Warga Adat di Flores yang Dilepaskan MA dalam Sengketa dengan Taman Wisata Alam Ruteng Tuntut Negara Ganti Rugi dan Pulihkan Nama Baik

Dalam sidang dengar jawaban, keempat lembaga negara “mengelak dari tanggung jawab,” kata kuasa hukum Mikael Ane

Floresa.co – Tiga bulan sesudah diputuskan lepas dari penjara oleh Mahkamah Agung [MA], seorang warga adat di Flores mengajukan tuntutan pemulihan nama baik dan ganti rugi terhadap empat lembaga negara.

Permohonan praperadilan Mikael Ane lewat Pengadilan Negeri Ruteng, Manggarai itu ditujukan ke Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara; Polres Manggarai Timur, Kejaksaan Negeri Manggarai dan Kementerian Keuangan.

Dalam tuntutan, warga adat dari Desa Ngkiong Dora di Kabupaten Manggarai Timur itu menyatakan negara telah menerapkan hukum yang keliru hingga membuatnya dibui.

Berlandaskan alasan tersebut, Mikael menuntut negara mengganti kerugian materiil sebesar Rp98.500.000 dan imateriil sebesar Rp450.000.000.

Sidang perdana digelar pada 19 Agustus, yang sehari kemudian berlanjut dengan agenda dengar jawaban dari keempat lembaga negara.

Berbicara kepada Floresa usai sidang dengar jawaban pada 20 Agustus, Maximilianus Herson Loi, kuasa hukum Mikael yang juga Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga menyebut keempat lembaga negara “mengelak semua dari tanggung jawab.”

Melalui kuasa hukumnya, Yosfi Anditio Clintondi, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mengklaim “proses penyidikan dilakukan dengan profesional dan proporsional sesuai prosedur penyidikan tindak pidana dan undang-undang terkait.”

Sementara Polres Manggarai Timur menyatakan “tidak melakukan pelanggaran prosedur dan meminta dibebaskan dari tuntutan ganti rugi.”

Kejari Manggarai, yang sebelumnya mendakwa Mikael, menyebut “permohonan ganti rugi ini bukan ranah praperadilan karena sudah diputus pada tingkat kasasi.”

Sedangkan Kementerian Keuangan “tidak secara gamblang mengelak,” kata Herson, “dengan hanya menyebut mereka berpedoman pada proses penganggaran melalui mekanisme revisi atau pengajuan anggaran baru oleh kementerian terkait.”

Sidang perdana praperadilan Mikael Ane di Pengadilan Negeri Ruteng pada 19 Agustus 2024. (Dokumentasi Maximilianus Herson Loi)

Sidang praperadilan Mikael digelar tujuh hari kerja berturut-turut yang akan diakhiri putusan hakim pada 26 Agustus. 

Praperadilan mengacu pada wewenang pengadilan guna memeriksa ulang soal sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau penyidikan. 

Praperadilan juga mengatur permintaan ganti rugi yang diajukan oleh seseorang yang sebelumnya ditetapkan tersangka.

Sepulang dari sidang 20 Agustus, Mikael menyatakan “negara telah tidak adil terhadap saya dan keluarga saya.”

Penerapan hukum yang keliru “telah membuat keluarga saya telantar karena saya, yang mestinya mencari nafkah untuk mereka, telah dibui negara hingga 14 bulan lamanya.”

Dalam putusan kasasi yang dibacakan pada 6 Mei, MA menyatakan Mikael tak melakukan pelanggaran pidana, karenanya ia “lepas dari segala tuntutan hukum.”

Hakim juga memerintahkan “pemulihan harkat dan martabat Mikael,” putusan yang, kata Herson, “turut menjadi landasan pengajuan praperadilan.”

Penahanan hingga vonis penjara terhadap Mikael “telah menimbulkan stigma terhadapnya.”

“Nama baik Mikael tercemar dan negara mesti memulihkannya.”

Mikael ditangkap pada 28 Maret 2023, dua tahun sesudah mendirikan rumah di atas tanah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari kawasan Taman Wisata Alam Ruteng.

Sejak itu ia tak pernah pulang, hingga Pengadilan negeri Ruteng memvonisnya satu tahun enam bulan penjara pada 5 September 2023. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider enam bulan tahanan.

Rumahnya kemudian disita, sementara kebun kopi–yang berada di lereng belakang rumah sekaligus sumber penghidupan satu-satunya keluarganya–jadi tak terurus.

Mikael merupakan pencari nafkah utama keluarganya. Selain istri, ia juga menghidupi putranya, Yosep Lensi bersama istri dan kedua anak mereka.

Keluarganya tinggal menumpang di rumah orang tua Mikael selama ia dibui.

Orang tua dan tetangga juga yang “setiap hari memberi makan untuk keluarga saya. Kami tak lagi punya uang.”

Herson, yang menemani Mikael berbicara kepada Floresa mendorong “hakim memutuskan praperadilan dengan hati nurani.”

“Jadilah corong keadilan bagi warga adat yang terus saja dikriminalisasi,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA