Floresa.co – Kejaksaan mengaku sedang menunggu hasil audit inspektorat untuk menetapkan tersangka dalam kasus korupsi dana desa senilai Rp1,8 miliar di sebuah desa di Kabupaten Manggarai Timur.
Kasus ini menyeret Nikolaus Ganus, mantan Kepala Desa Golo Wontong, Kecamatan Lamba Leda Utara, sebagai penanggung jawab dana desa.
Nikolaus yang menjadi kepala desa dua periode 2013-2023 diduga menyelewengkan dana desa itu selama tiga tahun pada 2021-2023.
Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Manggarai di Reo, Riko Budiman mengatakan selama proses penyelidikan, pihaknya sudah menemukan bukti permulaan atas dugaan penyelewengan dana desa.
Bukti permulaan itu, kata dia, ditemukan saat penyidik melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak dengan agenda klarifikasi.
“Proses klasifikasinya sudah kami lewati. Kades dan bendaharanya sudah kami panggil dan bukti permulaannya sudah kami kantongi. Saat ini tahapannya sedang dalam proses penyelidikan,” katanya kepada Floresa pada 31 Januari.
Ia menjelaskan tim kejaksaan juga sudah turun langsung ke lapangan mengecek bukti pengelolaan dana desa, baik fisik maupun non fisik.
Temuan itu, kata dia, sudah masuk dalam Berita Acara Pemeriksaan selama proses penyelidikan, terutama temuan fisiknya.
“Banyak yang hancur fisiknya. Kami temukan banyak pengerjaan fisik yang tidak selesai, tetapi uangnya diduga habis dipakai,” katanya.
“Desanya juga tak maju-maju, masih miskin. Kades dua periode kok rakyatnya sengsara, terus uang miliaran yang cairnya tiap tahun itu ke mana,” ungkapnya.
Ia merinci penyelewengan itu meliputi dana Bantuan Langsung Tunai, dana Silpa tahun 2020 untuk rumah layak huni bagi tiga keluarga miskin yang tidak dikerjakan pada tahun 2021, dan bantuan ternak berupa kambing.
“Parahnya lagi Laporan Pertanggungjawaban [LPJ] selama tiga tahun berturut-turut tidak pernah dibuat. Ini memang dugaan korupsi yang sangat fatal,” ungkapnya.
Riko mengatakan atas dasar itu, pada 18 Oktober 2023, kejaksaan turut menggeledah Kantor Camat Lamba Leda Utara untuk mencari bukti tambahan terkait rekomendasi pencairan dana desa di Desa Golo Wontong selama tiga tahun anggaran.
Penggeledahan itu, menurut Riko, juga merupakan bagian dari materi pemeriksaan karena Camat Lamba Leda Utara, Agus Supratman selaku pihak yang dianggap turut bertanggung jawab atas rekomendasi pencairan dana desa.
Ia mengatakan peran keduanya dalam dugaan korupsi ini adalah penyelenggara negara yang terlibat dalam pengelolaan dan proses pencairan dana desa sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Dana Desa jo Peraturan Bupati Manggarai Timur Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Desa.
“Keduanya bertanggung jawab dalam dugaan korupsi ini. Kades selaku penanggung jawab dan Camat selaku pemberi rekomendasi pencairan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan di kecamatan, penggeledahan dilakukan di ruangan camat, ruang Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa dan ruang pelayanan umum.
Di tiga ruangan itu, kata dia, penyidik menyita sejumlah dokumen yang berhubungan dengan laporan maupun rekomendasi penggunaan dana desa.
“Penggeledahan ini merupakan tindak lanjut surat Pengadilan Tipikor Kupang. Kami bergerak atas izin pengadilan sehingga dokumen dan bukti pendukung lainnya disita demi kepentingan penyelidikan lebih lanjut,” ungkapnya.
Riko mengaku pihaknya sudah melimpahkan kasus ini ke Inspektorat melalui Aparat Pengawas Intern Pemerintah [APIP] sekitar 6 bulan lalu untuk menghitung jumlah kerugian negara, namun hasilnya belum muncul.
Padahal, kata dia, pihaknya telah mengagendakan penetapan tersangka pada Desember 2023.
“[Kami] masih tunggu perhitungan final APIP. Kalau perhitungannya selesai, yang jelas akan ada tersangka,” ungkapnya.
Floresa menghubungi seorang auditor inspektorat bernama Carlo pada 20 dan 31 Januari melalui WhatsApp.
Ia tidak merespons pesan itu, meski bercentang dua, tanda bahwa pesan sudah sampai ke penerima.
Meski demikian, seorang sumber dari inspektorat mengatakan “kalau tidak salah, sedang diaudit, sekarang lagi perhitungan.”
Sumber itu mengaku bukan merupakan anggota tim audit sehingga “saya tidak bisa menjelaskan lebih jauh.”
Floresa telah meminta tanggapan Nikolaus terkait kasus ini. Namun, pesan WhatsApp pada 20 Januari untuk meminta wawancara tidak direspons. Pesan itu centang dua, tanda telah sampai ke penerimanya.
Camat: Saya Sebatas Mengeluarkan Rekomendasi
Sementara itu Camat Lamba Leda Utara, Agus Supratman membantah keterlibatannya dalam kasus ini.
Ia mengatakan, sejak kasus ini bergulir, ia seringkali dituding sebagai salah satu pihak yang “turut “bertanggung jawab” karena menandatangani dokumen rekomendasi pencairan dana desa.
Tudingan itu, kata dia, semakin menguat ketika tim kejaksaan “melakukan penggeledahan di kantor saya.”
Ia membantah tudingan itu dengan mengatakan “kami yang di kecamatan, sifatnya administratif” dan menurut perintah “kami hanya memverifikasi dokumen.”
Ketika dokumen lengkap, kata dia, “kami punya kewajiban untuk memberikan rekomendasi pencairan” dana desa.
“Soal kesalahan pengelolaannya itu mutlak ada di kepala desa. Kepala desa sudah menandatangani surat pertanggungjawaban nota pengelolaan dan segala resikonya,” ungkapnya.
Ia mengatakan kalau kemudian ditemukan bahwa Nikolaus melakukan kesalahan berkaitan dengan administrasi, “itu berarti kesalahannya ada di dia.”
Hal itu, kata dia, berarti Nikolaus juga “sudah menipu kami.”
Ia menjelaskan dalam siklus perjalanannya, dana desa “tidak singgah di kecamatan” karena “ditransfer langsung dari rekening kas negara ke rekening kas desa.”
“Jangankan sentuh, lihat saja kami tidak pernah,” ungkapnya.
Agus mengatakan camat hanya mengeluarkan rekomendasi berdasarkan dokumen pengajuan yang disampaikan desa.
Ketika dokumen sudah lengkap, kata dia, maka Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa selaku verifikator menerbitkan rekomendasi pencairan dana dan memberikannya kepada camat agar ditandatangani.
“Saya tidak punya alasan menolak atau membatalkan karena secara administrasi, saya tanda tangan rekomendasi. Kemudian rekomendasi saya itu tidak serta merta merekomendasikan mencairkan uang,” ungkapnya.
Ia menjelaskan rekomendasi dari camat harus dibawa oleh kepala desa ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa [DPMD] agar diverifikasi ulang.
Setelah diverifikasi, kata dia, DPMD akan menginputnya di aplikasi bernama Omspan yang disediakan Kementerian Dalam Negeri untuk mengetahui perkembangan realisasi dana desa.
“Setelah input, mereka [DPMD] mengeluarkan rekomendasi pencairan lagi. Itu pertanda bahwa rekomendasi camat tidak bisa mencairkan uang,” ungkapnya.
Agus mengatakan rekomendasi DPMD merupakan penentu akhir pencairan dana desa berdasarkan rekomendasi camat.
Ia mengatakan setelah dana dicairkan, desa langsung melakukan “eksekusi lapangan dan tidak ke kecamatan lagi.”
Setelah uang itu habis, kata dia, desa akan membuat laporan lagi ke kecamatan.
Ia mengatakan “sebenarnya, kami di kecamatan ini ibarat pegawai pos yang membantu mengurus surat-surat mereka.”
Ia juga mengklaim tidak pernah meminta bayaran saat tanda tangan rekomendasi.
“Jangankan uang, rokok sekalipun saya tolak. Karena saya pikir itu adalah tugas saya. Dan saya tahu dana desa ini beresiko. Kalau sampai terlibat soal uang, itu berbahaya,” ungkapnya.
Agus mengaku sangat mendukung langkah aparat penegak hukum mengusut kasus ini untuk menyelamatkan keuangan negara.
Langkah itu, kata dia, merupakan bentuk pendidikan kepada kepala desa sehingga mereka merasa administrasi merupakan sesuatu penting.
Sebetulnya, kata Agus, penggeledahan di kantor kecamatan bertujuan untuk melengkapi dokumen kejaksaan dan “itu memang gawainya mereka.”
“Itu saya setuju, saya sepakat. Kalau memang tempat-tempat lain juga diduga ada dokumen yang berkaitan dengan kasus ini, silahkan geledah juga,” ungkapnya.
Camat Akui Kepala Desa Pernah Terlibat Kasus
Agus menjabat sebagai camat sejak Lamba Leda Utara mekar dari Lamba Leda pada 2021. Ia sebelumnya menjadi sekretaris Kecamatan Lamba Leda. Bersamaan dengan pemekaran, Desa Golo Wontong menjadi bagian dari kecamatan baru.
Agus berkata, pada periode pertama kepemimpinannya Nikolaus juga “sempat kasus” dan diperiksa inspektorat, namun tidak merinci “kasus” yang dimaksud.
Namun, ia menganggap kasus itu selesai karena Nikolaus mendapat rekomendasi dari inspektorat untuk maju periode kedua.
“Tentunya kalau mendapat rekomendasi berarti administrasi dan seluruhnya pada periode satu sudah bisa ditindaklanjuti,” katanya.
Ia menjelaskan “sudah ditindaklanjuti” merupakan bahasa birokrasi dan administrasi, yang berarti Nikolaus sudah mengganti kerugian negara dan semua temuan itu sudah beres.”
Agus mengaku saat periode kedua Nikolaus, ia mulai terlibat melakukan verifikasi dokumen pencairan dana desa.
Saat itu, kata dia, ia memberikan beberapa “catatan pembinaan” kepada Nikolaus “yang harus segera ditindaklanjuti.”
“Waktu itu belum terlalu banyak tunggakan pekerjaannya,” ungkapnya.
Ia merinci tunggakan pengerjaan yang dimaksud yaitu “pekerjaan telford yang kekurangan volume sekitar 20 atau 30 meter.”
Selain itu, kata dia, “ada juga pekerjaan jalan rabat ke sekolah yang saat itu belum rampung.”
“Kami suruh periksa dan selesaikan. Mereka selesaikan. Dan beberapa pekerjaan di tempat lain,” ungkapnya.
Ia menjelaskan berdasarkan hasil penyelidikan Kejaksaan, terungkap bahwa ternyata sejak 2021, Nikolaus membuat “laporan fiktif” terkait proyek lapen.
Anggaran proyek itu, menurut Agus, adalah sebesar Rp800 juta, namun yang tercantum dalam Rencana Anggaran Biaya hanya Rp400 juta.
“Rp400 juta dia buat silpa tangan. Dia simpan dan uang itu habis. Kontraktor hanya kerja Rp400 juta sesuai RAB,” ungkapnya.
Ia menjelaskan pada tahun yang sama pihaknya juga menemukan laporan fiktif tentang program rumah layak huni.
Anggaran program itu, kata dia, adalah Rp50 juta dan digunakan untuk membangun tiga unit rumah.
Selain itu, menurut Agus, pada 2022 Nikolaus juga membuat laporan fiktif tentang pengadaan ternak dan dana Covid-19 sebesar Rp200 juta.
“Laporan ke kecamatan lengkap, administrasinya lengkap,” katanya.
Agus berkata mendukung langkah kejaksaan mengusut kasus ini.
“Kalau memang ada bukti penyalahgunaan keuangan, langsung ditindaklanjuti,” katanya.
Editor: Ryan Dagur