Jelang Putusan Praperadilan Mikael Ane, Pakar Hukum Ingatkan Negara Akui Keberadaan dan Hak Komunitas Adat

Rekognisi dibutuhkan supaya kasus Mikael Ane, Gregorius Jeramu dan ‘Rabu Berdarah’ tak lagi terulang

Floresa.co – Menjelang putusan praperadilan yang diajukan Mikael Ane, pakar hukum yang pernah menjadi Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait warga adat mengingatkan negara agar mengakui keberadaan dan hak-hak warga adat. 

“Keberadaan dan hak-hak warga adat perlu diakui secara hukum,” kata Sandrayati Moniaga, “supaya kasus ‘Rabu Berdarah,’ Mikael dan Gregorius Jeramu tak lagi terulang.”

Mikael, warga adat Ngkiong di Desa Ngkiong Dora, Kabupaten Manggarai Timur mengajukan praperadilan terkait ganti rugi dan pemulihan nama baik, yang mulai disidangkan pada 19 Agustus. 

Sidang digelar lima hari berturut-turut yang akan diakhiri putusan praperadilan pada 26 Agustus.

Dalam sidang perdana praperadilan, Mikael menyatakan negara telah menerapkan hukum yang keliru hingga membuatnya dibui. Ia pun menuntut negara mengganti kerugian materiil sebesar Rp98.500.000 dan imateriil sebesar Rp450.000.000.

Tuntutan praperadilan diajukan kepada empat lembaga negara, yakni Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara; Polres Manggarai Timur; Kejaksaan Negeri Manggarai dan Kementerian Keuangan.

“Rabu Berdarah” yang disebutkan Sandra, sapaannya, mengacu pada kerusuhan berujung kematian enam petani asal Lembah Colol, Kabupaten Manggarai Timur di depan Polres Manggarai pada 2004 silam karena konflik lahan menahun dekat dengan Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng. 

Konflik Mikael juga berkaitan dengan tapal batas dengan TWA itu.

Sementara Gregorius Jeramu merupakan warga adat yang diputus bebas oleh Mahkamah Agung setelah dibui karena menjual tanah tanpa sertifikat kepada pemerintah untuk pembangunan Terminal Kembur.

Gregorius divonis 2,6 tahun penjara pada Maret 2023 oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang, selain denda Rp100 juta subsider tiga bulan tahanan dan mengembalikan kerugian negara Rp402 juta. Hukumannya bertambah menjadi empat tahun saat jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang.

Ketiadaan kepastian hukum terkait keberadaan warga adat “akan memperumit masalah terkait hak masyarakat hukum adat,” kata Sandra yang sempat menjabat komisioner Komnas HAM, “termasuk ketika terjadi tumpang-tindih atas tanah.”

Mikael ditangkap pada 28 Maret 2023, dua tahun sesudah mendirikan rumah di atas tanah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari kawasan TWA Ruteng.

Sejak itu ia tak pernah pulang, hingga Pengadilan Negeri Ruteng memvonisnya satu tahun enam bulan penjara pada 5 September 2023. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider enam bulan tahanan.

Mikael mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang, yang justru memperkuat putusan sebelumnya.

Tak berhenti sampai tingkat banding, Mikael kemudian mengajukan kasasi. Melalui putusan yang dibacakan 6 Mei, Mahkamah Agung menyatakan Mikael “lepas dari segala tuntutan hukum.”

Jalan Panjang Pengakuan Warga Adat

Pengakuan negara akan hak warga adat untuk mengelola hutan adat mulai menemukan titik terang ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Perkara Nomor 35/PUU-IX/ 2012. 

Putusan itu mengubah ketentuan Undang-Undang Kehutanan dengan memisahkan hutan adat dari hutan negara. 

Namun, putusan MK rupanya belum mampu menopang warga adat guna mengelola hutan adat mereka.

Hingga hari ini, keberadaan warga adat di sekitar TWA Ruteng secara hukum belum diakui negara. 

Perda Kabupaten Manggarai Timur Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat mengatur proses rekognisi masyarakat adat di kabupaten tersebut. 

Secara berurutan, prosesnya dimulai dari pembentukan panitia masyarakat hukum adat, identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan validasi.

Setahun kemudian, Bupati Manggarai Timur Agas Andreas menerbitkan Surat Keputusan bernomor HK/57/Tahun 2021 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kecamatan Lamba Leda Timur.

Pada tahun yang sama, panitia masyarakat hukum adat “mengidentifikasi Ngkiong sebagai satu dari empat masyarakat adat di Manggarai Timur,” kata Manajer Litigasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN], Ermelina Singereta.

Namun, “entah kenapa prosesnya mentok di situ, tak ada kejelasan hingga hari ini.”

Tim Komisioner Inkuiri Nasional Komnas HAM menyatakan “proses pembangunan dengan penekanan pada infrastruktur dan pengelolaan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan hidup membutuhkan kepastian hak penguasaan atas tanah dan sumber daya alam lainnya.”

Inkuiri Nasional merupakan salah satu upaya Komnas HAM berkontribusi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang menerapkan fungsi pemantauan untuk menyelidiki kasus, meneliti dan menganalisis akar masalah serta merekomendasikan pemulihan pelanggaran HAM. 

Timnya terdiri dari empat komisioner, termasuk Sandrayati Moniaga sebagai koordinator.

Hukum Berpihak pada Negara?

Absennya rekognisi secara hukum terhadap masyarakat adat turut menjadi perhatian PPMAN, layanan bantuan hukum warga adat yang disediakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN].

Pada 25 Oktober 2023, PPMAN mendaftarkan gugatan terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan DPR.

Terdapat 10 pemohon dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara itu. Sembilan di antaranya merupakan warga adat, termasuk Mikael. 

Gugatan diajukan karena RUU Masyarakat Adat yang berproses sejak 2009 tak kunjung naik ke tingkat paripurna, meski masuk dalam daftar Program Legislasi Prioritas DPR pada 2022.

Kesepakatan anggota DPR membawa suatu RUU ke tingkat paripurna mengindikasikan tahap pembahasan dengan pemerintah yang berbuah pada pengesahannya sebagai UU.

Melalui gugatan tersebut, PPMAN menilai “badan dan/atau pejabat pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum” atau onrechtmatige overheidsdaad.

Pembentukan UU Masyarakat Hukum Adat mengacu Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yang intinya berbunyi “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.”

Pengadilan Tata Usaha Negara menolak gugatan tersebut pada 16 Mei. Dalam amarnya, hakim menyatakan menerima eksepsi Jokowi dan DPR. 

Jokowi menilai objek gugatan bukan termasuk keputusan badan, sedangkan DPR berpendapat objek merupakan kompetensi absolut–menyangkut pembagian kewenangan antarlembaga peradilan.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA