Kerugian Negara Naik Jadi Rp2,1 Miliar, Sidang Dugaan Korupsi Mantan Kades di Lamba Leda Utara, Manggarai Timur Segera Digelar

Floresa.co – Seorang tersangka mantan kepala desa atau kades di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur akan segera menjalani persidangan terkait dugaan korupsi dana desa selama beberapa tahun, kata kejaksaan.

“Kemungkinan tanggal 20 Juni kita sudah mulai [sidang],” kata Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Manggarai di Reo, Riko Budiman kepada Floresa.co pada 10 Juni.

Ia berkata, kerugian negara dalam kasus yang menyeret Nikolaus Ganus, mantan Kades Desa Golo Wontong, Kecamatan Lamba Leda Utara itu menjadi Rp2,1 miliar, naik dari Rp1,8 miliar dalam perhitungan sebelumnya.

“Jumlah ini merupakan hasil audit yang dilakukan Inspektorat Kabupaten Manggarai Timur,” kata Riko.

Nikolaus yang menjabat sebagai kades selama dua periode [2013-2023] ditahan sejak April 2024 usai menjadi tersangka dugaan korupsi dana desa tahun anggaran 2021-2023.

Riko berkata, saat ini pihaknya masih dalam proses pelimpahan berkas ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Kupang untuk segera disidangkan.

Serah terima tersangka dan barang bukti ke penuntut umum, katanya, dilakukan pada 13 Juni.

Ia menjelaskan, dalam penyelidikan dan penyidikan kasus ini, tim penyidik memeriksa sejumlah saksi, di antaranya Nikolaus bersama perangkatnya dan anggota Badan Permusyawaratan Desa.

Penyidik, kata dia, juga sempat meminta klarifikasi Camat Lamba Leda Utara, Agus Supratman karena memberikan rekomendasi pencairan dana desa selama periode Nikolaus diduga melakukan korupsi.

“Penyidik juga mengumpulkan beberapa alat bukti dan petunjuk lain serta mendatangkan saksi ahli untuk mendukung berjalannya proses pemeriksaan,” katanya.

Ia menjelaskan, saat ini penyidik belum menemukan bukti, saksi dan petunjuk baru terkait aliran dana itu.

Pengungkapan aliran dana, katanya, baru bisa dibuktikan apabila Nikolaus mengaku saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor karena saat diperiksa  kejaksaan ia bungkam dan tidak mau mengaku soal aliran dana itu.

“Kalau dia ngaku, kan enak kita masuknya. Nanti lihat saja prosesnya ke depan,” ungkapnya.

Riko berkata, penyidik telah mengantongi bukti permulaan dugaan penyelewengan dana desa saat memeriksa sejumlah pihak dengan agenda klarifikasi.

Ia menjelaskan tim kejaksaan juga sudah turun langsung ke lapangan mengecek bukti pengelolaan dana desa, baik fisik maupun non fisik. Hasilnya telah masuk dalam Berita Acara Pemeriksaan selama proses penyelidikan.

“Banyak yang hancur fisiknya. Kami temukan banyak pengerjaan fisik yang tidak selesai, tetapi uangnya diduga habis dipakai,” katanya.

“Desanya juga tak maju-maju, masih miskin,” katanya.

Riko merinci beberapa dugaan penyelewengan itu, termasuk dana Bantuan Langsung Tunai, dana Silpa tahun 2020 untuk rumah layak huni bagi tiga keluarga miskin yang tidak dikerjakan pada tahun 2021, dan bantuan ternak berupa kambing.

“Parahnya lagi Laporan Pertanggungjawaban selama tiga tahun berturut-turut tidak pernah dibuat. Ini memang dugaan korupsi yang sangat fatal,” katanya.

Riko mengatakan atas dasar itu, pada 18 Oktober 2023, kejaksaan turut menggeledah Kantor Camat Lamba Leda Utara untuk mencari bukti tambahan terkait rekomendasi pencairan dana desa itu selama tiga tahun anggaran.

Penggeledahan itu, menurut Riko, juga merupakan bagian dari materi pemeriksaan karena Camat Lamba Leda Utara, Agus Supratman selaku pihak yang dianggap turut bertanggung jawab atas rekomendasi pencairan dana desa.

Penggeledahan, katanya, dilakukan di ruangan camat, ruang Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa dan ruang pelayanan umum.

Di tiga ruangan itu penyidik menyita sejumlah dokumen yang berhubungan dengan laporan maupun rekomendasi penggunaan dana desa.

“Penggeledahan ini merupakan tindak lanjut surat Pengadilan Tipikor Kupang. Kami bergerak atas izin pengadilan sehingga dokumen dan bukti pendukung lainnya disita demi kepentingan penyelidikan lebih lanjut,” katanya.

Dalam wawancara sebelumnya dengan Floresa, Camat Lamba Leda Utara, Agus Supratman membantah keterlibatannya dalam kasus ini.

Ia mengatakan, sejak kasus ini bergulir, ia seringkali dituding sebagai salah satu pihak yang “turut bertanggung jawab” karena menandatangani dokumen rekomendasi pencairan dana desa.

Tudingan itu semakin menguat ketika tim kejaksaan “melakukan penggeledahan di kantor saya.” 

Ia membantah tudingan itu karena “kami yang di kecamatan, sifatnya administratif” dan menurut perintah “kami hanya memverifikasi dokumen.”

Ketika dokumen lengkap, “kami punya kewajiban untuk memberikan rekomendasi pencairan dana desa.” 

“Soal kesalahan pengelolaannya itu mutlak ada di kades. Kades sudah menandatangani surat pertanggungjawaban nota pengelolaan dan segala resikonya,” katanya.

Kalau kemudian ditemukan bahwa Nikolaus melakukan kesalahan berkaitan dengan administrasi, “itu berarti kesalahannya ada di dia.” 

Ia menjelaskan dalam siklus perjalanannya dana desa “tidak singgah di kecamatan” karena “ditransfer langsung dari rekening kas negara ke rekening kas desa.” 

“Jangankan sentuh, lihat saja kami tidak pernah,” ungkapnya. 

Agus mengatakan camat hanya mengeluarkan rekomendasi berdasarkan dokumen pengajuan yang disampaikan desa. Ketika dokumen sudah lengkap, maka Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa selaku verifikator menerbitkan rekomendasi pencairan dana dan memberikannya kepada camat agar ditandatangani. 

“Saya tidak punya alasan menolak atau membatalkan karena secara administrasi, saya tanda tangan rekomendasi. Kemudian rekomendasi saya itu tidak serta merta merekomendasikan mencairkan uang,” katanya.

Ia menjelaskan rekomendasi dari camat harus dibawa oleh kades ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa [DPMD] agar diverifikasi ulang.

Setelah diverifikasi, kata dia, DPMD akan memasukkannya di aplikasi bernama Omspan yang disediakan Kementerian Dalam Negeri untuk mengetahui perkembangan realisasi dana desa.

“Setelah input, mereka [DPMD] mengeluarkan rekomendasi pencairan lagi. Itu pertanda bahwa rekomendasi camat tidak bisa mencairkan uang,” ungkapnya. 

Ia mengatakan setelah dana dicairkan, desa langsung melakukan “eksekusi lapangan dan tidak ke kecamatan lagi.” 

Setelah uang itu habis, kata dia, desa akan membuat laporan lagi ke kecamatan. 

Ia mengatakan “sebenarnya, kami di kecamatan ini ibarat pegawai pos yang membantu mengurus surat-surat mereka.” 

Ia juga mengklaim tidak pernah meminta bayaran saat tanda tangan rekomendasi. 

“Jangankan uang, rokok sekalipun saya tolak. Karena saya pikir itu adalah tugas saya. Dan saya tahu dana desa ini beresiko. Kalau sampai terlibat soal uang, itu berbahaya,” ungkapnya. 

Agus mengaku sangat mendukung langkah aparat penegak hukum mengusut kasus ini untuk menyelamatkan keuangan negara.

Langkah itu, kata dia, merupakan bentuk pendidikan kepada kades sehingga mereka merasa administrasi merupakan sesuatu penting. 

Sebetulnya, kata Agus, penggeledahan di kantor kecamatan bertujuan untuk melengkapi dokumen kejaksaan.

“Kalau memang tempat-tempat lain juga diduga ada dokumen yang berkaitan dengan kasus ini, silahkan geledah juga,” katanya.

Sementara itu, menurut Riko dalam wawancara dengan Floresa pada 10 Juni, baik kades maupun camat “bertanggung jawab dalam dugaan korupsi ini.”

Sementara kades sebagai penanggung jawab, camat pemberi rekomendasi pencairan, katanya.

Ia mengatakan peran keduanya dalam dugaan korupsi ini adalah penyelenggara negara yang terlibat dalam pengelolaan dan proses pencairan dana desa sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Dana Desa jo Peraturan Bupati Manggarai Timur Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Desa.

Meski demikian, Riko tidak menjelaskan rinci status camat dalam proses hukum kasus ini.

Laporan dikerjakan kontributor Berto Davids bersama Herry Kabut

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA