Rareng, Tebedo, Lancang, dan Nggorang.

Ia juga mempersoalkan Lingko Menjerite milik Lancang, Lingko Nerot milik Kampung Terlaing dan sebagian Lingko Warang milik Rareng yang tiba-tiba diklaim sebagai tanah ulayat Mbehal dalam dokumen itu.

Hendrikus juga menyebutkan bahwa setelah dibebaskan usai penahanan pertama, Bonaventura membagi-bagi tanah milik warga “tanpa menghiraukan bahwa tanah tersebut sudah bersertifikat.”

“Lokasi [yang dibagi-bagikan] itu dibersihkan dan ditanami pisang dan dibuat pondok. Anehnya, setiap orang yang mendapat tanah itu tidak diberikan dokumen tanda bukti,” kata Hendrikus. 

Menurut dia, aksi Bonaventura membuat sejumlah kelompok masyarakat di Boleng geram.

“Para tokoh adat di Boleng, terutama Terlaing dan Lancang menahan diri dan berupaya jangan terulang lagi tragedi berdarah 2017 di Menjerite,” klaimnya.

Tragedi Menjerite yang disebut Hendrikus merujuk pada peristiwa perkelahian yang menyebabkan Donatus Jehurut dan Alosius, dua warga asal Kusu, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai tewas pada Senin 16 Januari 2017. Keduanya adalah pekerja di kebun yang diklaim milik Robert, seorang warga asal Australia. Mereka terlibat perkelahian dengan warga lain yang juga mengklaim lahan itu.

Sementara Bonefasius Bola menuding Bonaventura hendak “mengendalikan tanah adat masyarakat Boleng.”

“Taktiknya, dengan menggunakan peta zaman Belanda dulu yang disebut ‘Hamente’ atau Kedaluan. Jika dibandingkan sekarang kira-kira sama seperti kecamatan. Kebetulan pusat Kedaluan Boleng terakhir di Mbehal, yang sebelumnya di Rareng. Mbehal adalah kampung Saudara Bonaventura,” katanya.

Ia menduga Bonaventura membuat peta lahan itu untuk mengendalikan tanah adat Boleng di bawah koordinasinya bersama ayahnya, Johanes Usuk.

Padahal, kata dia, Kampung Mbehal berada di balik gunung dan posisi Lingko Menjerite dan Nerot melewati kampung adat Wangkung, Rareng, Rai, dan Tebedo. 

Ia menjelaskan, kampung dan lingko dalam kehidupan orang Manggarai sangat dekat sebagaimana terungkap dalam filosofi “Gendang’n one’n, lingko’n pe’ang,” yang merujuk pada satu kesatuan utuh antara rumah sebagai tempat tinggal dan tanah adat sebagai garapan yang dikuasai sebagai hak milik dan diwariskan secara turun-temurun.

Karena itu, kata dia, menjadi aneh ketika sebuah kampung memiliki lingko atau tanah adat yang berada di wilayah kampung lain.

Tanggapan Warga Mbehal dan Tudingan Permainan Mafia

Penahanan Bonaventura pada 10 Januari direspons dengan aksi unjuk rasa oleh kelompok masyarakat dari Kampung Mbehal yang mempersoalkan proses hukum terhadapnya.

Mereka mendatangi sejumlah instansi pemerintah, termasuk kantor pemerintah kabupaten, Polres, Badan Pertanahan dan DPRD.

Mereka menyatakan bahwa kasus yang dialami Bonaventura sebagai salah satu tetua adat “banyak rekayasa” dan mengklaim aparat “memanfaatkan beberapa orang yang bersedia dijadikan boneka mafia tanah.”

Mereka mengklaim, beberapa oknum penyidik dari Polda NTT pernah mendatangi para tetua ulayat di wilayah Boleng, mengintimidasi mereka dan “memaksa untuk membuat penyangkalan atas sebuah surat berisi kesepakatan bersama para ulayat.”

Karena itu, seperti dilansir Media Indonesia, mereka mengklaim menggelar unjuk rasa “untuk mendorong pemerintah agar lebih tegas dalam menghadapi para mafia tanah.”

Para mafia tanah, kata mereka, “telah menghancurkan keharmonisan kehidupan di masyarakat melalui adu domba, menghancurkan adat dan budaya, dan merusak hukum-hukum adat yang berlaku di masyarakat dalam upaya merampok hak-hak ulayat.”

Mereka pun meminta agar Pemda Manggarai Barat menindaklanjuti upaya bersama para ulayat, yang tergabung dalam Gendang Tujuh Ulayat Tanah Boleng pada 7 sampai 9 April 2022, “yang telah merapikan sejarah turun temurun ulayat di Kecamatan Boleng, saling memperkuat, mendukung, sehingga tidak ada celah bagi mafia tanah untuk masuk.”

Pada 12 Januari, Floresa.co menemui beberapa warga Mbehal yang ikut dalam unjuk rasa itu. Mereka sedang menggelar pertemuan terkait masalah ini.

Aleks Makung, Tua Golo Mbehal membantah berbagi tudingan yang diarahkan kepada Bonaventura. 

Ia mengatakan, bagi mereka. kelompok warga yang mempersoalkan surat yang dibuat Bonaventura itu sebetulnya tidak memiliki hak ulayat.

Ia menjelaskan, Gendang Mbehal terdiri atas enam kampung yang dibagi menjadi tiga mukang [Kampung Pungkang, Tebedo, dan Rai] dan tiga riang [Kampung Terlaing, Rangko, dan Sita].

Beberapa warga adat Mbehal berfoto bersama usai diwawancarai Floresa.co pada Kamis, 12 Januari 2023. (Foto: Jefry Dain/Floresa.co)

Mukang, kata dia,  kampung yang merupakan perkembangan dari Gendang Mbehal, sedangkan riang merupakan kampung yang dibentuk oleh komunitas pendatang.

Warga di riang, jelasnya, diberi lahan garapan oleh Gendang Mbehal setelah mereka melakukan permintaan lewat kapu manuk, lele tuak, tata cara sesuai tradisi Manggarai untuk meminta sesuatu sambil membawa ayam dan minuman tradisional.

Ia mengklaim, awal mula sejarah keberadaan orang di Terlaing adalah pendatang dari kampung Nggesik, Pacar yang melarikan diri ke Mbehal karena membunuh isterinya di dalam kuali tempat memasak gula aren yang sedang mendidih.

Setelah kamatian sang isteri, kata dia, dua orang kakak beradik yang merupakan moyang dari orang Terlaing mencari tempat aman di Gendang Mbehal.

“Kedua nenek moyang orang Terlaing itu dijadikan budak orang Mbehal yang kemudian menjadi anak mantu. Keduanya mengambil isteri di Mbehal dan Mbehel. Kakak dari nenek moyang Terlaing ambil isteri di Gendang Mbehal, sedangkan adiknya mengambil isteri di Mbehel,” katanya kepada Floresa.co.

Setelah hidup sebagai suami isteri di Mbehal dan berkembang, karena sesuai hukum adat, mertua dan menantu tidak boleh hidup sama, kata dia, suami-isteri itu meminta supaya mereka tinggal di satu lokasi yang merupakan kebun bernama Tumur.

“Merasa tidak nyaman dan sakit di Kampung Tumur, mereka meminta pamit di Gendang Mbehal untuk tinggal di Terlaing yang berdekatan dengan Tebedo. Di Terlaing, mereka tidak diberi hak ulayat oleh Gendang Mbehal karena posisinya sebagai riang,” jelasnya. 

Dengan alasan itu, kata dia, Terlaing tidak punya hak ulayat dan alasan untuk menggugat dokumen Wa’u Pitu Gendang Pitu Ulayat Tana Boleng. 

“Apalagi, di dalam surat itu, tidak ada hak-hak ulayat kampung lain yang dihilangkan seperti Wangkung, Rai, Rareng, Tebedo, dan Terlaing. Terlaing statusnya riang. Sedangkan Lancang dan Nggorang bukan urusannya Gendang Pitu di Tanah Boleng,” katanya.

“Perbatasan dengan Nggorang sudah diatur oleh leluhur kami yaitu Watu Katur Nentang, Kelumpang Tanda, Poco Mawo, Liang Mbako, Wase Ongko, Mata Wae Wangga, Sunga Sipi, Loleng Wae Sipi dan Sunga Wae Nuwa,” tambahnya.

Dia menjelaskan, situs Watu Katur Nentang di pantai utara, dekat dengan Pelabuhan Multipurpose Pelindo, masih terawat sampai sekarang.

“Untuk Saudara Bonefasius Bola, harus memahami fakta  sejarah keberadaannya di Kampung Terlaing sebagai riang, pendatang,” katanya.

Senada dengan itu, Saverius Harten, Tua Golo Mbehel mengatakan “tidak benar tudingan pemalsuan dokumen Wa’u Pitu Gendang Pitu Ulayat Tana Boleng.”

“Dokumen itu benar adanya sesuai dengan fakta sejarah turun-temurun dari nenek moyang,” katanya.

“Di Boleng hanya ada tujuh Gendang yang memenuhi syarat dan sesuai fakta sejarah. Sedangkan Terlaing, tidak punya Gendang dan tidak punya Compang,” katanya. Compang merupakan meja persembahan yang biasanya berada di tengah kampung adat masyarakat Manggarai.

Doni Parera, yang ikut dalam aksi unjuk rasa bersama warga Mbehal pada 10 Januari mengatakan, mereka menganggap ada permainan mafia dalam kasus itu.

Ia mengatakan kepada Floresa.co, mafia yang dia maksud adalah “oknum-oknum aparat baik Polisi maupun TNI, Pemda Manggarai Barat, di BPN yang bekerja dengan siasat muslihat memanfaatkan masyarakat yang polos, yang mau dijadikan boneka dengan diatur menjadi tu’a golo gadungan untuk menguasai tanah ulayat adat Boleng.

Ia mencontohkan pengangkatan Abdullah Duwa sebagai tu’a golo  di Rangko, tanpa sepengetahuan Gendang Mbehal. 

“Abdullah Duwa orang yang  berasal dari luar Flores yang dipakai demi memuluskan penguasaan tanah ulayat adat Boleng. Akibat dari itu, telah banyak sertifikat yang telah terbit dan bermasalah,” katanya.

Polemik Lahan yang Kian Pelik di Labuan Bajo dan Sekitarnya

Sementara saling klaim kebenaran di antara warga, pihak Kejaksaan mengatakan, mereka akan berusaha mengujinya dalam proses pengadilan yang rencananya akan digelar dalam waktu dekat.

“Benar atau salahnya nanti tentunya akan dibuktikan di pengadilan,” kata  Trilaksono dari Kejari Mabar.

Konflik lahan di wilayah Boleng ini, yang merupakan pinggiran kota Labuan Bajo, merupakan salah satu dari konflik yang kompleks, yang dalam beberapa waktu terakhir terus mencuat di wilayah itu di tengah proses pembangunan yang masif.

Konflik lahan terus muncul di Labuan Bajo dan sekitarnya yang ditetapkan pemerintah sebagai kota pariwisata super premium. 

Penjualan tanah oleh warga setempat tidak hanya kepada warga Indonesia, tetapi juga warga asing. Konflik berdarah di Mbehal pada 2017, selain menjadi salah satu contoh konflik berdarah karena perebutan tanah, juga mengungkap praktek kepemilikan tanah oleh warga asing.

Informasi yang dihimpun Floresa.co, banyak dari lahan-lahan yang kini dipersoalkan warga di wilayah Boleng sudah dijual kepada pihak lain, sebagiannya untuk pembangunan berbagai fasilitas milik pemerintah.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga